Tuan Muda dan Upik Abu - 22

1124 Words
Aya dan Daus akhirnya tiba di lokasi pesta tempat mereka berdua akan bekerja. Mereka bergabung dengan anggota tim lain yang bertugas menjaga stan makanan. Tugas mereka cukup mudah, yaitu sebagai pelayan katering. Aya dan Daus bertugas mengambilkan makanan untuk tamu yang menginginkan menu yang mereka jaga. Aya juga mendapatkan pinjaman sebuah baju kaos warna hitam dengan label merek katering di bagian belakangnya. Daus pun juga mengenakan baju yang sama. Mereka berdua juga kompak memakai celana jeans warna biru sebagai bawahannya. “Kamu ngerti caranya, kan?” tanya Daus seraya memasang celemeknya. Aya mengangguk. “Iya. Aku ngerti, kok.” Daus tersenyum. “Pokoknya kalo ada apa-apa, kamu chat aku aja … aku ada di bagian depan sana.” “Iya,” jawab Aya singkat. Daus berlalu ke tempatnya. Aya pun juga mulai sibuk menyiapkan piring dan sebagainya agar semua menjadi lebih cepat saat para tamu meminta makanan nantinya. Tatapan Aya kemudian beralih ke sekitarnya. Di ujung sana terlihat sebuah panggung yang sangat indah dengan nuansa berwarna ungu pastel. Terdapat sebuah kursi seperti kursi ratu di kerajaan dengan sebuah meja di depannya. Di atas meja itu ada sebuah kue ulang tahun bertingkat-tingkat. Sangat tinggi dan besar sekali. Ada bunga-bunga yang menjuntai di atasnya. Backround di belakangnya dipenuhi oleh balon-balon yang lucu berwarna ungu dan putih. Juga ada sebuah tulisan yang menyala di sana. ‘Happy Birthday Giselle’ “Jadi yang berulang tahun itu namanya Giselle?” bisik Aya pelan. Aya termangu sebentar. Seumur hidupnya, ia tidak pernah merayakan hari kelahirannya sama sekali. Aya paling hanya merayakannya bersama sang ayah dengan sangat sederhana. Sejenak Aya berkhayal jika ia bisa mengadakan pesta ulang tahun yang mewah seperti itu. Tapi kemudian Aya tersenyum dan menertawakan dirinya sendiri. “Ayo fokus bekerja.” Tamu undangan pesta ulang tahun itu pun mulai memadati lokasi. Rombongan anak-anak muda dengan pakaian elit terlihat mulai berdatangan. Para perempuan terlihat berlomba-lomba tampil cantik dengan gaun mereka masing-masing. Para tamu laki-laki pun tak kalah memesona dengan setelan jas atau pun tuxedo mereka. Sangat elegan dan terlihat mahal. Sekilas dilihat saja, bisa dipastikan mereka semua andalah anak-anak orang kaya yang mungkin juga memiliki pengaruh besar di negeri ini. Alunan musik pun juga mulai terdengar. Di pojokan depan sana terdapat tim musik yang sibuk dengan biola mereka. Aya merasa seperti berada di sebuah pesta kerajaan. Ruangan ballroom hotel yang luas itu pun sudah dipenuhi oleh para tamu yang bahkan terci-um sangat wangi. Aya tidak tahu merek parfum apa yang mereka pakai. Tapi setiap ada tamu yang lewat, Aya bisa menci-um aroma parfum mereka dengan sangat jelas. Pesta ulang tahun itu pun akhirnya dimulai. Dua orang MC di depan sana mulai memandu acara dengan ceria. Menyambut para tamu yang sudah berkenan datang dan melakukan sapaan serta juga melontarkan candaan. Suasana pesta itu terasa sangat menyenangkan. Aya pun mulai bekerja seraya menikmati suasana yang cukup jarang ia rasakan itu. Tak lama berselang terdengar tepuk tangan yang sangat meriah. Aya yang sedang mengambilkan makanan untuk tamu berhenti sejenak. Tatapannya tertuju ke depan sana. Sambutan sangat meriah itu rupanya untuk sosok gadis cantik yang berulang tahun. “WOW.” Aya terkesima melihat sosok perempuan berkulit putih bersih, memiliki mata yang indah seperti boneka, dengan tatanan rambut bergelombang yang berwarna sedikit pirang itu. Kemunculannya seperti menghipnotis semua tamu undangan. “Cantik sekali.” “Makanan saya, Mbak!” Eh. Aya tersadar dan kembali fokus pada pekerjaannya melayani para tamu. Pesta ulang tahun itu terus berlanjut. Ada banyak sesi acara yang sepertinya sangat menyenangkan. Semua anak-anak muda yang ada di sana bersenang-senang. Aya akhirnya tahu bahwa mayoritas tamu itu seusia dengannya. Sosok yang berulang tahun juga berusia 17 tahun. Sama dengannya. Berkali-kali Aya tersenyum melihat kehebohan pesta itu. Tapi berkali-kali juga ia tertegun melihat betapa berbedanya kehidupan antara dia dan anak-anak muda itu. Konsentrasi Aya sempat buyar, tapi kemudian dia dikejutkan oleh kehadiran seorang lelaki yang berdiri di depannya. “Hei ….” Aya segera beralih menatap lelaki itu. “Iya, Mas … mau makan a--” Deg. Kalimat Aya terhenti saat ia melihat wajah lelaki itu. Sosok lelaki yang kini juga menatap tajam padanya. “Gue mau ketoprak ada nggak ya?” suara lain menyahut dari balik pria itu. Riski sibuk melihat deretan makanan yang ada sambil meneguk ludah. Cacing-cacing di perutnya langsung meronta. Hening. Riski menatap bingung pada Alfian yang kini menatap gadis penjaga makanan yang juga menundukkan wajahnya. Alfian akhirnya tiba di pesta itu. Tidak seperti tamu lelaki lainnya yang memakai dresscode pakaian formal, Alfian datang dengan gaya casual. Ia hanya memakain baju kaos, celana jeans dan jaket. “Kita pernah ketemu, kan?” tanya Alfian. Deg. Aya meneguk ludah. Sejenak ia merasa panik, tapi kemudian Aya mengangkat wajahnya, lalu tersenyum. “Maaf, Mas … mungkin Mas-nya salah orang. Atau mungkin Mas memang melihat saya di event-event yang lain,” jawab Aya. Riski ikut bersuara. “Kenapa, Bro? Lo kenal cewek ini apa gimana?” Alfian tidak menggubris pertanyaan itu dan malah mendorong Riski untuk menjauh. “Jadi sekarang lo pura-pura nggak kenal sama gue?” tanya Alfian lagi. Aya termangu. Ia jelas mengingat wajah itu. Aya ingat sekali apa yang sudah terjadi pada pertemuannya dengan lelaki itu. Anak lelaki yang kini ada di hadapannya adalah sosok murid bandel yang pernah melabrak bu Rahma saat mereka bersama di sebuah halte. Meskipun kejadian itu sudah cukup lama berlalu, tapi Aya masih bisa mengingat wajah itu dengan jelas. “Kalo orang ngomong itu dijawab …!!” bentak Alfian. Aya sedikit tersentak. Alfian tersenyum kecut. “Apa perlu gue ingetin … lo yang udah ngelempar wajah gue pake telor waktu itu, kan?” Deg. Aya langsung membeku. Dia mulai ketakutan sekarang. Alfian menyeringai. Dia juga mengangguk-angguk pelan seraya masih menatap Aya. Memerhatikan sosok gadis yang sudah ketakutan itu dari ujung kaki hingga kepala. “Lo adiknya si Rahma breng-sek itu, kan?” tanya Alfian lagi. Aya makin terhenyak mendengar pertanyaan itu. Ia tidak bisa menyembunyikan kegugupan. Aya hendak menjawab, matanya bergerak liar memikirkan alasan. “Adik Bu Rahma! Jadi dia gadis yang udah ngelempar lo pake telor itu?” Riski ikut terkejut dan menatap Aya sambil melotot. Alfian masih menantikan jawaban. Aya jelas terpojok, tapi kemudian ia menatap Alfian. Sorot matanya penuh ketakutan, tapi Aya berusaha untuk tetap tenang. “Maaf, sepertinya anda salah orang,” tukas Aya. Alfian menyeringai lagi. “Tapi gue yakin … kalo orang itu adalah elo!” “Saya tidak mengerti dan tidak tahu siapa yang anda maksud. Maaf … saya harus bekerja. Lihatlah antrian di belakang anda,” ucap Aya lagi. Alfian menoleh ke belakang. Riski juga melakukan hal yang sama. Sampai kemudian Riski menarik Alfian menjauh dari sana. “Lo ngapain, sih?” tanya Riski. Alfian mengembuskan napas gusar. “Lepasin gue! Gue harus bikin perhitungan sama perempuan tengil itu.” . . . Bersambung …
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD