Tuan Muda dan Upik Abu 08 - Mereka Bertemu

2160 Words
Suara musik menghentak keras di kamar Alfian. Alunan musik rock itu menggema sangat kencang sekali, seakan-akan mampu merobohkan atap rumah. Alfian duduk di tepi ranjangnya dengan raut wajah kesal. Alfian terlihat sudah berpakaian rapi. Ia mengenakan setelan celana jeans warna hitam, kaos warna hitam juga dan jaket levis berwarna biru. Baru saja ia mencoba untuk keluar dari rumah itu. Tapi … Tentu saja ia tidak bisa. Penjagaan hari ini bahkan lebih ketat dari pada biasanya. Alfian mencoba menyusup keluar dari gerbang belakang, tapi ia dicegat oleh sekelompok penjaga. Dia mencoba membujuk penjaga depan untuk melepaskannya dengan sejumlah uang. Tapi mereka bergeming dan bahkan tidak menghiraukan ucapan Alfian sedikit pun. “SIAAAL …!” Alfian mengumpat keras. Ia melirik arlojinya lagi. Alfian ingin keluar untuk berhuru-hara. Dia ingin bersenang-senang dengan anggota genk-nya yang terdiri dari kumpulan anak-anak sultan. Alfian beranjak mendekati jendela kamarnya, lalu menyibak tirai yang menutupi jendela itu. Di bawah sana terlihat barisan penjaga berpakaian serba hitam. “Cih, sekarang mereka bahkan juga berjaga di sana,” bisik Alfian pelan. Alfian mengambuskan napas gusar, ia memaksa otaknya untuk berpikir bagaimana caranya keluar dari tempat itu. Alfian menggerak-gerakkan lututnya seraya menggigit bibir. Bagaimana caranya bisa keluar. Ia berpikir. Terus berpikir. Sampai kemudian Alfian tersenyum tipis. Ia mengambil handphone-nya dan langsung menghubungi Riski. “Halo… Lo di mana? Kenapa belom nyampe juga?” suara cempreng Riski langsung terdengar dari balik telepon. Alfian menghela napas pendek. “Gue nggak bisa keluar nih! Lo harus bantuin gue sekarang!” “Bantuin gimana?” “Sekarang juga lo ke sini! Oh iya, topeng setan yang lo pake buat hallowen kemarin masih ada, kan?” tanya Alfian lagi. “Masih. Ada di rumah. Emangnya kenapa?” “Lo ambil topeng itu dan lo harus pake saat masuk ke rumah gue nanti.” “Buat apa anjiiiiir …!?” Riski sedikit protess. “Udah jangan banyak tanya. Pokoknya lo kerjain aja perintah gue! Nanti gue isiin top up buat game lo deh!” “BENERAN, YA …!?” suara Riski langsung berubah antusias. Alfian tidak lagi menjawab dan memutuskan sambungan telepon itu. . . . Setelah menunggu sekitar tiga puluh menit, akhirnya Alfian mendengar suara seseorang mengetuk pintu kamarnya. Dia bergegas membukakan pintu dan terlihat sosok Riski yang datang memakai topeng yang terlihat menyeramkan. Riski mengenakan hodie kebesaran warna hitam dan menutupi kepala dengan tudungnya. Alfian tergelak pelan. “Akhirnya lo dateng juga!” Tapi kemudian. Tiba-tiba sosok Rudi muncul dari balik punggung Riski. “Apa benar kalian akan mengerjakan tugas kelompok bersama?” selidiknya. Riski melepas topengnya, lalu membelalakkan mata menatap Alfian. Memberi Isyarat bahwa Alfian harus membenarkan alasan itu. “Iya benar!” jawab Alfian santai. Rudi sang asisten pribadi masih menatap penuh curiga. Giliran Riski berbalik dan cengengesan menatap Rudi. “Tenang aja, Mas. Nggak lama kok. Setelah selesai, aku akan langsung pamit. Soalnya ini memang harus dikerjakan bersama-sama.” Rudi tetap merasa tidak yakin, tapi meskipun begitu dia merasa cukup aman meninggalkan Alfiano dan Riski di sana. “Baiklah kalau begitu. Saya akan tetap menjaga di luar.” Alfian tersenyum. “Terserah saja!” Rudi keluar dari kamar itu dan Alfian pun buru-buru menutup pintu dan menguncinya. “Gila! Gue tadi di interogasi abis-abisan buat bisa masuk ke sini bang-sat! Ada beberapa lapis penjagaan yang harus gue lewatin. Nemuin lo udah kayak mau nemuin presiden aja. Kenapa, sih? Kenapa tiba-tiba lo jadi tawanan lagi seperti ini?” Riski langsung bersuara. “Semua gara-gara si Rahma sialan itu! Lihat aja, gue akan bikin perhitungan sama guru tengik itu.” Alfian masih merasa dendam. “Terus sekarang apa rencana lo? Kenapa lo nyuruh gue dateng ke sini pake topeng segala?” tanya Riski. Alfian menyeringai penuh arti. “Sini kunci motor lo! Kasih ke gue!” . . . Rudi melirik arloji yang melingkar di tangannya. Sudah tiga puluh menit berlalu, tapi tidak ada tanda-tanda mencurigakan dari kamar sang tuan muda yang masih tertutup rapat. Rudi mengembuskan napas lega. Ia tidak boleh lengah. Jika Alfian sampai kabur … dia akan dimarahi habis-habisan lagi oleh Handoko. Pekerjaan yang sangat melelahkan memang. Akhir-akhir ini Rudi bahkan mulai berpikir untuk berhenti. Dia sudah tidak sanggup menjadi asisten pribadi Alfian yang selalu saja membuat masalah tanpa henti. Sedang asyik melamun, Rudi dikejutkan oleh pintu kamar yang terbuka. Terlihat sosok Riski keluar dari sana. Ia mengenakan topengnya lagi dan menutup pintu kamar itu kembali. “Sudah selesai?” tanya Rudi. Riski mengangguk dan mulai melangkah pergi. Rudi kemudian masuk ke dalam kamar. Ia melihat sang tuan muda sudah berbaring dibalik selimutnya. “Apa-apaan ini? Dia tertidur?” bisiknya pelan. Rudi yang memang kelelahan karena kurang tidur kembali keluar. Ia juga ingin beristirahat sejenak. Rudi melangkah menuju sofa di ujung ruangan. Ia juga ingin menikmati secangkir kopi untuk mengembalikan mood-nya. “Aku bisa beristirahat sebentar.” Tapi kemudian… Deg. Rudi melotot menyadari sesuatu. Sebuah perasaan tidak enak juga langsung merambatinya. Membuat lelaki itu meneguk ludah dan kembali berlari masuk ke dalam kamar sang tuan muda. Rudi mengempas pintu itu dengan napas sesak dan langsung menarik selimut yang menutupi tubuh sosok yang sedang berbaring itu. Deg. Rudi langsung tersentak. Sementara sosok itu malah menyeringai. “K-kamu ….” Rudi menatap geram. Riski mengangkat dua jarinya membentuk tanda ‘peace’. “Maaf … aku hanya disuruh sama Alfian.” Rudi semakin kesal. Ia segera berlari ke lantai dasar, lalu berlari lagi keluar untuk mencari keberadaan Alfian. Aliran napasnya terdengar sesak saat tiba di depan gerbang utama. “Apa pemuda bertopeng tadi sudah pergi?” tanyanya pada penjaga. “Sudah, Mas! Dia sudah pergi dari tadi.” Jawaban itu membuat kedua lutut Rudi terasa lemas. Dia memejamkan mata dengan aliran napas yang sesak. Alfian sudah berhasil kabur. Dan itu berarti … ia juga akan segera mendapatkan masalah. . . . Aya mempercepat langkahnya setelah mendapatkan sebuah pesan singkat. Gadis itu berlari-lari kecil sambil membawa sebuah kantong plastik berisi telur. Aya sedang berbelanja di warung saat mendapatkan pesan itu. Aya segera menyeberangi jalanan. Berjalan menuju sebuah halte dan tersenyum saat melihat seorang wanita dengan pakaian formal duduk di sana. “Bu Rahma …!!!” Aya memekik dan melambaikan tangannya. Sosok guru muda yang cantik itu balas tersenyum, lalu menggerakkan telapak tangan, menyuruh Aya untuk cepat mendekat. “Ibu apa kabaaar …?” Aya menatap antusias. “Bu Rahma sekarang terlihat semakin cantik semenjak pindah mengajar. Rahma mengedipkan mata. “Ah, kamu bisa aja.” Aya dan Rahma kemudian duduk di halte itu sambil menikmati eskrim tangkai. Aya memilih varian stroberi. Sedangkan Rahma memilih varian cokelat. “Bagaimana keadaan di sekolah sekarang?” tanya Rahma. “Hmmm … semua baik-baik aja, Bu. Hanya saja terkadang kami masih rindu sama bu Rahma,” jawab Aya. Rahma tersenyum tipis. “Ah … apa sebaiknya ibu kembali saja?” Aya melotot. “Eh. Bukannya Ibu sudah susah payah berjuang dan mengikuti berbagai ujian seleksi untuk bisa mengajar di SMA itu?” Rahma menerawang menatap jalanan di depannya. Apa yang dikatakan Aya memang benar. Sebelumnya Rahma berstatus sebagai guru honor di SMA Aya. Dia sudah mengabdi di sana selama kurang lebih satu tahun. Rahma merasa nyaman mengajar di sana, hanya saja … Honor yang ia dapat dari mengajar tidak seberapa, sementara kebutuhan dan biaya hidup semakin tinggi. Tes CPNS juga tak kunjung terdengar kabarnya. Sampai kemudian ia mendapat kabar tentang SMA Sanjaya yang membuka perekrutan untuk tenaga pengajar. Rahma akhirnya berjuang untuk melalui tahap demi tahap. Ia melamar sebagai guru tetap di sana. Setelah melalui banyak drama dan persaingan yang cukup sengit. Akhirnya Rahma berhasil. Ia tentu sangat senang. Gaji di sana berpuluh lipat lebih besar dari yang ia terima sebelumnya. Kehidupan Rahma seketika membaik dalam beberapa bulan saja. Ada banyak tunjangan dan juga bonus lain yang ia terima. Akan tetapi … Ia kini malah murung dan terlihat tidak bersemangat. “K-kenapa, Bu? Apa ada masalah?” Aya memerhatikan wajah mantan wali kelasnya itu lekat-lekat. Rahma tersadar dari lamunannya, lalu menatap Aya. “Mungkin ibu hanya merasa capek mengajar di sana. Kelakuan murid-murid di sana sangat menguras emosi dan juga pikiran.” Aya mengernyit bingung. “Bukannya anak-anak SMA itu terkenal dengan kepintarannya?” Rahma mengangguk. “Iya. Mereka memang pintar-pintar. Jiwa kompetitif di sana sangat tinggi. Semua bersaing dan melakukan berbagai cara untuk menjadi yang terbaik.” “Lalu kenapa Ibu merasa capek?” tanya Rahma. “Mereka memang pindar di bidang akademik, tapi sangat kurang dalam etika,” jawab Rahma. “Apa mereka sangat bandel?” tanya Aya lagi. Rahma mengangguk. “Rata-rata seperti itu … dan ada satu murid yang paling nakal diantara semuanya.” Rahma mengembuskan napas kasar saat teringat siswa itu. Siapa lagi kalau bukan Alfiano Sanjaya. Sosok murid yang benar-benar membuatnya lelah. Rahma sudah berusaha semampunya untuk mendidik Alfian dengan baik. Tapi … Ia sangat kesulitan. Guru-guru lain dan pihak sekolah juga selalu menutup mata setiap kali Rahma mencoba membicarakan tentang perangai Alfian yang meresahkan. “Tapi sudahlah … tidak perlu memikirkannya,” tukas Rahma kemudian. “Ibu tadi kebetulan lewat sini dan teringat sama kamu. Sebenarnya sejak jauh-jauh hari ibu memang sudah berencana untuk menemui kamu. Beberapa hari yang lalu ibu mencoba menghubungi kamu, tapi nomor hanphone kamu tidak aktif lagi.” Aya tersenyum malu. “Maaf, Bu … tapi handphone aku rusak, nggak mau nyala lagi.” Rahma terkejut. “Jadi sekarang kamu nggak punya handphone?” Aya menggeleng. Rahma buru-buru merogoh tasnya. “Kebetulan ibu sudah membeli handphone baru … dan handphone lama ibu nggak kepake lagi. Jadi buat kamu aja!” Aya terkejut dan langsung menolak. “Nggak usah, Bu! Aku baik-baik aja, kok.” “Sudah terima saja!” Rahma memaksa dan meletakkan handphone itu ke tangan Aya. Aya adalah anak kesayangan Rahma saat ia masih mengajar di tempat lamanya. “Jaman sekarang ini handphone sudah termasuk kebutuhan pokok. Bagaimana bisa gadis belia seperti kamu hidup tanpa handphone.” ujar Rahma lagi. Aya tersenyum malu. “Terima kasih, ya … Bu. Sekali lagi terima kasih banyak.” . . . Sementara itu. Alfian melajukan motor milik Riski dengan senyum sumringah. Akhirnya dia bisa melarikan diri dari rumah. Motor itu terus meliuk-liuk di antara kendaraan yang cukup padat. Kalau sudah lepas seperti itu, maka akan dipastikan kalau Alfian akan melakukan huru hara dan membuat masalah lagi di luar sana. Ban sepeda motor itu berhenti berputar tepat saat lampu merah di depan sana menyala. Alfian mende-sah pelan. Cuaca sore ini terasa cukup terik bagi anak sultan seperti dirinya. Alfian memandang ke sekitar seraya menanti lampu lalu lintas berubah hijau. Ia celingak-celinguk memerhatikan keadaan sekitarnya. Alfian memastikan tidak ada penjaga yang mengikuti dan akan menangkapnya nanti. Tapi kemudian…. Eh. Alfian menyipitkan matanya untuk bisa melihat lebih jelas. “Bu Rahma …!?” desisnya. Alfian melihat sosok guru yang dibencinya itu sedang duduk di halte, tepat di seberang sana. Raut wajah Alfian berubah masam. Ia langsung menutup kaca helm-nya kembali dan segera berbelok ke sana. Raungan suara motor yang tiba-tiba berhenti di hadapannya itu membuat Rahma terkejut. Aya juga ikut kaget dan kini menatap bingung. Alfian turun dari motor itu, lalu melepas helm-nya. Rahma langsung tersenyum pelan. “Akhirnya saya bisa bertemu dengan anda di sini,” ucap Alfian ketus. Rahma balas memandangnya. “Kenapa? Apa ada sesuatu yang mau kamu katakan? Apa kamu sudah menyesali perbuatan kamu terakhir kali, ha? Apa kamu menemui saya untuk meminta maaf?” Alfian termangu sejenak, lalu kemudian tertawa keras. “HAHAHAHAHAHAHA.” Aya yang bingung dengan situasi itu hanya bisa menatap bingung. Ia menatap sosok Alfian sebentar. Lelaki dengan postur atletis dan tinggi itu kini berdiri pongah di hadapan bu Rahma. “Jangan mimpi! Saya akan pastikan anda ditendang dari sekolah!” ancam Alfian. Rahma mengembuskan napas kasar. “Ternyata anak seperti kamu benar-benar tidak memiliki etika sama sekali.” “Apa gunanya etika di jaman sekarang ini? Semua akan selesai dengan uang! Bukankah anda mengajar di sana juga untuk menghasikan uang yang banyak? MUNAFIK.” Aya terhenyak mendengarkan jawaban lelaki itu. Rahma sendiri tampak masih bersabar dan tenang. Alfian lalu merunduk dan menatap tajam pada Rahma. “Saya hanya ingin mengatakan … bahwa anda sudah membuat kesalahan besar mencari gara-gara dengan saya. Lebih baik anda pergi dari sekolah dengan kaki anda sendiri … sebelum saya mempermalukan anda. Dasar perempuan JALANG!” Perkataan Alfian membuat Rahma terhenyak dengan bibir bergetar. Sementara Alfian malah tersenyum santai dan berbalik hendak naik ke motornya kembali. Aya yang duduk di sebelah Rahma juga ternganga. Dia sangat kaget mendengar apa yang lelaki itu ucapkan. Seketika wajah Aya terasa panas. Ia refleks mengambil sebutir telur di dalam kantong plastik, lalu kemudian menghardik keras. “HEIIII …!” hardik Aya. Alfian yang hendak memakai helm-nya berbalik. Tapi saat itu juga … Sebutir telur mendarat dan pecah di keningnya. Deg. Rahma membelalak melihat apa yang baru saja Aya lakukan. Sedangkan Alfian menyentuh wajahnya yang sudah terkena lendir telur, lalu menatap tajam kepada Aya. “Kamu … APA YANG SUDAH KAMU LAKUKAN, HA …!?” teriak Alfian murka. . . . Bersambung … Note: pelan tapi pasti kita mulai masuk ke alur cerita. Ya…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD