Rafa menghidupkan shower, ia merasakan air hangat membasahi seluruh tubuhnya. Rafa menikmati dan merasakan setiap air jatuh di tubuhnya. Setelah berlama-lama menikmati air itu, ia lalu menyudahi ritual mandinya. Rafa lalu mengambil handuk yang menggantung disisi lemari. Ia melilitkan handuk disisi pinggangnya. Rafa lalu berjalan keluar dari kamar mandi.
Rafa mendengar suara ketukkan dan bel dari balik pintu. Rafa mengerutkan dahi, ia tidak pernah menerima tamu hotel pada malam hari, ia juga tidak memesan makanan. Rafa semakin penasaran lalu berjalan menuju pintu utama. Rafa membuka hendel pintu, dan ia terdiam sesaat, ia menatap Arin tepat dihadapannya. Dengan mata membengkak sehabis nangis, wajah itu memerah dan terlihat sangat berantakkan. Jantung Rafa seakan berhenti berdetak.
"Arin, kenapa kamu menangis" tanya Rafa, reflek ia melangkah semakin mendekat. Ia tidak tahu harus berbuat apa, mengahadapi wanita menangis seperti ini.
"Tolong saya" ucapnya sambil sesugukkan, tangisnya sepertinya tidak ingin berhenti.
"Kamu kenapa sebenarnya" Rafa lalu menarik tangan kurus Arin masuk ke dalam kamar.
Karena sungguh tidak enak di pandang mata jika berbicara diluar, dengan keadaan yang tidak stabil seperti ini. Di tambah ia tidak mengenakan pakaian, hanya handuk yang menutupi tubuhnya. Rafa menutup pintu itu kembali, dan ia lalu menyuruh Arin duduk disisi tempat tidur.
"Hey, apa yang terjadi" tanya Rafa sekali lagi.
Arin lalu menghapus air mata itu dengan jemarinya, lalu menatap Rafa. Terliha jelas Rafa begitu khawatir terhadapnya.
"Tolong saya, tas saya hilang" ucap Arin.
"Tas saya penuh dengan barang-barang penting. Paspor dan, visa pelajar saya hilang semua, jadi saya harus bagaimana?" Arin panik.
Oh God. Ternyata permasalahannya begini membuat Arin menangis. Oke sekarang Arin panik karena kehilangan kartu-kartu penting miliknya. Rafa lalu duduk disamping Arin, membiarkan tangis itu reda, agar ia bisa berkomunikasi dengan baik.
"Jangan panik" ucap Rafa, mencoba menenangkan Arin.
"Bagaimana saya tidak panik, didalam tas saya itu penuh dengan surat-surat penting, saya harus bagaimana?".
"Tenang, Ceritakan kepada saya, bagaimana kronologis tas kamu bisa hilang?".
"Ceritanya panjang, tadi saya ke Wat Arun dan wat pho. Saya hanya duduk sebentar, tiba-tiba saya menyadari tas saya lenyap tidak ada. Saya seharian mencarinya hingga keliling-keliling hingga malam. Dan hasilnya nihil, saya harus bagaimana?".
Rafa mengangguk paham, lalu menarik nafas dan berucap, "Saya sudah bilang kepada kamu, ini Bangkok, kamu harus hati-hati. Ini bukan Swiss, Zurich, Melbourne bukan berarti saya bilang disana tidak ada kriminalitas loh, tapi disana sedikit. Dan jangan samakan disini dengan di tempat kamu berada, ini Bangkok. Lihat baru berapa jam kamu disini sudah hilang semua harta benda kamu. Bagaimana seminggu kemudian, apalagi yang akan hilang pada diri kamu".
"Saya harus bagaimana? Bagaimana nasib saya" Arin kembali menangis.
Rafa hanya bisa menatap Arin yang menangis. Ia membiarkan Arin menangis, reflek ia lalu memeluk Arin dalam peluknya. Agar tangisnya reda.
"Sudahlah, jangan menangis lagi. Besok kita urus ke kantor KBRI" ucap Rafa mencoba menenangkan Arin.
Arin mengangguk, "Paspor saya beneran bisa diurus". Tanya Arin, Arin dapat merasakan tubuh hangat Rafa. Ia lalu melepaskan pelukkan Rafa.
Arin menelan ludah, dan tersadar apa yang ada ia lakukan. Arin diam menatap Rafa, reflek dengan cepat ia melepaskan pelukkan Rafa. Jujur tubuh Rafa sangat menggoda, tubuhnya begitu bidang, perutnya rata ia yakini hasil olah raga teratur. Arin tertegun menatap tato di d**a bidang Rafa. Tato itu bergambar sayap burung dan dibawahnya terdapat tulisan. Arin tidak bisa membaca tulisan itu, terlalu sulit dibaca, mungkin ia akan menanyakannya nanti kepada Rafa.
"Besok kita urus ke KBRI, minta SPLP" ucap Rafa ia lalu berdiri.
"Apa itu SPLP" Tanya Arin, ia lalu mengalihkan tatapannya.
"Surat Perjalanan Laksana Paspor".
Arin tersenyum, hatinya merasa lega mendengar ucapan Rafa. Arin menyelipkan rambutnya ditelinga. Lalu berjalan mengambil tisu di meja. Ia mengelap tisu itu dipermukaan hidungnya dan lalu dibuangnya ke dalam tong sampah.
"Terima kasih, sudah mau nolong saya. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi kalau tidak ada kamu disini".
Rafa mencoba tersenyum, kembali menatap Arin. Arin cantik, itu yang selalu ada dalam pikirannya dari tadi. Entahlah apa yang ia pikirkan, yang pasti wanita itu terlihat semakin cantik setelah menangis.
"Tidak apa-apa. Kamu sudah makan?".
Arin menggelengkan kepala, "Belum".
"Kamu mau makan apa?" Tanya Rafa lalu berjalan menuju lemari. Ia mengambil kaos hitam dan celana pendek berwarna hitam.
Rafa melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, ia mengganti pakaiannya. Ia tidak mungkin memakai pakaian didepan Arin. Sementara ia sama sekali tidak mengenakan apa-apa, hanya handuk yang melingkar disisi pinggang yang menutupi tubuhnya. Jika posisi Arin adalah Dea, ia tidak mempermasalahkan, justru ia senang menggodanya kakaknya.
Semenit kemudian Rafa keluar dari kamar mandi, ia kembali menatap Arin, "Yasudah, kamu mandi dulu. Setelah itu kita cari makan di luar. Saya tunggu kamu disini".
"Iya" Arin tersenyum dan melangkahkan kakinya keluar.
Rafa teringat, ia lalu melangkah mengejar Arin. "Arin" panggil Rafa.
Arin menghentikan langkahnya, kembali menatap Rafa, "Iya".
Rafa lalu membuka laci, dan mengambil kotak berwarna putih dan menyerahkannya kepada Arin.
"Ini handphone, saya sudah membelinya sore tadi".
Arin tersenyum bahagia, "Terima kasih" ucap Arin tulus.
"Iya sama-sama".
******