Jarum jam hampir menunjukkan pukul 00.00 tepat saat Alfian pulang ke rumahnya. Dia baru saja pulang berhuru-hara, menghadiri sebuah private party di sebuah hotel ternama. Pesta diadakan oleh salah satu teman Alfian yang berulang tahun. Alfian tersenyum pelan mengingat betapa menyenangkannya pesta yang tadi berlangsung. Tapi seketika senyumnya langsung memudar saat ia mengingat sesuatu.
Satu bulan yang lalu Alfian juga berulang tahun. Sejak kecil ia terbiasa dengan pesta ulang tahun super mewah dan kejutan yang luar biasa. Hal itu pun berlangsung selama bertahun-tahun selama sang ibunda masih ada. Akan tetapi kali ini …
Tidak ada pesta meriah.
Tidak ada tumpukan kado yang menggunung.
Tidak ada surprise yang membuat matanya terbelalak.
Ironisnya lagi …
Tak ada ucapan selamat ulang tahun sama sekali.
Yang paling menyedihkan adalah … sang ayah bahkan lupa dengan hari ulang tahunnya. Saat itu Alfian sempat berharap. Menjelang pukul 00.00, dia menjadi gelisah. Alfian bahkan sengaja tidak mengunci pintu kamarnya. Karena ia sempat berpikir mungkin saja sang papa akan datang membawa kue dan menyanyikan lagu ulang tahun seperti sebelumnya.
Tapi kemudian …
Tidak ada yang terjadi.
Jarum jam terus bergerak, tapi Alfian tidak mendapatkan apa yang dia tunggu. Apa yang dia harap. Moment itulah yang menjadi puncak kekecewaan Alfian kepada sang papa. Sejak itu perangai Alfian semakin menjadi-jadi saja. Dia selalu membuat onar. Dia selalu menimbulkan masalah.
Wajar saja. Dulu dia adalah sosok pangeran yang selalu diperhatikan. Semua mata dan segala kepedulian itu tercurah padanya. Apalagi Alfian juga menyandang status sebagai anak tunggal. Kepergian sang ibunda memang menjadi titik balik yang sangat menyedihkan bagi Alfian. Ia merasa hampa, kehilangan sosok malaikat yang selama ini selalu ada di sisinya.
Akan tetapi…
Alfian tidak pernah menangis saat sang ibunda berpulang. Dia tidak pernah menitikkan aia mata sama sekali. Semua orang pun berasumsi bahwa dia adalah anak yang kuat, termasuk sang ayah sendiri.
Rasa kehilangan itu ia pendam sendiri.
Ia simpan sendiri.
Alfian tetap beraktivitas seperti biasa. Dia tetap bersekolah. Dia tetap melakukan hobinya. Hanya saja … sorot tatapan matanya itu tidak pernah lagi sama. Bibirnya itu tidak pernah lagi tersenyum tulus. Alfian bersembunyi di balik topeng ketegaran yang siapapun menyangka bahwa dia benar-benar kuat dan tidak goyah.
Namun … sang ayah tiba-tiba memberi kabar bahwa dia akan menikah lagi. Saat itulah hati dan perasaan Alfian begejolak. Terlebih saat dia mengetahui kalau ia akan mempunyai saudara tiri.
Alfian menolak.
Alfian menentang keinginan sang ayah.
Apalagi kala itu kepergian sang ibu baru empat bulan saja. Alfian masih berkabung. Ia bahkan masih sering merasa dejavu di pagi hari. Merasa bahwa sang mama masih hidup dan berada di dapur untuk memasak sarapan mereka.
Alfian menolak dengan baik-baik, hingga dengan menolak keras.
Tapi… Handoko sang ayah tidak mengubrisnya.
Pernikahan itu tetap saja berlangsung. Dan sejak saat itu. Rumah yang biasanya menjadi tempat ternyaman untuk pulang …
Langsung berubah teras bagai neraka bagi Alfian.
“Haaaah ….” Alfian terus melangkah sambil menghela napas panjang.
Ia berjalan menelusuri jalanan marmer menuju pintu utama sambil menengadahkan kepala menatap langit yang terlihat kosong tanpa bulan ataupun bintang. Hampa. Seperti hatinya saat ini. Alfian merasa bagai terombang-ambing. Ia tidak tahu lagi apa yang sebenarnya ia inginkan? Apa yang sebenarnya ia butuhkan? Ia tidak tahu lagi apa tujuannya?
Alfian kehilangan mimpi-mimpi besar yang dulu sempat ia rajut dengan dukungan sang ibunda.
Alfian terus melangkah dalam suasana hati yang berubah sendu. Ia pun tidak mengerti kenapa. Mungkin embusan angin malam ini yang sudah meniupkan rasa getir itu kembali.
“Baru pulang Tuan?”
Suara itu membuat Alfian sedikit terkejut. Ia menoleh ke belakang dan ternyata itu adalah Sajid. Sopir sang papa alias ayah Cahaya.
“Bapak sendiri kenapa masih ada di sini?” Alfian balik bertanya.
Sajid tersenyum tipis. “S-saya juga baru mau pulang, Tuan.”
Alfian memerhatikan sosok lelaki itu sejenak. Di masa lalu, Alfian cukup dekat dengan Sajid karena sebelumnya Sajid selalu menjadi sopir Alfian dan sang ibunda. Selain itu sosok Sajid yangs edikit humoris juga sering mengajak Alfian bercanda.
Dan satu lagi…
Sajid itu jago bermain bulu tangkis. Di masa lalu Alfian sering mensabotase pekerjaan Sajid. Ia melarang lelaki itu menyupir dan malah mengajaknya untuk bermain bulu tangkis.
Tapi semua itu jelas tinggal cerita.
Sekarang Alfian sudah kehilangan rasa empati dalam dirinya.
“Anda terlihat kurus sekali,” ucap Alfian.
Sajid meneguk ludah. “Saya kemarin sempat sakit, Tuan.
Alfian berdecak pelan. “Lagian sudah uzur begitu masih aja bekerja. Berenti deh! Emang pikirannya duit aja, ya?”
Kalimat itu membuat Sajid termangu beberapa saat. Tapi kemudian dia memilih menghiraukan ucapan Alfian yang sebenarnya sangat tidak sopan itu. Sajid pun mengetahui bagaimana kelakuan Alfian selama ini dan memilih untuk memakluminya.
“Sebaiknya Tuan segera masuk ke rumah. Angin malam tidak baik untuk kesehatan,” ingat Sajid.
Alfian menatap malas. “Nggak usah sok peduli! Justru anda harus khawatir saja diri anda sendiri. Entah besok atau lusa, bisa saja anda segera menghadap ke pangkuan yang maha kuasa!”
Sajid langsung ber-istigfar dalam hatinya. Ia pun memilih untuk tidak membalas perkataan itu dan kemudian melangkah pergi.
Alfian malah berbalik dan kembali menghardik lelaki tua itu.
“Pikirkan lagi saran saya baik-baik! Sebaiknya anda berhenti saja!”
Sajid tidak menghiraukannya lagi. Dia hanya terus berjalan sambil mengatur napas yang sesak. Sebelumnya Sajid hanya mendengar cerita dari Handoko bagaimana kelakuan Alfian. Dan sekarang dia benar-benar menyadari bahwa sosok tuan muda itu sudah berubah.
Tapi…
Sajid tidak merasa marah.
Dia malah merasa prihatin kepada Alfian.
“HEH PAK TUA …!! kalo orang ngomong itu DENGERIN DONG …!”
Bentakan itu membuat langkah Sajid terhenti. Dia berbalik pelan dan menatap Alfian yang kini berdiri pongah menatapnya.
“Berani-beraninya anda menghiraukan saya yang lagi bicara,” omel Alfian lagi.
Sajid mengembuskan napas panjang, lalu berjalan mendekati Alfian.
“Apa? Pergi sana!” usir Alfian.
Bocah gabut itu malah mengusir Sajid.
“Kalau begitu anda juga harus mendengarkan saya,” tukas Sajid.
Alfian yang baru saja berbalik memutar tubuhnya kembali dan langsung mengernyit menatap sajid.
“Hah .. hahaha. Apa yang anda katakan barusa?” tanya Alfian.
Sajid tersenyum. Lelaki renta itu tersenyum dengan binar mata yang tulus. “Jangan memaksakan diri seperti ini. Kalau sedih katakan saja… kalau ada yang mengganjal, keluarkan saja … hidup bukan tentang siapa yang terlihat kuat.”
Deg.
Kalimat Sajid membuat Alfian sedikit terhenyak.
“Tuan Muda yang sekarang bukanlah Tuan Muda yang saya kenal … Tuan Muda saat ini terasa seperti memaksakan diri menjadi orang lain. Menjadi orang yang berpura-pura kuat.” tambah Sajid lagi.
Alfian tertohok. Tapi kemudian emosi dengan cepat merambati hatinya.
Alfian menatap tajam, lalu mengajungkan telunjuknya. “SAYA TIDAK BUTUH NASEHAT ANDA …!!! SEKARANG JUGA PERGI DARI HADAPAN SAYA!”
.
.
.
Bersambung …