Hari terus berjalan.
Roda kehidupanpun seolah berputar terlampau cepat bagi keluarga Zetta. Jika pada saat-saat yang lalu hidup mereka terkesan relatif tenteram serta damai, diawali dengan satu hari yang kelam, persoalan lain menghadang. Celakanya, Zetta tidak diberikan kesempatan sedikit saja untuk mengeluh ataupun menyerah.
Ibarat sedang mendapati dirinya dan keluarganya terbenam dalam lumpur yang dapat menghisap sekaligus membinasakan mereka, Zetta dihadapkan pada dua pilihan yang sama sulitnya. Jika dirinya diam saja, dipastikannya bahwa mereka sekeluarga akan tenggelam, apalagi bergerak. Sudah pasti mereka semua bakal terbenam lebih cepat lagi.
Namun Zetta memilih untuk bergerak, meski dilakukannya dengan ekstra hati-hati.
‘Setidaknya aku harus berusaha. Aku nggak mau membiarkan keluargaku kalah begitu saja, tanpa perlawanan sama sekali,’ tekad Zetta dalam hatinya.
Dibantu oleh dua kerabat sang Ayah yang berdatangan dari luar kota, Zetta mengurus pemakaman Ayahnya dan memperingati tujuh hari meninggalnya Pak Irawan. Zetta tahu bagaimana usaha mereka untuk datang ke Jakarta. Meski tidak dapat mengajak serta seluruh keluarga mereka karena keterbatasan dana untuk hal mendadak, setidaknya mereka telah menunjukkan simpati yang besar kepada keluarga Zetta. Zetta amat menghargai usaha mereka yang tinggal nyaris di ujung timur negeri ini.
Dan mendengar kabar duka yang menimpa keluarga Zetta, kerabat sang ibu yang telah lama bermukim di benua biru juga menyempatkan kembali ke tanah air dan turut membantu penyelenggaraan peringatan empat puluh hari meninggalnya Pak Irawan. Mereka baru tiba pada hari ketiga puluh delapan meninggalnya Pak Irawan dan tidak berkesempatan memberikan penghormatan terakhir pada hari pemakaman Pak Irawan disebabkan harus mengurus berbagai dokumen perjalanan dan perijinan terlebih dahulu. Itupun, mereka harus segera kembali seusai acara di rumah Zetta. Banyak urusanyang harus mereka tinggalkan untuk menyempatkan terbang ke tanah air.
Dalam masa-masa itu, Azkia kerap kali tergoda untuk berkeluh kesah mengenai situasi berat yang mereka hadapi, kepada kerabat sang ibu. Akan tetapi keinginannya langsung surut. Tatap mata tajam dari Zetta seolah terus menghantui Azkia. Azkia telah berusaha untuk mencuri kesempatan, sekadar ingin menyiratkan betapa dia ingin dibantu oleh kerabat ibunya, namun pada saat bersamaan dia sungguh takut kalau Zetta akan marah besar padanya.
Memang, kepada dua orang kerabat ayahnya, Azkia sama sekali tak ingin bercerita mengenai permasalahan berat yang mereka hadapi. Dia sungguh paham, kehidupan para kerabat ayahnya juga tidak sebaik para kerabat dari ibunya. Azkia juga paham, mereka itu masih sering dibantu oleh sang Ayah, kok. Mana mungkin dia tega berbagi kisah dan membuat kerabat ayahnya merasa bersalah disebabkan tidak sanggup menolong keluarganya?
Selagi mempersiapkan peringatan empat puluh hari meninggalnya sang Ayah, Zetta juga sudah disibukkan kepindahan Ibu serta Adiknya ke apartemen yang selama ini ditempatinya. Tidak terlalu banyak barang yang dapat mereka angkut karena apartemen Zetta takkan mungkin mampu memuat barang-barang tersebut. Karenanya, Zetta berpesan kepada pekerja di workshop agar mulai mengatur pemindahan sisa-sisa furnitur di rumah yang didiaminya semenjak kecil itu, ke gudang. Dimintanya kepada Ajeng untuk menangani hal itu.
Di hari keempat puluh dua meninggalnya sang Ayah, ibu dan adiknya sudah pindah ke apartemennya.
Malangnya, baru satu minggu mereka tinggal bersamanya, Zetta dihadapkan nasib malang kembali.
Pagi itu, telepon genggam Zetta tak henti berbunyi selagi dia, ibu serta adiknya menikmati sarapan yang disiapkan oleh sang ibu.
Kemarin merupakan hari terakhir Zetta bekerja di perusahaan tempatnya berkarir selama ini. Pihak perusahaan sebetulnya masih ingin menahan Zetta setidaknya untuk satu bulan lagi sementara mempersiapkan penggantinya, tetapi Zetta telah terdesak oleh berbagai urusan keluarganya.
Dengan bebasnya Zetta dari rutinitas harian di perusahaan tempatnya bekerja, artinya hari ini dia telah siap sepenuhnya mendalami permasalahan apa saja yang terjadi dengan usaha sang Ayah dan mengambil langkah nyata. Sesuatu hal yang hanya dapat dilakukannya dalam porsi tak seberapa besar, semasa dirinya masih terikat tanggung jawab pada perusahaan milik orang lain.
Zetta terusik. Semula dipikirnya, siapa gerangan dari pihak kantor yang menghubunginya sepagi ini, kalau bukan penggantinya?
Dengan tangan kirinya, Zetta menjangkau telepon genggam yang sedang diisi dayanya itu. Ddengan jari telunjuknya ia langsung menggeser tombol ‘Yes’ ketika membaca nama Ajeng tertera di layar yang menyala.
“Halo, selamat pagi, Mbak Zetta. Ini Ajeng, Mbak. Maaf mengganggu Mbak Zetta sepagi ini,” terdengar sapaan Ajeng begitu Zetta mengucapkan kata, “Hallo”.
“Iya Ajeng, Pagi. Ada apa? Hari ini saya ke workshop, kok,” sahut Zetta, yang berpikir bahwa Ajeng hendak menyampaikan sesuatu hal yang ‘biasa-biasa saja’.
Celakanya dia keliru.
“Mbak Zetta, maaf, saya mau mengabarkan, workshop Bapak, yang berada tepat di samping rumah terbakar, Mbak. Maaf, nggak banyak yang sempt terselamatkan,” terdengar betapa bergetarnya suara Ajeng.
Rasanya jantung Zetta hendak meloncat keluar, mendengarnya.
Gerakan tangan Zetta yang semula tengah menyuapkan potongan panekuk ke mulutnya terhenti seketika. Seakan jemarinya tak punya daya yang cukup untuk mencengkeram, sendok di tangannyapun meluncur tak tercegah. Demikian cepat, hingga menimbulkan denting nyaring ke piring yang berakibat retak pada permukaan piring. Paras manis Zetta menegang, seiring bibirnya yang langsung bergetar.
“Ze, ada apa?” tanya Ibunya yang terkaget mendengar suara denting yang diakibatkan sendok beradu dengan piring keramik.
Dalam gempuran rasa heran sekaligus panik, Bu Lestari menyentuh lembut pundak putri sulungnya. Hati bu Lestari sudah kebat-kebit, tiada tertahan lagi.
Alih-alih menjawab pertanyaan sang ibu, Zetta hanya sanggup menggigit bibirnya. Zetta merasa sekujur badannya mendadak lemas dan dingin. Matanya mendadak memanas, tak mampu dia kendalikan lagi. Airmatanyapun segera mendesak-desak keluar. Dasar keras hati dan keras kepala, Zetta berusaha menahan semuanya melalui ketegaran ekstra yang diundangnya paksa detik ini.
Tidak mengeluarkan satu patah katapun, lekas Zetta menyudahi sarapan paginya. Sementara di dalam sana, hatinya menjerit keras, mempertanyakan apa lagi yang menimpanya kini, dan belum cukupkah segala yang diderita oleh keluarganya. Dalam keluh yang tidak terucap, ingin benar diprotesnya keadaan yang membelitnya kuat.
Namun Zetta sungguh bingung, kepada siapakah harus ditujukannya keberatannya tersebut. Kepada alam semesta kah, yang membiarkan segala musibah merundung dirinya dan keluarganya, atau bahkan pada Sang Pencipta, atas coban berat dan beruntun yang harus ditanggung oleh keluarganya.
“Kak Ze, kenapa? Muka kakak pucat sekali! Telepon dari siapa itu? Ada berita apa?” tanya Azkia beruntun seraya mendekati Zetta dan mengguncang pundak Zetta.
Belum mendapatkan jawaban dari Zetta, Azkia kian resah saja. Apalagi, ekspresi wajah kakak tercintanya mengguratkan ketakutan, kecemasan serta kesedihan. Itu bukanlah ekspresi yang biasa dilihatnya selama ini. Bahkan pada saat ayah mereka meninggalpun, Azkia ingat betapa Zetta masih mampu menekan semua emosinya.
‘Ya Allah, ada apa sebenarnya? Perasaanku benar-benar nggak tenang,’ batin Azkia was-was.
Saking penasaran, nyaris Azkia merebut telepon genggam sang kakak untuk mengetahui siapa yang menghubungi Zetta, dan berita apa yang barusan disampaikan. Gerakan mendadak Azkia, menyulut kesadaran Zetta. Secara relfeks, Zetta menggenggam lebih erat perangkat telepon genggamnya dan pada detik berikutnya dia berupaya untuk menata perasaannya.
Sekuat hati, Zetta menahan isak yang nyaris mencuat lantas berkata, “Kia, temani Ibu di sini. Hari ini kamu nggak ada kelas, kan?”
“Iya, Azkia temani Ibu. Tapi Kak Ze bukannya sudah nggak ngantor lagi hari ini? Kak Ze mau kemana?” tanya Azkia.
Zetta menghela napas panjang, demi mengundang sedikit kelegaan bersama paru-parunya yang terkembang.
“Kakak harus ke workshop sekarng. Ada sesuatu yang terjadi di sana. Kakak berangkat sekarang,” sahut Zetta lalu bangkit berdiri dan mengangkat piringnya, meletakkannya di tempat cuci piring.
Azkia mengernyitkan dahi. Dia bingung harus bertanya bagaimana. Sikap kakaknya sungguh membuatnya kehilangan sejuta kata tanya yang tadi memenuhi kepalanya.
Secepat Zetta mencuci dan mengeringkan piringnya, dia menyambar tasnya dan menghampiri sang ibu yang menatapnya dengan miris.
Zetta meraih tangan sang ibu, menyalaminya dan mencium punggung tangan bu Lestari.
“Bu, Zetta berangkat dulu. Ibu istirahat saja di unit. Kalau ibu merasa bosan, minta Azkia temani jalan-jalan di taman bawah atau pusat perbelanjaan di yang beradu punggung sama kompleks apartemen ini. Tolong hindari peergi ke tempat yang jauh-jauh dulu, ya. Kalau ibu mau ke outlet, sama Zetta saja. Tapi jangan hari-hari ini. Ingat, Kia, tunggu, sampai Kakak kembali,” ujar Zetta, kepada ibu dan adiknya sekaligus.
“Ze, bilang ke Ibu, ada apa?” tanya Ibunya bingung, saat kemudian Zetta mencium pipinya juga untuk berpamitan.
Zetta menelan ludah yang terasa pahit.
“Zetta jalan sekarang, Bu. Azkia, ingat, temani Ibu,” sahut Zetta seraya memalingkan wajahnya, mengelak dari tatapan bertanya sang Ibu. Ia juga menyempatkan untuk menegaskan sekali lagi pada adiknya agar menjaga sang Ibu.
Azkia hanya mampu terbengong.
Kadang-kadang dia menyesal, mempunyai kakak yang se-dominan ini, sehingga tidak jarang membuat dirinya seperti orang yang turut terhambat berekspresi. Ya walaupun, lebih banyak bangganya, sebetulnya.
Kemudian, bagaikan mengaktifkan posisi mode auto pilot pada dirinya, dalam tempo singkat Zetta sudah berada dalam sebuah taksi konvensional yang kebetulan mempunyai pangkalan di salah satu lobby apartemennya.
“Ke jalan Anyelir, Pak. Nanti lewat jalan tikus saja, saya kasih tahu. Kalau lewat jalan besar, macet semua pagi begini,” Zetta menyebut nama jalan di mana workshop Ayahnya, sekaligus tempat tinggal mereka dulu berada.
“Baik Mbak, nanti tolong diarahkan,” kata sang pengemudi sopan.
Zetta yang sengaja duduk di muka untuk memudahkannya memberikan arah jalan lewat gerakan tangannya langsung menyuruh pengemudinya agar meluncur ke area. Dia cukup mujur, sebab di tengah kekalutan yang menyergapnya, akal sehatnya masih kompak diajak bekerja sama. Sesuatu hal yang tidak dimiliki oleh semua orang.
Tangan Zetta tak henti menghubungi sejumlah nomor telepon yang ada di kontaknya. Awalnya, dia mengecek status asuransi dan bersyukur dalam hati lantaran premi asuransi masih dibayar secara lancar hingga detik ini. Lalu Zetta menelepon agen asuransinya supaya selekasnya menuju workshop usai mengungkapkan secara singkat apa yang tengah terjadi.
Kemudian, Zetta lekas menghubungi penanggung jawab outlet. Terakhir, dia mencari tahu situasi terkini di workshop lewat Ajeng, orang yang telah lama bekerja membantu usaha sang Ayah. Ya, Ajeng yang pada awalnya hanya menggantikan peran sang Ibu yang terpaksa berhenti bekerja disebabkan mengidap penyakit kanker tulang. Namun dalam perkembangannya, Ajeng justru bekerja jauh lebih baik dari sang Ibu. Gadis yang gemar mempelajari banyak hal baru itu ternyata seseorang yang mampu menyerap pelajaran dengan cepat, serius berusaha memahami seluk beluk proses produksi hingga mempelajari juga urusan pemasaran. Di atas semuanya itu, Ajeng merupakan figur yang loyal.
“Ajeng, apakah ada korban?” tanya Zetta tanpa basa-basi, saat panggilan teleponnya dijawab oleh Ajeng. Tidak ada sapaan 'Hallo' dan sejenisnya lagi yang keluar dari mulut Zetta.
- Lucy Liestiyo -