Hari ini Rindu mengakhiri masa sekolahnya. Setelah dinyatakan lulus, ia sangat bahagia. Berlari pulang ke rumah dengan seragam penuh coret-coretan sebagai akhir sekolahnya. Ia berhasil mengakhirinya dengan baik.
Saat ia masuk kedalam rumah betapa terkejutnya Rindu melihat sosok bertubuh tinggi dengan wajah angkuh duduk di ruang tamu dengan kaki menyilang.
"Kak, Nadi." Rindu melepas tas dari pundaknya dan segera duduk di samping pria itu. Pernadi berdecak, seraya memalingkan wajah yang tampak murung. Begitu mengetahui gadis itu lulus sekolah, Rukaya memerintahnya menjemput untuk dibopong ke Jakarta.
"Kenapa nggak bilang kalau kakak hari ini datang?" Rindu menatap lekat calon suaminya itu dengan binar bahagia.
"Diam lu! Rese." Ketus, Pernadi. Bangun dari duduknya dan langsung menuju kamarnya.
Rindu mencebik, merasa sakit hati. Tetapi, Rindu bukan orang yang gampang menyerah. Gadis ini punya prinsip, pantang menyerah. Ia harus membuat Pernadi mencintainya dengan hati yang tulus, dari sekarang ia akan berusaha untuk itu.
Rindu mengembuskan napas pelan, ia membawa langkah menuju kamarnya. Melepas seragamnya lalu keluar kamar menuju dapur, ia berencana membuatkan makan siang.
Saat kaki Rindu melewati pintu kamar Pernadi, ia mendengar suara cekikikan dari dalam kamar. Pria di dalam sana sedang telpon-telponan dengan kekasihnya.
"Itu sangat lucu, kau harus memperbaiki bahasa ingrismu, sayang."
Rindu menaikkan kedua alis, mendengar kata sayang yang keluar dari mulut Pernadi.
"Baiklah, aku mencintaimu. Jangan lupa makan dan jaga kesehatanmu disana." Pernadi mengakhiri telponnya. Ia sengaja mengirim Cintya ke Australia guna menutupi pernikahan yang akan dilangsungkan dalam waktu dekat dengan sepupunya.
Rindu merasakan sesuatu yang aneh dalam hatinya, tidak dapat dijelaskan apa rasa itu.
Cemburu? Mungkinkah itu? Bahkan Rindu belum bisa memastikan kalau ia sendiripun telah menyukai sepupunya. Tetapi, tak dapat dipungkiri hatinya merasa jengkel mendengar kata 'cinta' yang di ucapkan Pernadi.
"Ngapain lu di depan pintu kamar gue? Nguping ya?" tanya Pernadi saat ia membuka pintu kamarnya dan melihat Rindu berdiri bengong disana.
"Eh, nggak kok. Buat apa coba aku nguping," ucap Rindu, mendengkus meninggalkan pria itu.
"Kata nenek buatin makan siang, dia lagi ke pesta." Seru Pernadi dari tengah ruang, menekan langkah menuju sofa lalu asik bermain game di ponselnya.
Rindu tidak menjawab, akan tetapi tidak lama kemudian ia membawakan satu mangkuk mie instan lalu duduk berhadapan dengan Pernadi.
Aroma mie instan dengan telur setengah matang membaui ruangan dan menarik perhatian Pernadi yang sudah keroncongan. Sejak pagi, ia belum menyentuh makanan. Rasa laparnya hilang saat kedua orang tuanya memintanya kembali ke desa untuk gadis remaja urakan di depannya.
"Buat gue mana?" tanya Pernadi, saat melihat Rindu menikmati mie instannya.
"Emang kakak mau?" Rindu menjawab dengan pertanyaan, mulutnya penuh mie.
"Ya maulah. Kan, gue yang minta, cumi."
"Ya udah, sini kita makan berdua. Biar kayak di lagu-lagu. Makan semangkok berdua."
"Satu mulut dengan, lu? Ogah."Pernadi meninggalkan Rindu menuju dapur, "lagipula sejak kapan ada lagu begitu, dasar norak." bersungut-sungut.
Wanita senja pulang dari pesta di desa itu, jalannya lambat-lambat dibantu dengan kaki tiganya (tongkat).
"Rindu, ambilkan air minum." suruhnya dari teras rumah. Rindu segera meletakkan mangkuk mie yang baru saja isinya ia habiskan.
"Kak ambilkan air minum buat nenek."
"Yang di suruh lu, bukan gue." Ketus, seraya melewati Rindu. Ia sudah selesai memasak mie untuknya.
Rindu berdecih mengambil gelas dari rak piring lalu menuang air minum dari teko. Ia menggeleng, melihat dapurnya berantakan karena ulah Pernadi. Cangkang telur, potongan sayur dan kulit bawang berserakan di lantai.
"Jangan lupa habis makan beresin tuh dapur." ucap Rindu sambil berjalan melangkah menuju teras rumah dimana neneknya berada.
Pernadi tidak menjawab, bahkan terkesan mengabaikan Rindu.
"Ini, Nek." Rindu menyerahkan air minum. "Bawa apa dari pesta? Daging ada?" Rindu mengambil tentengan perempuan tua dan memeriksanya.
"Kalian sudah makan?" Tanya neneknya.
"Makan mie, kak Nadi tadi jam berapa sampainya?" Rindu penasaran jadi bertanya pada neneknya saja. Bertanya pada Pernadi tidak akan mendapatkan jawaban.
"Sembilan, ia di jemput Herman."
Herman adalah tetangga mereka, masih saudara dari perempuan tua.
"Oh," Rindu mencicipi daging yang dibawa Neneknya langsung dari kantong plastik. Melihat itu, perempuan senja memukul lengan cucunya.
"Taruh di piring. Anak gadis ini!" Jengkel.
"Cuma dikit, Nek. mengotori piring aja," ujar Rindu.
"Berikan sama abangmu, kali aja dia suka."
"Ogah, anak kota itu nggak akan suka makanan desa."
"Kau ini." Perempuan senja, memanggil cucu laki-lakinya.
"Nadi, kau mau daging?"
"Daging apa, Nek?" Tanya Pernadi menghampiri, langsung duduk di samping neneknya.
"Daging ayam dari pesta." Rindu menyodorkan pada pria itu.
"Makan aja. Aku masih kenyang." Menolak ketus.
"Aku sudah bilang dia nggak bakalan mau nenek," ujar Rindu pada neneknya.
"Jawabnya, biasa aja kali. Nggak usah kayak nelan batu belah" Rindu menggado kembali daging itu.
"Ckck, Lu kayak siamang tau. Makan pakai aturan, pakai piring."
"Eh, suka-suka akulah.Siamang? Kau tuh mirip siamang." Balas Rindu tak mau kalah.
"Malu-maluin aja." Pernadi menoyor jidat Rindu.
"Kdrt."
"Bodo."
Perempuan tua hanya tersenyum melihat kedua cucunya bertengkar.
"Seberat apapun masalah setelah kalian menikah nanti. Jangan sampai ada omongan begitu. Tidak baik, itu kasar. Nama-nama binatang tidak boleh keluar dari mulut. Kalian mengerti?" Ucap Nenek tua menasihati.
"Iya nek, maaf." Gumam Pernadi, menyandarkan kepalanya pada bahu rentan sang nenek.
Malam hari, Rindu mengolesi bedak dingin di wajahnya. Ia sambil bersenandung dengan suara sumbangnya, menyakiti telinga siapa saja yang mendengar. Kamarnya bersebelahan dengan kamar Pernadi. Pria itu sudah sangat kesal, ia menutup telinga tetapi percuma saja karena suara itu semakin nyaring.
"Astaga, cewek jadi-jadian ini." Ngedumel, melempar guling yang ia buat menutupi telinganya. Ia turun dari ranjang menuju kamar Rindu.
Mengetuk pintu keras, suara Rindu berhenti. Rindu membuka pintu dan ....
"Astaga mengejutkan! Yakk, wajahmu mirip tuyul." Pernadi meletakkan tangan di d**a. Ia terkejut melihat wajah Rindu yang putih tebal.
"Eh, enak aja. Ini namanya maskeran." Rindu menepuk-nepuk kedua sisi wajahnya. "Biar tambah cantik."
"Jangan terlalu berusaha, meskipun lu cantik gue nggak akan tertarik sama lu." Pernadi jengkel.
"Kau yakin?" Rindu mencolek perut Pernadi dengan tatapan genit.
"Tangan lu, nggak usah colek-colek. Nggak usah sok genit, d**a datar." Pernadi membuka pintu kamarnya.
"Dan satu lagi." Pernadi, menatap Rindu tajam
"Apa?" Rindu melotot.
"Berhenti bernyanyi. Suara lu kayak bunyi kodok di musim hujan." Pernadi masuk, menutup pintunya dari dalam. Ia tak ingin gadis urakan itu masuk kedalam kamarnya.
Rindu mendengar suara kunci memutar.
"Wah, dia mengunci pintunya." Rindu terkekeh sebal. Pria itu selalu punya cara menyakiti hatinya.
"Yakk, cowok dewasa. Tenang aja, aku nggak akan mengganggu aktivitasmu. Kau butuh sabun atau lotion?" Serunya dari luar, Pernadi melebarkan mata mendengar pikiran kotor Rindu, ia membuat gadis remaja itu salah paham.
"Ckckck menyebalkan. Astaga Tuhan. Bagaimana nasibku menikah dengannya." Membaringkan tubuh di ranjang, menatap langit-langit kamarnya. Ia ingin bermimpi tentang kekasihnya, Cintya.
Besok paginya sebelum matahari meninggi, mereka berkunjung ke makam.
Pertama ke makan sang kakek lalu ke makam kedua orang tua Rindu.
Rindu menitikkan air mata, ia sedih. Tangannya membersihkan rerumputan yang sudah mulai meninggi di makan itu. Ia duduk di antara makam Ibu dan ayahnya.
"Mama, Papa, besok Rindu akan ke Jakarta dan tidak lama lagi akan menjadi seorang istri. Aku takut, aku merasa sendiri. Pria itu, keponakanmu tidak sedikitpun menyukaiku. Aku takut ini tidak akan berhasil tetapi, nenek sangat mengingikan ini terjadi. Nenek ingin aku dan dia bersama. Mama, Papa tolong restui dan bantu aku mendapatkan hatinya hingga Rindu merasa kalau aku adalah satu-satunya perempuan yang paling berbahagia di dunia ini." Rindu membatin seraya membersihkan gundukan tanah itu.
"Katakan sesuatu Pernadi pada Tulang (Paman) dan nantulangmu (Bibi) ini. Mereka Calon mertuamu." Kata Neneknya, melihat cucunya sedari tadi hanya diam dan menatap nisan itu.
Pernadi tersenyum, ia menghela napas panjang kemudian menekan gigi pada bibir bawahnya. Ia menggeleng lemah, tak satupun kata yang dapat keluar dari mulutnya. Rindu kecewa melihat pria itu menggeleng.
"Paman, Bibi. Aku .... bisa menjaganya tetapi, untuknya mencintainya. Aku tidak yakin. Mungkin akan mengecewakan kalian, maafkan aku." Pernadi membatin, tatapan pria itu mulai merabun karena air mata.
Tiba saatnya mereka berangkat ke Jakarta. Mobil yang di sewa sudah menunggu di halaman rumah. Pernadi dan neneknya duduk diruang tamu menunggu Rindu keluar dari kamarnya.
"Kau sudah menyiapkan segala keperluaanmu?" tanya Neneknya saat melihat Rindu menarik koper ke ruang tamu. Rindu mengangguk, hari ini mereka akan berangkat ke Jakarta. Untuk mengadakan acara pernikahan sudah diatur. Acara tidak terlalu besar dan itu sesuai adat calon papa mertuanya.
Pernadi melihat penampilan Rindu yang mengenakan kaos bertulis I love U dengan gambar artis idolanya. Mark Prin dari negara gajah putih. Rambut ikal gadis itu digerai, sebenarnya rambut itu sangat indah tetapi, Rindu tidak pintar merawatnya hingga menjadikannya tampak berantakan. Namun, ia tak ingin protes. Gadis itu sepertinya nyaman dengan penampilannya.
Pernadi mengambil alih koper dari tangan Rindu, menarik keluar rumah. Supir mobil yang mereka sewa untuk mengantar ke Bandara membantu menaikkan koper itu.
"Tutup semua rumah kita, Nadi." Ucap sang nenek.
"Iya, nenek."
Rindu membantu neneknya naik ke mobil segera duduk di samping perempuan tua.
Perempuan tua menatap rumah itu dari jendela mobil, ia akan tinggal di kota dalam waktu yang lama.
Perjalanan memakan waktu dua setengah jam menggunakan pesawat, di Bandara Soekarno -Hatta, Rukaya dan suaminya sudah menunggu.
Begitu mereka keluar dari pintu, Rukaya segera menghampiri dan memeluk Ibunya. Kurang lebih dua bulan tak berjumpa dengan Ibunya membuatnya sangat merindu.
Mereka melepas rindu, saling peluk dan berjabat tangan. Gordon membantu Pernadi menaikkan semua barang mereka ke bagasi mobil.
"Bagaimana kabarmu, Maen?" Tanya Rukaya, melingkarkan lengan pundak calon menantunya.
"Sehat, Tante."
"Selamat datang di Jakarta, bunga desa." Gordon menepuk-nepuk kepala Rindu.
Pernadi mendengkus mendengar kata Bunga desa dari mulut papanya, sebutan itu tak pantas menurutnya.
"Iya Om." Rindu mencibir ke arah Pernadi yang tengah menatapnya dengan tatapan mencela.
"Bunga apaan? Jelek begini." Ejek Pernadi, menarik sedikit rambut ikal Rindu hingga gadis itu mengaduh.
"Nadi, jangan kasar padanya." tegur Rukaya, saat mendengar pekikan Rindu.
"Kesal melihatnya, Ma."
"Dua hari lagi kalian akan menikah, cobalah untuk saling mengenal." Ucap Gordon, membuka pintu mobil.
.
.
.
.