“Besok kita mau ke mana?” tanya Rusdi sambil menurunkan tas belanjaan Gita. Hanya makanan dan kebutuhan harian Gita. Semua barang persiapan pernikahan tidak diturunkan karena besok Rusdi yang bawa pulang ke Cirebon.
“Terserah saja. Belum ada bayangan sih mau ke mana,” jawab Gita.
“Ya sudah besok kita beberes kamar kost A’a saja yuk?” ajak Rusdi.
“Ya terserah, tapi aku kayanya mau ke perpustakaan sebentar deh. Banyak barang yang aku eh banyak buku yang aku mau kembalikan bekas bikin tesis kemarin,” kata Gita.
“Hari Minggu perpustakaan buka?” tanya Rusdi bingung.
“He he he, ini perpustakaan perorangan. Dan memang dibuka oleh mantan mahasiswa yang hanya bisa ke perpustakaan akhir minggu karena dulu dia sibuk kerja. Akhirnya setelah lulus dia buka perpustakaan buat orang yang kesulitan seperti dia dulu.”
“Oke kalau begitu. Seperti biasa ya, habis sarapan kita baru jalan ke perpustakaan baru beberes barang di kamar kost ya,” Rusdi merinci jadwal mereka besok.
“Oke,” jawab Gita. Rusdi bersiap pulang saat ada pesan dari nomor tak di kenal.
“Yank, kamu lihat deh,” kata Rusdi saat hendak pulang ada nomor baru masuk dan mengucapkan sedikit kata keras berikut ancaman
‘Kenapa nomor ku kamu blokir?’
Rusdi kaget membaca itu bukan soal ditanya kenapa di blokir tapi kata-kata AKU dan KAMU yang digunakan oleh si pengirim pesan. Seakan pengirim pesan sudah sangat akrab dengan dirinya berani ber aku ~ kamu.
“Kita blokir tadi dia langsung pakai nomor baru seperti ini Yank,” kata Rusdi.
“Blokir lagi setiap dia ganti nomor dan jangan save sehingga semua status enggak bisa dilihat,” kata Gita.
“Yang penting hati-hati saja entah itu makan entah minum kalau di yayasan. Jangan sampai menelan sesuatu yang bisa jadi suatu sarana tidak benar,” lanjut Gita lagi.
“Ya sudah sana pulang, hati-hati ya.” Tempat kost Rusdi dan Gita tidak terlalu jauh jaraknya jalan kaki pun bisa karena hanya terpisah beberapa rumah dan masih satu pemilik.
Malam ini Rusdi hanya jalan kaki karena dia malas pindahkan mobil lagi dari parkiran di tempat kost Gita. Tempat kost mereka berbeda karena tempat kost Rusdi khusus laki-laki sedang tempat kost Gita khusus perempuan.
“Kamu sarapan dulu di sini bareng aku ya,” Kata Rusdi.
”Baik Pak,” jawab Diah.
Rusdi tadi bilangnya aku loh tapi Diah masih bilang Pak.
“Teteeeeeeeeeh,” Teriak Diah sambil berlari untuk memeluk Gita.
Gita langsung mengembangkan tangannya dan Diah berlari memeluk Gita.
“Kemarin Teteh tanya A’a kamu ikut, A’a bilang iya ikut karena kamu mendampingi A’a buat meeting di hotel. A’a bilang kamu tidur di kamar jatah A’a dari panitia di hotel,” Gita langsung nyerocos tanpa rem setelah lepas memeluk Diah dan tentunya cipika cipiki dengan sekretaris calon suaminya itu.
“Padahal Teteh maunya sih kamu tidur saja sama Teteh. Tapi kalau kamu yang tidur sama Teteh di kost, kamar hotel nanti dipakai siapa? Bisa-bisa dipakai A’a sama perempuan lain. Jadi lebih baik biarkan saja adiknya yang pakai.”
Adik?
Ya, Diah adalah adik kandungnya Rusdi. Tak ada yang tahu di yayasan. Hal ini sengaja mereka sembunyikan agar bisa mengetahui siapa yang ingin berbuat culas di yayasan.
Sejak usia lima tahun Diah kecil dirawat oleh bibinya Rusdi, karena sang Bibi tak bisa punya anak. Diah mau pun Rusdi tahu bahwa mereka kakak dan adik kandung. Karena rumah mereka juga tak terlalu jauh. Hanya beda blok saja.
“Awas saja kalau sampai dia tidur sama perempuan lain, aku sunat dua kali Teh,” kata Diah.
“Eh itu bagaimana soal Wati yang pegawai baru?” tanya Gita.
“Karena kemarin sehabis di blokir sama Aa. Terus Aa jadi langsung enggak bisa lepas mikirin dia terus. Kayak ada sesuatu yang enggak bener. Jadi pikiran A’a cuma fokus ke dia saja.” kata Gita cemas.
“Masak sih Teh?” tanya Diah.
“Iya, Aa bilang ke bayang-bayang Wati terus, sehabis kami blokir nomornya. Kan amsyong banget,” kata Gita.
“Terus pas A’a mau pulang dari sini, Aa dapat pesan lagi dan sok akrab banget dia pakai aku kamu loh, bukan saya ~ bapak. Harusnya kan dia bilang saya dan biasanya nyebut A’a tuh Bapak, ini enggak. Dia tanya Kenapa nomor aku kamu blokir, coba ituh, ngeselin banget enggak sih?” papar Gita pada calon adik iparnya.
“Ya Allah, itu mah sudah kelewatan atuh Teh,” sahut Diah tak percaya.
“Teteh juga jadi bingung, kok bisa ya orang kayak begitu. Ter obsesi banget sama A’a,” Kata Gita.
“Kalau aku pikir bukan A’a-nya yang jadi obsesi nya dia Teh, tapi kedudukan A’a.”
“Banyak lelaki yang lebih ganteng dan lebih muda, banyak Teh, cuma kan kedudukannya bukan seperti A’a. Aku yakin orang-orang itu cuma cari kedudukan A’a. Mereka cari hidup nyaman kalau jadi istrinya A’a.” cetus Diah tanpa memikirkan apakah Gita akan tersinggung dengan opininya.
“Itu yang Teteh pikir dari dulu saat tahu kondisi nya A’a. Makanya Teteh kan satu tahun itu mundur terus. Tapi A’a bersikeras bahwa A’a tahu sifat Teteh, bahwa Teteh enggak mencari harta.”
“Jadi ya sudah kami jadian. Satu tahun Teteh di bujukin A’a supaya terima dia. Teteh takut pandangan orang terhadap Teteh terlebih pandangan Apa’ dan Amah. Teteh takut disangka mengharap hartanya A’a jadi Teteh enggak langsung terima cinta A’a walau Teteh cinta sama dia,” kata Gita.
Mereka memang bisa ngobrol berdua karena Rusdi sedang ngobrol dengan driver untuk memberi arahan tugas.