“Buka bajumu!”
Suara bariton itu menggema di ruangan megah yang dihiasi marmer hitam mengilap dan lampu gantung kristal yang menjuntai anggun dari langit-langit. Lelaki itu berdiri dengan tubuh tegap, mengenakan setelan Armani yang sempurna, setiap jahitannya seperti berbicara tentang kekayaan tak terbatas. Wajahnya tampan, namun dingin—seolah ukiran pahatan yang tak mengenal kasih.
Di depannya, seorang perempuan berdiri gemetar. Selin. Wajahnya cantik, meski letih mengaburkan kilaunya. Rambutnya yang hitam legam terurai berantakan, kontras dengan pakaian lusuh yang menempel di tubuh kurusnya. Bagaimana mungkin nasib bisa begitu kejam? Suami dan mertuanya telah menjualnya—dirinya, tubuhnya, masa depannya—hanya demi melunasi tumpukan hutang yang tak pernah ia tahu keberadaannya.
“Tapi…” suara Selin bergetar, nyaris seperti bisikan, seolah takut suara itu akan memecahkan harga dirinya yang tersisa.
Vasko, lelaki yang kini berdiri di hadapannya, mendadak menunduk. Jemarinya mencengkeram rahang Selin dengan paksa, menarik wajah perempuan itu hingga hanya sejengkal dari wajahnya. Mata hitamnya, dingin dan tajam, menatap lurus ke dalam mata Selin, mencari jawaban, mencari celah.
“Suamimu yang b******k itu, bersama mertua bajingannya, telah menukar hidupmu dengan satu triliun rupiah dariku,” desisnya. Setiap kata adalah belati yang menusuk harga diri Selin, memotongnya hingga berserak di lantai marmer. “Mereka bilang kau masih perawan. Apa itu bohong?”
Selin tidak langsung menjawab. Senyumnya merekah—bukan senyum kebahagiaan, tetapi senyum satir yang penuh dengan luka dan kehancuran. Mata indahnya yang basah menatap balik pada lelaki itu, tidak dengan keberanian, tetapi dengan kepasrahan yang memilukan.
“Tidak, Tuan. Itu tidak bohong. Saya memang masih perawan. Tapi…” ia menelan ludah, suaranya nyaris pecah.
“Tapi apa!” Vasko melepaskan cengkeramannya dengan kasar, hingga Selin hampir tersungkur ke lantai. Tatapannya seperti ujung pedang yang ingin merobek-robek jiwa perempuan itu.
“Saya belum mandi,” jawab Selin, suaranya datar, hampir sinis. “Tubuh saya bau dan kotor. Tuan tidak layak menyentuh saya.”
Vasko terdiam sejenak, sebelum tawa dingin keluar dari bibirnya. Bukan tawa yang hangat, melainkan tawa yang penuh ejekan. Ia melangkah mundur, kedua tangannya kini terselip di saku celana mahalnya. “Baiklah,” katanya sambil mengangguk perlahan, senyum sinis tetap menghiasi wajahnya yang tampan. “Pergilah mandi. Bersihkan dirimu. Tapi ingat, Selin—kau adalah milikku. Kesucian itu milikku. Jika kau berbohong…”
Ia mendekat lagi, berbisik di telinganya. Suaranya begitu rendah namun penuh ancaman. “Jika kau berbohong, kau akan menyesal telah lahir ke dunia ini.”
Selin hanya menunduk. Tidak ada air mata yang keluar dari matanya, karena ia tahu tangis tidak akan mengubah nasibnya. Di sudut ruangan yang mewah, pantulan bayangannya di kaca besar tampak seperti boneka rapuh yang menunggu tali takdirnya ditarik hingga putus.
_____________
Selin melangkah perlahan memasuki kamar mandi, perasaan aneh berkecamuk di dadanya. Pintu yang baru saja tertutup di belakangnya seperti memisahkan dua dunia—dunia tempat ia terus dihina, dan ruang ini, yang serba mewah namun dingin, tak memberi kenyamanan.
Marmer putih bersih melapisi dinding hingga ke lantai, berkilau seperti cermin. Di sudut ruangan, bathtub berbentuk oval berdiri dengan elegan, airnya siap mengalir hanya dengan sentuhan kecil. Di atas wastafel, botol-botol kristal berisi sabun dan minyak wangi tersusun rapi, memancarkan kemewahan yang jauh dari jangkauan hidup Selin sebelumnya.
Namun, ia tidak bergerak. Tubuhnya mematung di depan pintu, seolah ia adalah patung yang salah tempat. Pikirannya melayang, memutar kembali ucapan sinis perempuan berseragam tadi. b***k? Apakah dirinya benar-benar telah terperosok sedalam itu?
"Sudah sejauh ini, Selin," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Dengan tangan gemetar, ia mulai membuka pakaian lusuhnya. Air hangat mengalir, membasuh tubuhnya, membawa serta jejak debu dan kotoran, namun tidak cukup untuk menghapus kehinaan yang melekat di kulitnya.
Sementara itu, di ruang tamu, aroma tembakau bercampur wangi parfum mahal mengisi udara. Vasko duduk dengan santai, satu tangan memegang rokok yang mengepul, sementara tangan lainnya melingkar di pinggang perempuan berbadan seksi yang duduk manja di pangkuannya. Rambut perempuan itu tergerai indah, dan bibir merahnya menyunggingkan senyum tipis penuh tipu daya.
"Tuan," suara perempuan itu terdengar manja, tetapi di baliknya terselip nada iri. "Kenapa kau membeli b***k itu? Bukankah aku bisa memberikan semua kehangatan yang kau inginkan?"
Vasko menghembuskan asap rokoknya perlahan, matanya menatap kosong ke depan. Senyum tipis yang menghiasi wajahnya lebih menyerupai lekukan sinis daripada tanda kehangatan. "Karena," katanya singkat, "aku ingin mencoba mangsa baru."
Perempuan itu menyentuh rahang Vasko dengan jemari lentiknya, membelai kulitnya dengan penuh kekaguman. Ia tahu, lelaki yang kini menjadi obsesinya itu adalah dewa dalam dunia para manusia biasa—tampan, kaya raya, dan berkuasa. Namun, jawaban Vasko membuat hatinya tersayat.
"b***k itu berwajah cantik," katanya, kali ini dengan nada yang sedikit bergetar. "Apa tuan yakin tidak tertarik padanya?"
Mata Vasko beralih, menatap perempuan di pangkuannya dengan pandangan dingin. Senyum sinis itu tidak memudar, justru semakin menohok. "Apakah kau benar-benar berpikir," katanya pelan, tetapi nadanya seperti cambuk, "bahwa aku pernah jatuh cinta padamu?"
Kata-kata itu, meski sederhana, menampar keras. Perempuan itu tertunduk, bibirnya gemetar, dan keseksian yang ia banggakan seketika memudar di hadapan penghinaan lelaki itu. Namun, ia tetap diam, terlalu terpesona oleh sosok yang meremukkan harga dirinya dengan begitu mudah.
Vasko berdiri hingga membuat Soraya berdiri dengan cepat. Ia berdiri begitu kokoh dengan raga menawan begitu ia banggakan.
"Perempuan hanya lah mainan bagiku!"
Desis Vasko, membuat Soraya menunduk dengan kedua matanya yang memanas.