Bab 7

1595 Words
Ry melangkah menuju meja teman-temannya setelah urusannya dengan Ruu sudah selesai. Ry perlu membujuk Ruu agar pemuda itu mau membiarkannya kembali bersama teman-temannya. Ry sempat cemberut dan merajuk. Bagaimana mungkin Ruu berpikir untuk bolos bekerja hari ini hanya untuk menemaninya agar dia percaya padanya? Ruu b**o, dengus Ry kesal dalam hati. "Gimana?" tanya Sie tidak sabar. "Apanya?" Ry balas bertanya. Wajah polosnya pura-pura tidak tahu lantas menarik sebuah kursi ke meja Sie dan teman-teman lalu duduk dengan cueknya. "Ry kok kaya gitu sih?" protes Rin. "Kayak gitu apaan?" Ry mengerjap kemudian membelalak saat Rin mencubitnya. "Aww Rin ... sakit, b**o!" hardiknya. Rin melengos. "Biarin!" sungut Rin kesal. "Aktingnya receh sih." Gemas, Ry memukul pelan pergelangan Rin. Membuat gadis tomboy itu mendelik marah. Sie memutar bola mata bosan. Kebiasaan buruk Yamazuki bersaudara, pikir pemuda berlesung pipi itu. Dengan cepat Sie berdiri dari duduknya kemudian duduk di antara kakak-beradik yang beda karakter itu. Menengahi, atau tontonan ini tidak akan pernah berhenti. Rasanya menggelikan, mereka menanti pertengkaran Ry dan Ruu malah mendapatkan pertunjukan Ry dan Rin. "Stop!" seru Sie. "Kebiasaan jelek deh!" Sie memencet hidung kakak beradik itu secara bersamaan menggunakan kedua belah tangannya. Rin dan Ry mendelik kesal ke arah Sie sebelum menghujani pemuda itu dengan pukulan-pukulan kecil mereka. Sementara Mina, Keiya dan Shoun hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan tiga orang di depan mereka. "Ry berantem ya sama Ruu?" Mina yang bertanya. Ry diam beberapa saat, hidungnya mengerut. Sehingga membuat yang lain makin penasaran, terutama Keiya dan si kepo Sie. Keiya menatap Ry serius dan khawatir. Ry menarik napas sebelum bicara. "Iya," jawabnya lirih. "Terus ... terus gimana?" tanya Sie tak sabar. Seandainya ada tombol untuk mempercepat waktu, Sie pasti akan memencetnya agar rasa penasarannya segera terobati. Rin memelototi Sie karena ketidaksabaran pemuda itu. Biarkan Ry bicara, itu yang ingin disampaikan Rin melalui tatapan matanya. Sie hanya cengengesan. "Berantem kayak biasa." Ry menengok ke belakang di mana Ruu asyik melayani pengunjung lain. Ry melambai pada Ruu saat pandangan mereka bertemu. "Tapi udah baikan kok." Gadis itu tersenyum. "Baikan?" Rin melongo. Apa pendengarannya tidak salah? Ry dan Ruu baikan? Itu artinya Ry kembali memaafkan Ruu. Lalu, kalau memang seperti itu, bagaimana dengan .... Rin melirik Keiya yang menatap Ry dengan tatapan yang susah ditebak. Ry mengangguk. "Kalian nggak putus?" tanya Sie memastikan.. Ry menatap Sie kurang senang. "Maksud Sie apaan?" tanyanya dengan alis terangkat. "Eh itu ...," Sie tergagap. Dia salah ucap. "Maksud aku ... kalian nggak putus kan?" Ry menggeleng polos. Tidak menyadari tatapan luruh Keiya ke arahnya. "Aku mau putus tapi Ruu nggak mau," akunya Ry jujur. Rin berdecak kesal. "Terus Ry mau aja baikan, gitu?" "Iya." Ry mengangguk. "Ruu minta kesempatan satu kali lagi. Ya aku kasih aja. Kan aku nggak tega." Sie melongo mendengarnya. "Nggak tega?" ulangnya. "Emang Ruu mau ngapain tadi?" "Nggak mau ngapa-ngapain." Ry menggeleng lagi. "Cuma kali ini Ruu jujur, terus ...." "Terus?" potong Sie. Sekali lagi Rin membelalakkan matanya pada Sie. Sekali lagi Sie meringis. "Terus aku percaya sama Ruu." Ry tersenyum manis membayangkan pelukannya dengan Ruu tadi. "Bilang aja kalo Ry juga masih sayang Ruu!" sungut Sie mengkal. Kurang seru, pikir pemuda hobi basket itu. Kalo Ry dan Ruu berantem heboh kan pasti lebih seru lagi. "Kok Sie tau?" Ry mengerjap beberapa kali. "Kan Sie detektif." Mina tersenyum. "Kok detektif?" protes Sie. "Yang bener Sie tuh ember bocor." Rin mendengus. "Cowok tapi hobi gosip." "Rin..." "Apa?" Rin melotot lagi ke arah pacarnya itu. "Aku bener kali. Sie itu ember terus suka ngerumpi." Rin bersedekap. Sie lemas. Sementara yang lain tertawa, kecuali Keiya. Kapten tim baseball itu menundukkan kepalanya. Tidak berminat untuk ikut menertawakan Sie bersama teman-temannya. Bukan tidak berminat tapi tidak ingin. Hatinya menolak untuk itu. Kecewa yang hadir terlalu besar dan kuat sehingga membuat dadanya sesak. Seolah ada yang menyumbat jalannya udara menuju paru-parunya. Salahkah kalau dia berharap Ry memutuskan Ruu? Dia bukan pemuda egois, jauh dari itu. Keiya cukup tau diri posisinya, tapi dengan kebersamaan dirinya dan Ry akhir-akhir ini salahkah dia berharap Ry memilihnya? Shoun yang melihat Keiya tertunduk menepuk bahu sahabatnya itu pelan. Memberikan semangat dan dukungan agar pemuda itu sabar. Keiya menatapnya. Senyum patah terbit dibibir pemuda itu. Shoun mengepalkan tangan dan mengangkatnya sebatas bahu. "Semangat!" ucapnya tanpa suara. Keiya mengangguk, kemudian menatap Ry yang lagi berebut es krim dengan Rin. Kedua sudut bibir pemuda itu melengkung ke atas melihat Ry yang cemberut. Sangat menggemaskan baginya. Keiya menghela napas. Dia tidak boleh bersedih, dia harus semangat dan juga bahagia. Bukankah dia tidak memang tidak mengharapkan balasan dari Ry? Bukankah dia tulus menyayangi Ry? Oleh karena itu dia harus bahagia karena Ry juga bahagia. . . . . . . . . . . "Keiya, maaf." Ry menggigit bibir getir, dia merasa sangat bersalah. Gadis bertubuh mungil itu tidak sadar kalau sikapnya tempo hari telah melukai pemuda di depannya ini. Keiya tersenyum kemudian mengacak rambut Ry. "Nggak apa-apa kok. Biasa aja." Ada yang salah dengan senyum itu. Senyum Keiya tak secerah biasanya. Ry makin merasa bersalah. Tidak seharusnya dia membiarkan Keiya lebih dekat dengannya kalau hanya untuk menjadi pelarian sesaat. Ralat. Bukan pelarian! Ry memang menyukai Keiya tapi dia tidak bisa menerima rasa yang ditawarkan pemuda itu. Keiya terlalu baik untuknya. Terlalu baik untuk seorang Ry yang sudah memiliki pacar. Ry mengerucutkan bibirnya kesal atas pemikiran monolog-nya. "Jelek!" Keiya menyentil bibir manyun Ry. "Sakit." Ry menutup mulut dengan kedua tangannya. Keiya tertawa melihatnya. Bagaimanapun juga, dia tidak akan bisa marah pada gadis bertubuh mungil di depannya ini. Ry terlalu menggemaskan untuk tidak dihiraukan. Meskipun kecewa itu tetap ada, tapi melihat senyum dan tawa Ry lumayan membuat kecewanya berkurang. Toh Ry tidak sepenuhnya bersalah. Dia sudah tahu kalau Ry sudah memiliki kekasih. Salahnya berharap pada gadis yang berstatus pacar orang. "Makanya jangan manyun." Keiya mengacak rambut Ry lagi. Gemas. "Keiya apaan sih." Ry makin cemberut. "Rusak kan jadinya rambutku." Ry membenarkan jepit rambutnya yang sedikit bergeser. Jepit rambut berbentuk kepala kelinci berwarna merah jambu itu dibelikan Ruu kemarin saat mereka jalan-jalan ke pasar malam. Jalan-jalannya bukan hanya mereka berdua, tetapi juga bersama Rin dan Sie. Ry tidak mau orang tuanya curiga dengan hubungannya dan Ruu yang sampai sekarang belum diketahui oleh orang tuanya. Ry menghela napas mengingat kenyataan itu. "Nggak apa-apa kok, Ry. Aku ngerti kok." Keiya menatap Rin dan Sie yang sedang berebut bola orange di lapangan basket. Pemuda itu tersenyum melihat Rin yang cemberut karena gagal merebut bola dari Sie. "Rasa suka nggak bisa dipaksain kan. Aku paham. Aku aja yang bodoh udah berharap." Sekali lagi Ry menghela napas, kali ini lebih berat. Bukan hanya karena dia teringat tentang hubungannya dan Ruu yang masih di belakang kedua orang tuanya, tetapi juga karena perkataan Keiya barusan. Ry menggigit bibir menahan isak. Air matanya mengalir dengan sendirinya mendengar kata-kata yang diucapkan Keiya. Rasa bersalah itu semakin menjadi. "Maaf, Keiya," ucap Ry serak. Keiya terkejut mendengar suara itu. Dengan cepat dua berbalik ke arah Ry dan terkejut. Wajah cantik Ry sudah dipenuhi air mata. "Ry kok nangis?" tanya Keiya, tangannya terangkat menghapus liquid yang meluncur dari pipi Ry menggunakan ibu jarinya. "Jangan nangis dong. Tambah jelek ih." Dengan gemas dipencetnya hidung Ry yang memerah. Ry langsung menghambur ke dalam pelukan Keiya. "Maaf," lirihnya sesak. "Keiya maaf. Aku suka Keiya tapi aku..." "Ssttt udah. Kan aku udah bilang kalo aku ngerti." Keiya mengusap pucuk kepala Ry lembut. "Aku sayang Ry dan aku pengen Ry bahagia walo itu nggak sama aku. Liat Ry bahagia aku juga bahagia." Keiya merenggangkan pelukan. Menatap tepat ke manik cokelat Ry. "Tau Ry suka aku dan mau dekat sama aku aja aku udah senang." Pemuda itu tersenyum tulus. Membuat rasa bersalah Ry makin dalam. "Jangan bikin aku nyesel karena nggak merjuangin Ry. Ry harus bahagia sama Ruu atau aku akan rebut Ry dari Ruu!" Itu bukan hanya perkataan. Itu adalah janji. Bukan hanya pada Ry melainkan lebih kepada dirinya. Keiya tidak rela kalau gadis yang dicintainya bersedih dan terluka. Sekali saja dilihatnya Ry menangis dan itu disebabkan oleh Ruu, dia akan bertindak menjauhkan Ry dari pemuda itu. Tidak peduli Ry mau atau tidak, dia akan tetap melakukannya. Dia yakin seiring berjalannya waktu, Ry pasti akan dapat melupakan perasaannya pada Ruu. Ry juga menyukainya bukan? Jadi, tidak akan terlalu sulit membuat Ry untuk melupakan Ruu. Keiya mengembuskan napas dari mulutnya pelan. Menggeleng samar mengusir harapan konyol yang ada di kepalanya saat ini. Dia menginginkan kebahagiaan Ry, bukan air mata gadis itu. Bodoh! rutuk Keiya dalam hati. Ry mengangguk. "Aku harap juga Ruu serius sama apa yang dia bilang waktu itu," ucap Ry dengan tatapan lurus tertuju pada lapangan basket. Rin dan Sie sudah tidak berada di sana lagi. Kedua orang itu duduk di pinggir lapangan. Mereka kelelahan. Ry tersenyum. Dia bersyukur karena Sie sudah tidak pernah bolos lagi. Begitu juga dengan Ruu, pemuda itu juga terlihat serius untuk membuktikan perkataannya. Sudah tidak terlihat ada gadis-gadis yang mendatangi rumah Ruu seperti biasanya. Ruu juga rajin menghubunginya hanya untuk menanyakan kabar dan mengingatkannya untuk makan. Ruu memang sangat tahu kebiasaan buruknya uang satu itu, dia akan lupa makan dan segalanya kalau sudah berurusan dengan komik. Beberapa hari ini dia juga mulai suka membaca buku n****+. Semakin lupa lah dia dengan makan. Kalau tidak diingatkan Ruu mungkin penyakit asam lambungnya kumat lagi. "Kita masih jadi teman kan, Keiya?" tanya Ry. "Keiya masih mau temenan sama aku kan?" Keiya menatap Ry lekat kemudian mengangguk. Dia terlalu menyayangi Ry dan akan melakukan apa pun permintaan gadis itu. Apalagi Ry hanya memintanya untuk tetap berteman kan? Lagipula, meskipun Ry tidak memintanya, dia tetap tidak akan meninggalkan gadis itu. Dia akan tetap berada di sisi Ry. Sampai kapan pun.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD