Dunia malam di Bangkok tidak ada matinya. Dunia malam di Bangkok benar-benar ajaib menurutnya. Diskotik-diskotik, para penjaja, gadis muda sampai ladyboy sudah berkeliaran di tepi jalan. Bahkan tidak tanggung-tanggung ia menjual diri secara terang-terangan setiap orang yang lewat di hadapannya.
Arin dan Rafa lebih memilih duduk di cafe di pinggir jalan. Arin terpana menatap wanita berparas cantik, sangat cantik, seperti artis korea yang ia lihat di TV, dengan balutan mini dress merah, rambut hitamnya di gerai, serta membawa tas senada dengan bajunya, dan lalu duduk tidak jauh darinya. Kepala Arin menoleh hingga 45 derajat, ia terpana menatap kecantikan itu.
Arin masih menerka-nerka siapa wanita itu. Siapa tahu ia bertemu artis korea disini. Ia pasti menjadi wanita yang beruntung, dapat mengebadikan foto bersama artis korea yang terkenal. Wanita itu lebih mirip Song Hey Kyo, ah ya, benar itu adalah Song Hey Kyo pemain drama film full house itu favoritnya. Arin pastikan ia menjadi wanita beruntung berselfie bersama artis korea idolanya. Ia bisa memamerkan foto itu di i********: miliknya, ia yakin akan mendapat banyak like.
"Apa yang kamu lihat hemm" gumam Rafa.
Arin mendengar gumaman Rafa, ia menyadarkan lamunannya, lalu beralih menatap Rafa. Ia sadar Rafa memperhatikannya dari tadi.
"Itu sepertinya artis korea deh, iya kan" ucap Arin ingin memastikan apa yang ada dilihatnya.
"Yang mana?".
"Itu, yang ada di samping kita, duduk di sebelah kiri".
Rafa menatap kearah wanita yang dimaksud Arin. Rafa mengerutkan dahi, ia lalu mendekati wajahnya di telinga Arin.
"Itu lady boy, Arin" bisik Rafa.
"Masa, sih? Itu artis korea" ucap Arin tidak percaya, lalu menjauhkan diri dari wajah Rafa. Jujur bulu kuduknya merinding ketika Rafa berbisik ditelinganya.
"Mana ada artis korea jalan-jalan seorang diri, ditempat seperti ini".
"Tapi mungkin ada, mana kita tahu, itu mirip sekali".
"Kalaupun ada artis, dia pasti sudah dijaga ketat oleh bodyguardnya, bukan malah berkeliaran seperti itu".
Arin membenarkan ucapan Rafa, "Kenapa bisa cantik begitu".
"Arin, banci Thailand itu lebih cantik dari pada wanita sesungguhnya" Rafa tertawa, kembali menatap Arin.
"Saya jadi wanita saja iri, kenapa dia begitu cantik sekali, dari pada saya" dengus Arin, lalu menyesap Lemon tea yang dipesannya.
"Cantik tapi plastik semua".
"Begitu ya".
"Kamu jauh lebih cantik dari pada dia Arin" ucap Rafa jujur.
Jujur Arin lebih cantik dari pada Dea. Ia memang berengsek, tergoda oleh kecantikkan Arin, dan selalu membandingkan Arin dengan Dea. Apa yang ada sesungguhnya didalam pikirannya ini.
"Benarkah?" Ucap Arin tidak percaya.
"Apa teman laki-laki kamu di kampus tidak ada yang mendekati kamu?" Tanya Rafa.
Bohong sekali, wajah secantik Arin tidak ada laki-laki yang tertarik kepadanya.
"Sepertinya tidak, mereka justru menghindari saya, mereka menganggap saya aneh" Arin terkekeh dan tertawa.
Rafa mengerutkan dahi, tidak percaya apa yang dikatakan Arin, dan itu sama sekali tidak lucu "Kenapa bisa begitu?" Rafa semakin penasaran.
"Mungkin saya selalu menyendiri, saya kurang bergaul dengan mereka. Saya selalu menghabiskan waktu saya di perpustakaan, mungkin saya tidak pandai bersosialisasi. Saya berteman dengan sekedarnya saja jika ada tugas kuliah".
Rafa mengangguk paham, Arin dan Dea sifatnya berbanding terbalik. Rafa lalu kembali menatap Arin. Minumannya sudah habis tidak tersisa.
"Beginilah saya, saya memang kurang bersosialisasi".
Arin menarik nafas, ia menatap Rafa, entah kenapa Arin ingin berbagi cerita kepada laki-laki itu. Biasanya ia sulit sekali menceritakan tentang kehidupannya.
"Tidak mungkin tidak ada yang tidak tertarik dengan wanita secantik kamu" ucap Rafa.
"Ada sih yang mencoba mendekati saya, idola kampus, namanya David. Tapi ketika itu, dia mundur teratur. Mungkin, karena saya tidak pernah menanggapi keberadaanya. Saya juga tidak pernah tertarik dengan playboy seperti dia" ucap Arin.
Rafa terpana ketika Arin berbicara, menatap iris mata bening Arin, Rafa seperti terhipnotis.
"Jika saya, diposisi David, apakah kamu akan mundur teratur dan tidak menanggapi saya" kata-kata itu keluar dari bibirnya, tanpa ia perintah.
Rafa tidak tahu, kenapa ia bisa berkata seperti itu di depan Arin. Ia juga menyadari ia menyatakan itu dalam keadaan benar-benar sadar. Rafa akui ia benar-benar berengsek, b******n yang mencoba membagi cintanya dengan wanita lain. Salah kah ia seperti ini. Ya, ia memang salah, sangat salah. Ia tidak pantas mendapatkan wanita sepolos Arin.
Arin hanya bisa diam, ia membalas tatapan Rafa. Ia tahu arah pernyataan Rafa dan ia cukup dewasa menanggapi arah penyataan itu. Ia tidak menanggapi ucapan Rafa, dan sibuk dengan pikiran masing-masing.
Semenit kemudian, Rafa lalu beranjak dari kursinya. Pikirannya hampir gila, pengaruh Arin cukup besar dihadapannya. "Mari kita pulang" ucap Rafa.
"Iya, sebaiknya kita pulang, ini sudah cukup malam" Arin mencoba tersenyum.
Arin lalu melangkahkan kakinya mendekati Rafa. Dan seketika benturan antara kaki dan meja kayu itu terdengar begitu jelas. Gelas jatuh ke lantai, menimbulkan bunyi pecahan kaca. Gelas itu hancur tak tersisa. Semua terjadi begitu cepat, dan Arin meringis menahan sakit.
Semua pengunjung cafe, menatap Arin penuh prihatin. Oh Tuhan, kenapa ia selalu berbuat ceroboh seperti ini.
*****