Pertama kali mendengarnya dari malam hingga datangnya pagi, Zetta memilih untuk tidak ambil pusing. Dia memutuskan untuk tidak menghiraukan suara yang ditengarainya berasal dari arah paviliun itu.
Yang ada dalam pikirannya saat itu adalah, kemungkinan besar Ajeng sengaja menyetel musik instrumentalia sebagai pengantar istirahat malamnya. Pikirnya lagi, barangkali lantaran seharian Ajeng letih bekerja maka gadis itu mmerlukan relaksasi. Zetta toh pernah membaca, bahwa mendengarkan musik sentimentil maupun lagu sedih itu sejatinya baik bagi kesehatan mental.
Karena meyakini bahwa suaranya takkan sampai hingga ke kamar Ibunya dan Azkia, apalagi keluar dari wilayah rumah, Zetta mengajak hatinya agar berdamai dan bertahan supaya tidak terjajah lebih jauh lagi. Dia menentukan sikap dengan segera, yakni mendiamkan saja suara tersebut.
Malam kedua mendengar suara dentingan piano, Zetta hampir mendatangi kamar Ajeng, untuk menegurnya supaya mengecilkan volume. Sebab, konsentrasinya membuat sketsa terganggu disebabkan dentingannya jauh lebih keras dari malam sebelumnya. Dentingan yang didengarnya lebih mirip dengan orang yang sedang marah-marah dan memencet tuts piano secara asal, berpindah-pindah dengan cepat. Namun, mengingat Ajeng sudah terlampau banyak membantu mereka, Zetta kembali membujuk hatinya, mengambil keputusan untuk membiarkannya saja.
Dan tadi malam hingga pagi menyapa, dentingan piano itu kembali terdengar. Bila semula hatinya sangat perih mendengar nada-nadanya dan pikirannya seakan terbawa ke masa yang sulit dikenalinya, akhirnya Zetta mencari akal untuk ‘melawan’nya. Ia berpikir sejenak dan menemukan ‘jalan keluar’ yang dirasanya tepat. Zetta sengaja memakai ear phone, mendengarkan musik kegemarannya sendiri. Lumayan, suara dentingan pianoitu hanya terdengar lamat-lamat, sementara Zetta harus merelakan gendang telinganya cukup tersiksa dengan volume keras musik kegemarannya yang terhantar melalui ear phone.
Sebuah pengorbanan yang terpaksa dilakukan oleh Zetta. Hal terpenting dan satu-satunya yang dihiraukannya sekarang, hanyalah percepatan membaiknya keadaan ekonomi keluarganya. Tidak ada yang lain.
“Oh, silakan. Salam saya buat Ibu Sabrina, ya,” kata Zetta, berbasa-basi ala kadarnya, demi menjaga tata krama.
Reino langsung mengangguk menanggapi ucapan Zetta. Lalu Cowok itu tersenyum lebar dan mohon diri kepada Zetta.
Diam-diam Zetta mengamati Reino secara cermat ketika anak muda itu telah berbalik punggung dan berjalan meninggalkan cafe.
Jika mencermati pembawaan dan senyum Reino tadi, selintas sepertinya tak ada yang perlu dicurigai oleh Zetta. Reino terlihat cukup menyenangkan, ramah dan bersahabat. Akan tetapi begitu sudah mulai menyinggung soal rumah, segera Zetta merasa, Reino ini tak kalah jikalau adu bergosip dengan sekumpulan orang kurang kerjaan yang memanfaatkan waktu belanja sayur untuk membicarakan orang lain.
Mujur, Ajeng hanya berbelanja sayur dua atau tiga hari sekali. Apalagi, Ajeng sangat dewasa, enggan berlama-lama memilih apa yang akan dibeli. Ajeng sudah tahu apa saja yang akan dibelinya sehingga lekas kembali ke rumah dengan berlanjaan yang dapat disimpan di kulkas. Dengan begitu, tiada kesempatan dia dikorek-korek informasinya, ataupun mendengarkan gossip tak penting dari para pembeli sayur lainnya. Berpikir begini, Zetta merasa lebih tenang. Gadis itu melirik arlojinya, lalu menyesap tuntas kopi di cangkirnya.
Zetta mengalihkan perhatian pada layar laptopnya, membuka sebuah folder dan hasil sketsa yang telah sempat di-scan-nya. Kemudian ia juga membaca ulang sejumlah surat penawaran yang telah dikirimkannya kepada banyak pihak. Diam-diam, dia mengeluh. Hingga detik ini semua usaha yang dilakukannya belum memberikan hasil sesuai harapan dan kerja kerasnya.
Zetta ingat, seminggu terakhir ini, ia berjuang super keras, mengesampingkan segenap rasa lelahnya, di samping tidak memberi kesempatan dirinya akan sesuatu yang bernama stress. Sepanjang malam hingga menjelang dini hari, Zetta terus membuat sketsa rancangan baru, mengirim sebanyak mungkin surat penawaran ke perusahaan besar maupun butik kecil. Sedangkan usai waktu sarapan pagi hingga sore selalu diusahakannya diisi dengan sebanyak mungkin appointment, menawarkan dan mempresentasikan hasil kreasinya ke calon pelanggan.
“Selamat sore. Dengan Zetta Kusnandi, kan? Putrinya pak Irawan Kusnandi?” sapa sebuah suara yang terdengar amat dekat darinya, macam sapaan seseorang melalui telepon saja.
Zettapun mengangkat wajahnya.
Ditelitinya sosok yang berdiri di depannya, yang sejarak sekian puluh sentimeter saja. Zetta mengingat-ingat, sepertinya pernah berkenalan dan berbincang di outlet, dengan sosok itu.
‘Hm, ya, ya. Aku ingat. Dia Fritz,’ pikir Zetta akhirnya.
Dengan sadar, Zetta mengusir selintas desir yang terasa di dadanya. Bukannya apa, memang jelas, itu bukanlah salah satu yang dapat diberinya tempat saat ini.
‘I don’t have time to think about it right now,’ batin Zetta.
“Apa kabar, Zetta? Saya turut berduka cita atas kepergian Pak Irawan, ya. Juga ikut prihatin atas kebakaran yang menimpa workshop kalian. Maafkan, baik saya maupun Ayah saya, terlambat mengetahuinya,” tangan Fritz terulur seiring kalimat panjangnya yang sekaligus menyoal beberapa hal sekaligus.
Zetta agak terkejut mendengar perkataan Fritz yang terdengar sungguh-sungguh, namun membalas juga uluran tangan itu.
“Terima kasih. Jadi Pak Diaz itu..,” Zetta menggantung kalimatnya.
Dia tidak menyangka sama sekali, rupanya bos rumah produksi PT Layar Perrak yang akan ditemuinya hari ini, tak lain tak bukan adalah Fritz. Ya, Fritz yang pernah diperkenalkan di outlet oleh sang ayah dulu. Fritz yang sama, yang nyaris hendak dihubungi oleh Azkia untuk meminta tolong ketika Pak Irawan meninggal dunia.
Sebelumnya, Zetta memang telah bertemu dengan Diandra, bagian human resources-rumah produksi tersebut, beserta Singgih, bagian procurement-nya.
‘Bodoh sekali. Masa aku sampai tidak ingat nama lengkapnya dia itu Diaz Fritz Erlangga?’ cela Zetta dalam hati.
“Pada prinsipnya, saya maupun Pak Singgih tertarik dengan penawaran Mbak Zetta. Kami telah meneruskannya kepada pimpinan kami, pak Diaz. Beliau akan menemui langsung Mbak Zetta. Kami jadwalkan esok sore, pukul 18.00 di kantor ini. Bagaimana, Mbak Zetta bisa?” tanya Diandra melalui hubungan telepon kemarin pagi, ketika Zetta mem-follow up penawarannya.
Mendapatkan jadwal di luar jam kerja, tentu saja Zetta langsung menyetujuinya. Pertimbangannya, dia dapat tetap membuat jadwal kunjungan lainnya tanpa terganggu sama sekali. Dan kini, keputusannya berbuah pertemuannya dengan sang pimpinan rumah produksi tersebut.
“Betul. Nama saya memang Diaz Fritz Erlangga. Staf di kantor terbiasa memanggil saya Diaz,” sahut Fritz, seakan tahu jalan pikiran Zetta.
“Oh, begitu. Tapi, bukannya tadi ..,” kembali Zetta menggantung kalimatnya.
“Betul, tadi Ambarwati, sekretaris saya, mengabarkan saya akan terlambat datang, kan? Itu antisipasi saja, sebab ada hal mendesak yang harus saya selesaikan terlebih dahulu. Beruntung, urusannya lekas terselesaikan. Karenanya saya pikir, demi menghemat waktu, saya saja yang kemari. Tidak masalah, kan? Atau, kamu mau kita pindah ke atas, ke kantor saya, sesuai perjanjian semula?” tanya Fritz, menawarkan.
Zetta menggeleng dan mengulas senyum, sembari melirik arlojinya.
Zetta tidak sadar bahwa Fritz tengah menikmati senyumannya, sebagaimana pada pertemuan pertama mereka dulu. Sementara dalam diam, Zetta membatin.
‘Dia bahkan datang lebih awal 2 menit dari perjanjian awal. Dan apa, katanya barusan? Kamu? Seakrab itu? Apa sama dengan saat ketemu di outlet dulu? Rasanya begitu. Malah dulu, jauh lebih akrab dan santai, soalnya ada Ayah yang ikut mencairkan suasana. Tapi ini kan, beda situasinya. Aku sedang menawarkan proposal padanya. Situasinya membuatku terpancing untuk bersikap formal,’ kata Zetta dalam hati.
“Kalau pak Diaz tidak keberatan, di sini juga boleh. Maaf, saya harus panggil Pak Fritz atau pak Diaz ini?” Zetta balik bertanya, menyiratkan secuil kecanggungan dalam suaranya. Secuil, tetapi lebih dari cukup bagi Fritz yang memang tengah menatapnya secara intens, untuk peka merasakannya.
Menangkap kecanggungan sikap Zetta, Fritz ganti tersenyum dan berkata ringan, “Oke. D sini saja kalau begitu. Nah, supaya lebih santai, nggak keberatan kan kalau manggil nama saja? Senyamannya kamu, deh, mau panggil Fritz atau Diaz, buatku sama saja.”
Kalimat Fritz terdengar lugas, tetapi sama sekali tidak kaku. Zetta langsung mendapatkan kesan bahwa Fritz berusaha mencairkan suasana dan membuatnya nyaman. Sesuatu hal, yang semestinya lebih dahulu dia berikan pada Fritz sebagai prospeknya, bukan sebaliknya, mengingat posisinya sebagai pihak yang menawarkan produk.
‘Hm, tadi saya, sekarang aku. Oke, sebaiknya kuimbangi saja. Memang seharusnya, kan? Aku marketing-nya, dia prospek-ku. Yang penting tercapai goal-nya, kesepakatan awal,’ kata Zetta tanpa suara.
“Baik,” sahut Zetta singkat.
Zettapun mempersilakan Fritz duduk di depannya dan bertanya apa yang ingin dia pesan. Alih-alih menjawab, Fritz justru mempersilakan Zetta memesan bagi dirinya sendiri terlebih dahulu disertai gerakan tangannya yang melambai pada seorang waitress.
“Oke. Mbak, tolong cappuccino nya, sama cheese cake,” kata Zetta, yang benar-benar ingin segera memulai bahasan, sehingga menghasilkan deal dan dia dapat pulang ke rumah, membawa berita baik bagi orang-orang tercinta yang tengah menunggunya dengan doa dan harapan. Oh, betapa dia ingin melihat wajah ibunya, adiknya serta Ajeng berseri kembali malam ini.
“Satu lagi, sama persis, Mbak,” sambung Fritz secepat waitress menulis pesanan Zetta.
Sesuai standard operating procedure yang diajarkan oleh atasannya, sang waitresspun mengulang menyebutkan pesanan yang diberikan kepadanya dan segera mohon diri setelah diiakan oleh Fritz. Tak lupa, ia juga mengucapkan terima kasih.
Sementara Zetta mempersiapkan copy sketsa dari dari map yang diambilnya dari dalam tas kerjanya, Fritz mengamatinya tanpa berkedip.
“Zetta, masih ingat kan, dulu Ayahku sering memesan seragam dari workshop Ayahmu. Seingatku terakhir itu, ya… sekitar empat setengah bulan lalu. Eng... hampir lima bulan, barangkali. Nah, walaupun rumah produksi milikku ini belum seberapa besar karena tergolong baru, aku mau seragam yang memiliki ciri khas,” ungkap Fritz.
Zetta mendengarkannya. Tidak ingin terlalu cepat berkomentar. Dia yakin saja, ucapan Fritz itu belum tuntas.
Benar saja kan...
“Sewaktu aku melihat inisial ZK pada sketsa yang diajukan oleh bagian hrd dan procurement di tempatku, aku pikir memang seharusnya aku sendiri yang harus melakukan finalisasi,” sambung Fritz.
Zetta tertegun.
‘Oh, jadi hanya lantaran ada inisial ZK tertera di sana? Juga dikarenakan mengenal Ayah makanya dia tertarik? Bukan disebabkan spesifikasi, model, juga harga yang ditawarkan? Batin Zetta, sedikit kecewa.
“Jangan berpikir sketsamu diutamakan, semata karena alasan kenal sama Ayahmu. Enggak. Semua penawaran yang masuk sudah melalui proses seleksi yang berlaku di perusahaan kami, kok. Pilihannya memang mengerucut ke sketsa-mu,” kata Fritz, seolah mampu mendengarkan monolog yang dilakukan oleh Zetta dalam diamnya dan sanggup membaca sejumput kekecewaan yang tergurat di paras Zetta.
Zetta tersenyum dan manggut kecil sebagai ganti ucapan terima kasih.
“Tapi terus terang, ada sedikit perubahan yang mau aku ajukan. Itu salah satu alasan mengapa aku sendiri yang harus menyampaikannya ke pembuat sketsa. Masih bisa, kan? Sebab, seragam ini sangat penting, soalnya membawa nama dan image perusahaan,” tegas Fritz,.
Zetta menarik napas lega mendengarnya. Dibukanya map yang dibawanya.
“Tentu saja boleh. Nah, silakan. Bisa dicoret-coret di sini,” Zetta menyorongkan tiga buah copy sketsa yang semula diletakkan di dalam map nya. Design t-shirt yang dikhususkan bagi para kru yang bekerja di lapangan ataupun pekerja magang, serta busana formal berupa kemeja pria dan blus wanita.
Mulanya Fritz agak ragu dan berkata, “Masa aku harus mencoret-coret sketsa orang? Ini.., sketsa asli kan ya?”
Zetta tertawa kecil dan menyahut, “Nggak masalah kok. Semuanya sudah sempat di-scan.”
“Hm, what a good step,” puji Fritz.
“Thanks,” ucap Zetta, memancing senyum simpatik Fritz.
“Kita mulai dengan T-shirt dulu, ya. Materialnya oke, bordiran logonya tolong diperbesar sekitar sepuluh persen supaya lebih eye-catching. Lalu warnanya tolong disamakan persis warna blus dan kemeja formalnya saja supaya semua yang melihat sudah lansung mengindentitifikasikannya sebagai warna yang mewakili perusahaan kami. Yang di spesifikasi, jika diperhatikan lagi secara saksama, terlihat dua tingkat lebih muda. Kurang bagus kalau dilihat dalam waktu bersamaan. Lalu, supaya t-shirt ini pantas dipakai pula pada acara di kantor, nggak sekadar saat tugas di lapangan, bagian krah-nya jangan model polo t-shirt begini. Buat menyerupai krah shanghai saja supaya lebih flexible. Kesannya semi formal,” Fritz membentuk krah yang baru pada bagian leher t-shirt dan mewarnainya dengan stabilo berwarna kuning yang semula diletakkan Zetta di atas salah satu sketsa agar terbang karena tertiup angin dari pendingin ruangan.
Dalam diam, betapa sesungguhnya Zetta ingin berdecak kagum melihat hasil coret-coret pada sketsa di hadapannya.
Cukup sekilas melihatnya saja, tampilan t-shirt pada sketsa hasil karyanya jadi terlihat lebih manis, keren, trendy, namun tetap berkesan simple. Perubahan kecil ini menguntungkan baginya, sebab mengurangi material yang akan dipakai. Mencermati sketsa yang dikembalikan padanya, Zetta berharap, tidak akan ada usulan untuk penyesuaian harga. Maklum, mengingat bagaimana sang ibu demikian gigih berusaha menekan pengeluaran, wajar kan bila dirinya juga berharap penuh pada setiap peluang rupiah yang bakal masuk ke rekening PT ILZA JAYA?
“Oke, nggak ada masalah sama sekali. Hanya ini saja perubahannya kan?” tanya Zetta sambil menimang kertas itu.
- Lucy Liestiyo -