Bab 1. Putus Asa

1645 Words
"Tidak! Ini tidak mungkin! Tidak mungkin Tristan sengaja menghindari ku ... apa yang harus aku lakukan sekarang ya, Tuhan?" gumam Ava setelah keluar dari dalam toilet dan kembali mencoba menghubungi kekasihnya yang sudah tiga hari terakhir ini sulit untuk dihubungi. "Aaaaargh!" jeritnya histeris seraya melemparkan ponsel yang digenggamnya ke dinding. Dengan hati yang diselimuti rasa cemas dan panik, Jeanice dan Eryk langsung bergegas menghampiri Ava, saat mendengar suara teriakan putrinya itu ketika baru saja melewati depan pintu kamarnya menuju kamar mereka yang letaknya berseberangan. Saat mereka membuka pintu kamarnya, Ava tengah mengoceh sambil menangis terisak. Namun, ketika melihat kedatangan orang tuanya, Ava menghentikan tangisnya. "Ava? Ada apa, Sweetheart?" tanya Jeanice panik sambil berlutut di hadapan sang putri yang tengah duduk di lantai sambil bersandar pada tepi ranjang dan memeluk dirinya sendiri. Keadaannya sungguh terlihat sangat kacau. Kemudian Jeanice pun menariknya ke dalam pelukan. "Mom ... maafkan aku, Mom, aku ...." Kedua matanya masih berkaca-kaca dengan air matanya yang sudah membendung, dia bertekad untuk mengatakan yang sebenarnya tentang apa yang terjadi pada dirinya saat ini. Namun, gadis itu tidak tahu harus memulainya dari mana. Dia hanya bisa menangis terisak di pelukan sang ibu. "Sweetheart, kenapa kau tiba-tiba seperti ini? Apa yang terjadi padamu?" tanya Jeanice dengan kedua netranya yang mengembun sambil menangkup wajahnya setelah mengurai pelukannya. Ava mengusap kasar air matanya dan mencoba menarik napasnya dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan untuk meredam emosinya. "Mommy, Daddy ... ada sesuatu yang harus aku katakan pada kalian," ucapnya dengan suara gemetar, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkan kenyataan pahit yang baru saja dihadapinya. Kedua orang tuanya saling bertukar pandang, ekspresi penasaran tergambar jelas di wajah mereka. "Ada apa, Sweetheart? Cepat ceritakan pada Mommy, Masalah apa yang membuat putri kesayangan Mommy seperti ini, huh?" tanya Jeanice dengan lembut. Ava menarik napas dalam-dalam. "Aku ... aku bertemu dengan seseorang saat aku mengalami cedera, saat aku berada di rumah sakit di Paris, Mom," ucapnya perlahan, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk melanjutkan ceritanya. "Seorang pria ... yang sangat aku cintai," tambahnya dengan suara serak. "Kami bertemu di saat-saat yang sulit bagiku, dan dia ... dia memberiku kekuatan dan dukungan yang sangat aku butuhkan." Kedua orang tua Ava mendengarkan dengan serius, wajah mereka penuh dengan campuran antara kekhawatiran dan rasa penasaran yang tinggi. "Siapa pria itu, Ava? Apa kau masih berhubungan dengannya?" tanya sang ayah--Eryk--dengan suara serius. Dia memiliki firasat buruk tentang putrinya, melihat dari bagaimana ekspresi wajah Ava yang nampak terpuruk. Ava menelan ludah, merasa semakin sulit untuk melanjutkan ceritanya. "Namanya Tristan ... Tristan adalah nama pria itu, Daddy. Dia seorang dokter ahli saraf di Century Hospital di Paris," jawabnya pelan, hampir seperti bisikan dengan kepala yang menunduk. Kedua orang tuanya masih diam menyimak, memberikan kesempatan pada Ava untuk melanjutkan ceritanya. "Aku sangat mencintainya, Mom, Dad. Tetapi setelah aku kembali ke Berlin, kami tiba-tiba kehilangan kontak. Aku sudah mencoba mencarinya, bahkan aku meminta temanku di Paris untuk mencari Tristan, tetapi dia tidak berhasil menemukan keberadaannya. Dan sekarang ... aku tidak tahu bagaimana caranya untuk menemukannya lagi," kata Ava dengan suara yang penuh dengan rasa sesal. Kepalanya menunduk, tak berani menatap kedua orang tuannya lagi. Jeanice--Ibu dari Ava menggenggam tangannya dengan lembut, mencoba memberinya dukungan. "Ava, Mommy mengerti betapa sulitnya berada di posisimu sekarang. Tetapi, bukankah itu artinya pria itu bukanlah pria baik-baik jika tiba-tiba menghilang seperti ini darimu?" ucapnya dengan suara lembut. Eryk mengangguk, ekspresi serius tergambar di wajahnya. "Benar apa yang dikatakan Mommy-mu. Untuk apa kau mencarinya? Dia tidak terlihat serius padamu. Dia pasti hanya pria b*rengsek yang ingin bermain-main denganmu. Kau lupakan saja pria seperti itu!" tegasnya dengan raut wajah yang mulai diselimuti kabut amarah. "Tidak mungkin, Dad. Walaupun aku baru mengenalnya, aku mengenal karakternya. Dia terlihat sangat mencintaiku, dia tidak mungkin meninggalkan aku begitu saja," kilah Ava yang tak terima pada tuduhan sang ayah tentang kekasihnya. "Pasti ada sesuatu hal lain yang ingin kau katakan, kan, Ava?" tanya Jeanice yang mulai mencurigai sang putri, karena tangan Ava terlihat gemetar, seolah sedang memendam sesuatu. Suara isak tangis tiba-tiba terdengar dari Ava yang masih menunduk, "Maaf, Mom, Dad ... aku ... aku hamil." Tangisan Ava pun semakin pecah setelah mengatakan hal itu. Seperti tersambar petir di siang bolong, itulah yang Jeanice dan Eryk rasakan, karena begitu terkejut mendengarnya. Tubuh mereka seketika lemas dengan tatapan kosong dan kepalanya yang dipenuhi dengan pemikirannya masing-masing. "Bagaimana bisa kejadian yang menimpaku dulu kini juga dirasakan oleh putriku?" batin Jeanice yang kemudian menitihkan air matanya. "Apa ini semua adalah hukuman atas apa yang pernah aku lakukan pada istriku dulu? Kenapa kau harus menghukum putriku atas apa yang dilakukan olehku di masa lalu ya, Tuhan?" gumam Eryk dalam batinnya. Dengan amarah yang semakin bergejolak, Eryk beranjak pergi meninggalkan istri dan putrinya yang masih menunduk dan sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Ava bangkit dari sofa yang didudukinya, lalu berlutut di hadapan Jeanice. Digenggamnya jemari ibunya itu oleh Ava seraya meletakkan dahinya pada lutut wanita yang telah melahirkannya itu. "Maafkan aku telah membuat Mommy dan Daddy kecewa, Mom. Aku ... aku sungguh menyesal tidak menjaga sesuatu yang berharga di diriku dengan baik seperti pesan Mommy padaku selama ini. Aku melakukannya karena kami saling mencintai, Mom. Aku ... aku tidak tahu jika akhirnya akan seperti ini." Jeanice masih tertegun, tak kuasa untuk membalas perkataan sang putri. Karena dia takut jika dia melampiaskan rasa kecewanya, hanya akan membuat mental Ava semakin terpuruk. "Mom, tolong maafkan aku," ucap Ava lagi dengan lirih dan kepalanya yang mendongak menatap penuh harap. Jeanice mencoba mengatur napasnya untuk meredakan emosinya, "Mommy akan meminta Daddy-mu untuk membantumu menemukan keberadaan pria itu. Dia harus bertanggung jawab. Kalian harus segera menikah jika memang kalian benar-benar saling mencintai," ucapnya tegas. Ava merasa sedikit lega mendengar kata-kata dukungan dari sang ibu. Meskipun banyak ketidakpastian yang menghantuinya, dia tahu bahwa dia tidak sendirian, karena keluarganya tidak mungkin meninggalkannya untuk menghadapi masalah sebesar ini sendirian. Bersama bantuan sang ayah, dia yakin bahwa tidak lama lagi dia pasti bisa bertemu kembali dengan sang kekasih--Tristan Alexander Edwards. Jeanice menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hati yang sedang dilanda kekhawatiran. Dengan langkah mantap, dia meninggalkan Ava dan berjalan ke ruang kerja Eryk, di mana suaminya itu duduk membelakangi meja dengan ekspresi tegang yang terpahat di wajahnya. "Honey," panggil Jeanice dengan suara lembut, mencoba memecah keheningan yang menyelimuti ruangan. Eryk menoleh dan memutar kursi kerjanya, tatapannya kosong dan terdengarlah desahan berat keluar dari bibirnya. "Baby, aku ...." Dia terdiam sejenak, berusaha merangkai kata-kata yang tepat. "ini semua salahku," lanjutnya dengan penuh penyesalan. Jeanice melangkah mendekati meja tempat suaminya duduk, lalu berdiri di sebelah kursi yang diduduki suaminya itu. "Kita harus tetap tegar menghadapi ini bersama-sama, Honey. Ava butuh kita, dia butuh dukungan kita. Kita tidak bisa mengabaikannya begitu saja," ujarnya dengan suara yang penuh dengan kehangatan. Eryk menundukkan kepalanya, merasa berat dengan beban yang harus dipikulnya. "Aku tahu, Baby. Tapi aku merasa ... aku merasa bersalah. Aku merasa seperti ini semua adalah sebuah hukuman dari kesalahan yang pernah aku lakukan padamu dulu," ucapnya dengan suara yang penuh penyesalan. "Tapi kenapa harus Ava yang menanggung hukuman dari kesalahan yang pernah aku perbuat? Kenapa bukan aku?" Jeanice meraih tangan suaminya dengan lembut, mencoba memberikan dukungan sebanyak yang dia bisa. "Tidak, Honey. Tolong jangan pernah berpikir seperti itu. Ini hanyalah sebuah kebetulan. Di usianya yang sudah menginjak dua puluh empat tahun, dia baru merasakan yang namanya jatuh cinta, wajar jika dia terbuai dan melakukan hal seperti itu di usianya yang sekarang." Eryk menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan gelombang emosi yang menghantamnya. "Sekarang bukan waktunya kita untuk marah pada putri kita, Honey. Lebih baik sekarang kau bantu putrimu untuk mencari keberadaan laki-laki yang telah berhasil meluluhkan hatinya itu," sambung Jeanice. Eryk mendesah pasrah, "Baiklah. Aku akan mencoba menghubungi orang andalanku untuk mencari laki-laki b*jingan itu," jawabnya. Ava yang tangisnya mulai mereda, kembali mencoba menghubungi nomer ponsel Tristan. Namun masih sama, nomer itu masih tidak dapat dihubungi. Air matanya kembali luruh di kedua pipinya sambil menatap layar ponselnya. "Di mana kau sebenarnya? Kenapa kau tiba-tiba menghilang seperti ini, Tristan? Bagaimana dengan nasib anak kita?" Ava menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, "Aku dan dia membutuhkanmu. Aku mohon, kembalilah." Hari demi hari telah berganti menjadi minggu, dan Ava telah melalui semua hari-harinya dengan penuh kecemasan dan berharap bahwa sang ayah akan segera membawa Tristan ke pelukannya. Namun, ternyata Ava justru mendapat kenyataan bahwa Max--seorang hacker andalan Eryk yang biasa membantu keluarganya, mengalami kecelakaan, dan meninggal di tempat. "Dad, lalu bagaimana dengan pencarian Tristan? Apa Daddy sudah mendapatkan kabar tentang keberadaannya?" tanya Ava penuh harap dengan kedua matanya yang mengembun setelah mendengar kabar kematian Max. "Nanti Daddy akan mencari orang lain untuk menyelidiki tentang keberadaan laki-laki itu," jawab Eryk dengan sikapnya yang masih dingin pada Ava, dan meninggalkan Ava yang masih tertegun setelah mendengar jawaban dari ayahnya itu. Dengan langkahnya yang gontai, ia kembali ke kamarnya dengan segala pemikiran negatif yang berkecamuk memenuhi isi kepalanya. "Apa benar seperti yang selalu Daddy tuduhkan tentangmu jika kau hanya mempermainkan aku? Apa kau sungguh tidak mencintaiku, Tristan?" Tangisnya kembali pecah dan membuat kamar itu dipenuhi dengan suara isak tangisnya. Ava sungguh terlihat putus asa dengan keadaannya saat ini. Satu jam berselang dan waktu makan malam pun telah tiba. Mendapati Ava yang tidak kunjung turun dari kamarnya untuk bergabung di meja makan, Jeanice memutuskan untuk pergi menyusulnya terlebih dahulu sebelum mereka semua memulai makan malamnya. Setelah mengetuk pintu kamar Ava beberapa kali dan tidak mendapat jawaban apa pun, Jeanice memutuskan untuk langsung masuk ke dalam kamar putri sulungnya itu. Namun, Jeanice tidak mendapati keberadaan Ava di sana. "Ke mana dia?" gumamnya seraya menelusuri kamar Ava yang didominasi warna putih dan abu muda itu. Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dan muda itu mencoba mencari keberadaan Ava ke walk in closet, kemudian beranjak menghampiri pintu toilet, dan membuka pintunya. "Ya Tuhan, Ava!" jeritnya histeris saat mendapati tubuh putrinya yang tenggelam di dalam bathtub yang terisi air dengan darah segar yang terus mengalir dari pergelangan tangannya yang menggantung di tepian bathtub.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD