bc

Congratulation For Stealing My Husband

book_age18+
977
FOLLOW
6.1K
READ
revenge
drama
twisted
heavy
ambitious
evil
female lead
realistic earth
weak to strong
like
intro-logo
Blurb

Inge bukan perempuan lemah, ketika tahu suaminya yang bernama Arif Bijaksana selingkuh dengan seorang staf di kantornya yang sudah Inge kenal lugu dan ceras hingga hamil, Inge tahu meminta cerai akan terlalu mudah dan hanya merugikan dirinya saja. Sementara Arif dan Olin akan bahagia membentuk keluarga baru.

Inge memanfaatkan kehamilan Olin untuk memenuhi keinginannya memiliki anak yang belum juga ia miliki, ia mengurung Olin dan memastikan kehamilannya tidak diketahui siapapun. Sementara di depan orang-orang, Inge berpura-pura hamil seusia kandungan Olin.

Dengan begitu, aib Olin akan tertutupi, Inge tidak akan kehilangan Arif, dan Arif tetap memiliki keturunan.

Bukankah ini cukup adil buat semua pihak?

Dan bukankah Inge cukup baik hati?

chap-preview
Free preview
01 | Breakfast
Arif mendengar tangisan Inge dari dalam kamar mandi. Lagi. Inilah yang Arif benci setiap pertengahan bulan, sepanjang lima tahun pernikahan mereka. Inge akan menyakiti batinnya dan menjatuhkan mentalnya sendiri dengan sebuah alat bernama testpack. Berkali-kali Arif sudah coba meyakinkan agar mereka menjalani program kehamilan ini dengan santai, tidak peduli singgungan keluarga dan tetangga, toh yang terpenting Arif memahami dan menerima kondisinya. Jujur saja, keadaan itu juga membuatnya frustrasi. Namun tidak ada yang bisa mereka lakukan ketika segala ikhtiar sudah dicoba, kecuali bersabar, bukan? Arif menyelesaikan simpul dasinya dengan cepat, lalu keluar kamar. Dua berbelok ke meja makan dimana dua orang asisten rumah tangganya tenggah menyiapkan sarapan. " "Aini," panggil Arif membuat salah satu dari mereka menyahut. "Ya, Pak?" “Bilang ke Ibu kalau saya langsung ke kantor, ya. Ada meeting mendadak." Arif langsung pergi tanpa peduli Aini belum menjawab. "Si Bapak makin jarang mau makan di rumah kayaknya, ya," Ika, rekan Aini menyuarakan persis keanehan yang beberapa hari ini dia rasa-rasa sendiri. Di awal Aini mulai ikut kerja dengan keluarga ini, sesibuk apa pun kedua majikannya itu, mereka pasti akan selalu menyempatkan untuk sarapan bersama. Itu jadi semacam kewajiban, makanya Aini ditugaskan memberi perhatian lebih pada menu sarapan. "Mungkin emang lagi sibuk," Aini menanggapi, tak mau terlalu ambil pusing. "Tahu sendiri, kan, kabarnya si Bapak mau nyalon Gubernur. Hebat, nggak, tuh." "Iya, juga, sih ...," desah Ika seolah tak puas. Ika lalu meninggalkan meja makan, setelah pamit pada Aini akan membersihkan rumah lantai dua. “Lihat Bapak, Ni?” tanya Isya. Aini terkesiap kaget mendengar suara sang Nyonya yang kini tengah berjalan ke arah meja makan sambil mengikat jubah mandinya. "Bapak barusan berangkat, Bu. Ada meeting dadakan, katanya." "Udah berangkat kerja?" Aini mengangguk kaku. Bahkan Inge pun keheranan suaminya sudah berangkat kerja sepagi ini, di saat diri ya bahkan baru selesai mandi. Kemudian Inge hanya mengangguk mengerti, lalu membuka menarik salah satu kursi untuk diduduki. "Saya minta kopi, dong, Ni," ujar Inge sembari memijat pelipis dengan kedua tangan yang sikunya bertumpu di atas meja. "Kopi, Bu?" Aini takut salah dengar. Pasalnya minuman wajib Inge setiap pagi adalah jus-jus sayuran dan minuman herbal yang dibeli mertuanya langsung dari China yang dipercaya bisa menyuburkan kandungan. "Iya, Aini ... saya lagi ingin minum kopi. Kopi hitam yang biasa diminum Bapak. Kamu udah siapkan, kan?" "Oh, baik, Bu." Dengan sigap Aini menuang cairan pekat dalam teko elektrik yang sudah dia siapkan itu ke cangkir di depan Inge. “Ibu kalau lagi nggak enak badan. Sedikit aja minuk kopinya,” ujar Pipit berhati-hati, tidak ingin terkesan lancang dan sok akrab menasehati. “Saya nggak sakit, kok. Rada sembab ya mukanya?” Inge balik tanya sambil tersenyum, seolah ingin menepis pikiran Aini. “Semalam habis begadang ngerjain kasus, makanya bangun-bangun mukanya kayak gini sama masih ngantuk banget.” “Oh…” Aini mendesah lega. “Saya kita Ibu berantem sama Bapak—“ Buru-buru Aini mengatupkan bibirnya saat sadar dia mengatakan sesuatu yang tidak semestinya. Di luar dugaan, alih-alih marah lantaran tersinggung Aini ingin tahu masalah pribadinya, Inge tertawa kecil. “Kenapa juga kamu mikir gitu, Ni? Ada-ada aja." Inge mengangkat kuping cangkirnya dan menyeruput sedikit kopi panas itu. Aini tidak perlu tahu selama setengah jam penuh Inge menangis di dalam toilet setelah test pack-nya yang entah ke berapa puluh kali lagi-lagi menunjukkan satu garis. Sebagai perempuan, ia sungguh mendamba lahirnya anak dari rahimnya. Sebagai menantu, ia merasa bertanggung jawab memberi penerus keturunan mengingat Arif adalah anak tunggal. Dan sebagai istri, ia merasa gagal melakukan tugasnya. Arif memang tidak pernah menuntut, dia selalu mengatakan kalau anak adalah bonus. Karena yang terpenting dan paling penting adalah kebersamaan mereka. Semula Inge percaya, tapi lama-lama kebersamaan mereka rasanya hambar. Mereka bosan hanya membicarakan masalah pekerjaan masing-masing, berita apa yang sedang ramai sekarang, sepupu dari keluarga mana lagi yang akan menikah, dan sebagainya. Akhirnya, tanpa sadar mereka lebih sibuk dengan diri dan pekerjaan sendiri-sendiri. Inge dengan setumpuk berkas kasus hukum kliennya di LBH tempatnya bekerja mengikuti panggilan hati, dan Arif dengan segudang pekerjaan di gedung Dewan serta ambisi-ambisi politiknya. Bahkan sekarang pun Arif makin sibuk, dan belum sempat punya kesempatan memberitahu apa yang sedang dia kerjakan belakangan. Inge rindu sarapan santai dengan suaminya. Aini hendak meninggalkan Inge sarapan sendiri, ketika Inge kembali memanggilnya. "Ini tolong kamu masukin kotak makan, ya, saya mau bawa ke kantornya Bapak." Inge lantas berdiri setelah menyeruput kopinya sekali lagi lalu beranjak ke kamar untuk bersiap-siap. *** Dada Olin serasa ikut sesak setiap kali mendengar suara batuk ibunya. Pelan-pelan, Olin membantu Ibunya bangun dari rebahan dan memberinya gelas teh hangat yang sudah ia siapkan. Olin menatap wajah pucat mamanya cemas. "Nanti ke rumah sakit, ya, Ma. Batuk Mama kayaknya makin parah." Mama menggeleng lemah, dia masih berusaha tersenyum menenangkan Olin. "Besok aja, kalau masih batuk." "Dari dua hari lalu Mama ngomong gitu." "Yang kali ini beneran." "Benar, ya, awas kalau sampai besok Ibu masih batuk dan ngomong kayak gitu lagi. Aku bawa ambulance ke sini," ancam Olin tegas. "Iya, iya ...." Mama ingin berbaring lagi. "Kamu berangkat kerja aja sana, nanti terlamb-- Uhuk!" "Udah, Mama nggak usah ngomong lagi. Simpan aja tenaganya biar cepat sembuh." Mama tersenyum dan mengangguk. Olin menyalimi tangan mamanya, lantas keluar dari kamar Mama. Olin berniat langsung makan sarapan sederhananya, berupa roti dan selai cokelat yang sudah ia siapkan di atas meja makan. Namun, saat Olin sampai sana, setangkup roti itu sudah tidak ada di piringnya. Berindah ke tangan lelaki tinggi besar bersinglet band metal yang baru pulang satu jam lalu itu. Dia pasti kelaparan setelah semalaman entah judi atau main perempuan. "Apa lihat-lihat?" lelaki yang tak lain adalah Ringgi, kakak kandung Olin itu menyelak galak. "Lo nggak bisa masak yang lebih bener? Mama lo kasih bubur nggak bergizi, pantas aja dia nggak sembuh-sembuh. Ini lagi, apaan sarapan roti. Sok bule lo." "Mama nggak sembuh-sembuh bukan karena makanan yang gue siapin, tapi karena beban punya anak kayak lo. Lo udah cukup tua buat ngeluh soal makanan, lo bahkan udah bisa menggadaikan sertifikat rumah diam-diam." Ringgo membanting sisa rotinya ke meja. "Apa salahnya? Ini rumah gue!" "Rumah lo? Jangan lupa, ada hal Mama sama hak gue juga di sini. Lagian, setelah gue tebus sertifikat itu, lo sebenarnya udah nggak ada hak sama rumah ini lagi." "Oh, mentang-mentang lo udah banyak duit, sekarang lo berani banyak omong. Kontrak nggak diperpanjang mampus lo." Ringgo melotot marah. "Mama mungkin bisa lo bohongi, tapi gue enggak. Mana ada staf anggota dewan baru kerja setahun udah bisa bayar hutang seratus juta, kalau nggak jadi simpanan bosnya." Bibir Olin mendesis tak habis pikir, "bisa ya lo ngomong begitu ke adik sendiri?" Ringgo menyeringai, dia memungut lagi sisa rotinya di atas meja. "Justru karena lo adik gue. Gue tahu lo sangat bisa melakukan apa aja, lihat aja bokap, gue, dan lari gih ke kamar buat ngaca. Asal lo tahu itu udah mengalir di darah kita." Kedua tangan Olin mengepal di sisi tubuhnya, ia sangat benci Ringgo tapi tidak tahu bagaimana cara lepas dari dia. Olin bahkan sudah tidak bisa meneteskan air mata, entah separah apa Ringgo menyakitinya. Olin berangkat kerja menggunakan transportasi umum, setelah berpindah kendaraan tiga kali, ia akhirnya tiba di tempat kerjanya. Sejauh ini, bekerja jadi staff seorang anggota dewan adalah pekerjaan terbaiknya. Olin tersenyum menyapa siapa pun yang ia kenal, ia ingin kenal dan menjalin hubungan baik dengan banyak orang agar jika kontraknya habis dan tidak diperpanjang, ia mudah mendapatkan informasi pekerjaan dari mereka. Ruang staff masih kosong, staff yang lain belum ada yang tiba di ruangan bertulis nama Arif Bijaksana. Olin mengernyitkan kening saat menemukan sebuah kotak makanan dan segelas kopi di meja kerjanya, ia melirik sekeliling, dan matanya tertahan di pintu ruang kerja atasannya. Olin tidak bisa menahan senyum. Ia kira pagi harinya sudah hancur, tapi ternyata ada yang bisa memperbaikinya. Buru-buru Olin mengeluarkan ponsel dan mengetikkan pesan pada orang yang ia yakini dia lah yang meninggalkan sarapan ini di mejanya. Terima kasih makanannya, Pak Bapak udah makan? Hanya berselang beberapa detik kemudian, muncul pesan balasan. Aku lagi makan Kalau belum ada orang, kamu ke sini aja Olin bersorak dalam hati. Terlebih dulu ia menyalakan komputer dan mengambil berkas yang akan dibawa sebagai alibi ke ruang kerja atasannya. Olin baru saja berdiri, tapi seketika membatu saat seseorang memasuki ruangan. "Pagi, Olin," sapa orang itu ramah. Senyumnya sangat hangat, wajah cantiknya terbingkai rambut lurus yang menjuntai panjang. Pertama kali bertemu dengannya, Olin berpikir orang ini pastilaj jelmaan dewi atau bidadari. Olin mengerejapkan mata celat, buru-buru ia mencetak senyum di wajahnya. "Pagi juga, Bu Inge. Kenapa pagi-pagi udah di sini, Bu?" Inge mengangkat sedikit tas kotak makanan warna merah marun di tangannya. "Mau antar sarapan buat Bapak, tadi dia nggak sempat sarapan di rumah karena ada meeting ya katanya. Bapak ada di dalam?" "Ehm, kurang tahu, Bu. Saya juga baru sampai." "Oh, nggak apa-apa. Saya langsung ke ruangannya aja." Sekilas Inge melirik kotak makanan warna kuning man merah di atas meja kerja Olin, lalu tersenyum. "Ya udah, kamu sarapan aja dulu sebelum kerja. Biar fokus." "Hm, Iya, Bu." Olin tidak bisa mencegah saat Inge membawa tubuh jenjangnya ke ruang kerja Arif, dia langsung membuka pintu itu tanpa merasa perlu ketuk pintu. Olin hanya bisa menatap dia iri. Samar-samar Olin mendengar suara Arif dari dalam, "yang lain belum datang?" "Lho, kamu lagi sarapan, Mas?" "Oh, kamu ke sini?" Dilihatnya Inge masih tertahan di ambang pintu, perlahan kepalanya berputar memandang Olin, lalu berpaling lagi ke dalam ruang kerja suaminya. Olin lantas mengalihkan pandangan, kembali duduk dan pura-pura sibuk dengan komputer. Dari ekor matanya, ia melihat Arif menyambut Inge dengan pelukan. Dan saat Olin melirik ke arah itu, Arif sedang menatapnya dari balik punggung sang istri.

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

After That Night

read
13.3K
bc

Hasrat Istri simpanan

read
15.0K
bc

BELENGGU

read
67.9K
bc

The CEO's Little Wife

read
653.1K
bc

Revenge

read
27.7K
bc

Aku ingin menikahi ibuku,Annisa

read
80.2K
bc

Istri Lumpuh Sang CEO

read
3.9K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook