Tarutung, Tahun 2004
Satu Januari, tepat tahun baru. Kembang api menghiasi langit. Suara petasan terdengar dimana-mana. Meriam bambu ikut memeriahkan, menyambut hari baru, berharap segala yang terbaik terjadi di tahun itu.
Setelah selesai melakukan acara berdoa dan maaf-maafan. Keluarga Barasmata Siregar tampak santai, menikmati kopi s**u dan berbagai cemilan yang tersedia di hadapan mereka.
Keluarga itu membentuk lingkaran, duduk di tikar. Ny. Barasmata sebagai tuan rumah. Ia memiliki dua anak, satu putra dan satu putri. Keduanya sudah menikah dan masing-masing memiliki satu anak.
Rukaya Siregar sebagai putri sekaligus anak tertua, dinikahi Gordon Suparat asal Bangkok dan menetap di kota Jakarta. Mereka di karuniai satu putra berusia 10 tahun.
Sementara adiknya, Haris Barasmata Siregar menetap di desa dan menikah dengan Tiodor, mereka juga sudah memiliki seorang putri bernama Rindu Maradek.
Saat keluarga bersanda gurau di ruang tamu sembari menikmati cemilan tepat di pergantian tahun, tiba-tiba terdengar suara tangisan melengking anak kecil mengejutkan mereka semua.
Mereka mengenal suara itu, milik Rindu Maradek gadis kecil berusia 4 tahun yang sedang bermain kembang api di halaman rumah dengan sepupunya. Pernadi Suparat. Tiodor bangun dari duduknya, berlari keluar melihat putrinya.
"Kenapa sayang, kenapa sayang?" Bujuk Tiodor pada putrinya.
“Aaaaahhh Abang nakal ....Aku didorong sampai jatuh." Katanya menunjuk Pernadi Suparat, sepupunya. Sembari menangis kencang.
Pernadi kecil tampak sangat marah seraya menahan tangis. Ia seorang pria, kata papanya seorang pria tidak boleh cengeng harus cool.
"Kamu yang nakal!" Sahut Pernadi tidak mau kalah. Dadanya naik turun, melihat gadis kecil di depannya penuh emosi.
"Kenapa kau dorong paribanmu (Sepupu) ini, Nadi?" Tanya Tiodor, mencoba membujuk Rindu.
"Dia mencubitku." Jawab Pernadi kesal.
"Abang bilang aku jelek," sahut Rindu.
"Memang kau jelek! Keriting, ingusan, hitam nakal lagi." Balas Pernadi.
Tiodor ketawa, melihat keponakan dan putrinya bertengkar. Rindu menyapu ingusnya yang menggantung, sekaligus menghirup sisanya.
"Oak ...," melihat ingus kental Rindu membuat Pernadi jadi mual seraya berlari masuk ke dalam rumah.
“Mama ….” Rindu semakin menangis melihat sepupunya masuk ke dalam rumahnya.
"Abang nakal ya sayang? Oh abang ini ...nanti kita pukul dia, diam ya sayang." Bujuk Tiodor sembari membersihkan sisa ingus Rindu.
Empat belas tahun kemudian ….
Rindu Maradek berduka, Haris Barasmata Siregar meninggal dunia karena penyakit kanker darah yang sudah menemaninya selama dua tahun ini. Sementara istrinya Tiodor tiga tahun yang lalu, sudah lebih dulu meninggal sebelum berhasil melahirkan bayinya ke dunia.
Tiodor membawa bayinya dalam kandungan dan sekarang Bapanya turut meninggalkannya juga. Sebelum meninggal, Rukaya dan suaminya di panggil ke dalam ruang dimana Haris terbaring dengan segala alat penunjang kehidupan.
"Hanya dia satu-satunya keturunanku," ucapnya, lemah tidak berdaya. Rukaya menggenggam erat tangan adiknya yang mengering.
"Kakak, perhatikan dia, tolong jaga dia. Ibu kita sudah semakin tua, ia tidak akan sanggup mengawasinya." Berucap dengan lambat dan terbata-bata.
Rukaya menangis, suaminya Gordon suparat turut bersedih melihat adik Iparnya tak berdaya.
"Jangan mengatakan apapun, kau harus sembuh." Ucap Rukaya, terisak.
"Tidak ada obat untuk kanker, aku sudah melawannya dalam dua tahun ini. Sudah cukup, kak. Tubuhku telah menyerah."
"Masih ada mujizat,"
"Aku membesarkannya dengan banyak cinta. Aku tidak berani memarahinya. Dia kehidupanku, satu-satunya keturunanku. Aku harap kakak menggantikan aku membesarkannya." Pinta Haris.
"Jangan katakan apapun, Dek."
"Jangan memukulnya." Pesan Haris.
"Aku akan memukulnya,"
"Jangan membentaknya."
"Aku akan membentaknya!"
"Jangan mengatakan kata-kata yang melukai hatinya."
"Aku akan melakukan itu semua, kau harus merawat anakmu sendiri. Jangan memberikannya padaku." Teriak Rukaya lalu menangis getir, melihat adiknya semakin melemah.
Haris melihat kakak Iparnya yang turut merasakan kesedihan yang terjadi di ruangan itu.
"Lae ( kakak ipar), meskipun kau bukan orang batak tapi aku sangat bersyukur kau menikahi kakakku. Tolong bersedia menjaga ponakanmu itu." ucap Haris.
Gordon Suparat menghela nafas pelan lalu mengangguk. Kesedihan terpancar di netra pria asal Bangkok itu.
"Aku akan menjaganya adik ipar."
"Jangan berjanji padanya, dia harus hidup." Sahut Rukaya, memukul bahu suaminya.
"Aku janji adik Ipar. Rindu akan menjadi putriku" Gordon berjanji.
"Aku tenang mendengar itu darimu, aku lebih yakin sama kamu daripada kakakku ini." Haris tersenyum melihat Rukaya, kakaknya.
"Syukurlah ..., Rindu putriku kau berada di tangan yang tepat. Papa bisa tenang pergi," berucap tanpa suara, matanya mulai nanar perlahan menutup. Tidur menjadi sangat nyenyak untuk selamanya.
Ruang tunggu Rumah Sakit Medan.
Rindu duduk merenung di bangku panjang. Pria yang di suruh menjaganya entah kabur kemana, setelah perawat memanggil tante dan Om nya masuk keruangan rawat papanya.
Sudah satu jam setelah tante dan om nya masuk ke ruangan Haris di rawat. Entah apa yang terjadi Rindu tidak tahu.
"Ehem," seseorang berdehem tepat di hadapannya, ia mendongak melihat pria jangkung berkulit bersih di hadapannya. Menyodorkan botol air mineral. Rindu menerimanya, mata gadis itu membengkak sehabis menangis dan menahan kantuk.
Rindu memutar tutup botol mineral, sedikit susah hingga membuatnya geram. Memutar pakai emosi dan tetap juga tidak bisa. Ia meremukkan botol itu sembari menangis. Hatinya sangat buruk saat ini, papanya begitu tega sekarat.
Pernadi menghela nafas pelan, mengambil botol mineral sebelum terbuka paksa dan memuncratkan air karena diremas gadis itu.
Pernadi dengan mudah memutar tutup botol lalu memberikannya pada Rindu.
Rindu tidak berselera tapi tenggorokannya saat ini sangat kering. Ia meminumnya sedikit, air matanya menitik, sedih.
Pernadi melihat gadis berambut ikal lebat itu, menunduk menangis hingga bahunya gemetar.
Pria jangkung melepas jaket yang ia kenakan. Kota medan terasa dingin ditambah lagi pendingin ruangan semakin menusuk ke kulit.
"Pakai ini," kata Pernadi menyerahkan jaketnya. Rindu mendongak melihat Pernadi. Pria itu berucap akan tetapi wajahnya berpaling.
Rindu mengabaikannya dan kembali membungkuk. Merasa diabaikan Pernadi berdecak, ia langsung menyampirkan jaket itu ke punggung Rindu.
"Dingin." ketusnya, lalu mengambil posisi duduk di samping Rindu.
Rindu tidak menolak keberadaan jaket di punggungnya. Tidak lama kemudian, Rukaya keluar dari ruangan Haris.
Berdiri dekat pintu dan menatap Rindu dengan tumpahan air mata di pipi.
Rindu berdiri, jaket yang menyampir di bahunya terjatuh di kursi. Rindu menangis, ia mengerti situasi ini, persis seperti tiga tahun lalu saat Ibunya pergi untuk selamanya.
Perawat mendorong bangsal Haris menuju ruang pemandian jasad, untuk dipersiapkan pulang.
Rindu pingsan, beruntung Pernadi dengan sigap menangkap tubuh Rindu saat terjatuh lalu membawanya ke sebuah ruangan kemudian membaringkan tubuh kecil itu di bangsal
Beberapa saat kemudian.
"Rindu, Rindu, Rin ..., sadar maen.(ponakan). Rindu samar-samar mendengar namanya dipanggil, ia perlahan membuka mata dan bersitatap dengan Rukaya.
"Kau sudah sadar, Maen?" Rukaya merapikan rambut yang menutupi dahi Rindu.
"Tante, Papa ...."Rindu kembali menangis seraya mengubah posisi tidurnya menjadi duduk.
Rukaya segera memeluk tubuh kecilnya ponakannya, menguatkan.
"Itu yang terbaik, Maen. Tuhan sangat mencintainya. Jangan khawatir kau tidak sendiri." ucap Rukaya, menepuk punggung Rindu lembut. Rindu menangis membalas pelukan itu.
"Kau sudah kuat? Papa sudah siap dibawa pulang." Rindu mengangguk, Pernadi membantu gadis malang itu turun dari bangsal.
"Rindu kamu bareng, Nadi." ujar Rukaya saat mereka sudah di halaman rumah sakit.
"Tante dan Om?"
"Tante sama Om ikut ambulan."
"Aku ikut tante,"
"Jangan, kau ikut abangmu saja."
Rindu melihat Pernadi berdiri di samping pintu mobil mereka. Lantas ia mengangguk lalu menghampiri Pernadi.
Pria itu membukakan pintu mobil untuknya.
"Jalan pak, kita duluan." ujar Pernadi pada supir mereka. Mobil melaju meninggalkan rumah sakit Medan tengah malam menuju desa Tarutung.
Selama perjalanan Rindu terisak, Pernadi tidak kuat mendengarnya. Sepupunya ini menjadi sangat rapuh. Pernadi mendekat menarik bahu Rindu dan membawanya ke dalam dekapannya.
"Biar nangisnya nyaman. Kalau sudah capek, tidur. Besok masih panjang, kau harus kuat." Ucap Pernadi, menahan terus bahu Rindu yang menolak.
Rindu akhirnya patuh, ia tidak punya tenaga untuk melawan. Lagipula ia butuh sandaran saat rapuh begini.
Setelah Haris dimakamkan sesuai adat batak, setiap komunitas marga yang di ikuti Haris datang bergantian setiap hari untuk memberikan penghiburan pada Rindu dan keluarga.
Gadis itu tampak kuat, duduk di samping sang nenek mendengar setiap nasihat yang diberikan. Setiap malam dalam minggu itu rumah itu tidak pernah sepi.
Hingga tiba pada malam hari saat keluarga mereka berkumpul. Rindu menangis memeluk neneknya, Ia merindukan papa juga mama nya.
Neneknya mengelus, kepala cucunya lembut.
"Jangan menangis sayang, jangan." gumam perempuan senja.
"Rin, bagaimana denganmu, Nak? Kau mau ikut tante ke Jakarta atau tinggal sama Nenek?" Tanya Rukaya.
"Rindu tinggal sama Nenek aja, Tante." Bergumam, menunduk mengusap air matanya.
"Rindu ikut aja ke Jakarta, lanjut sekolah disana." ujar Gordon Suparat.
Rindu menggeleng, ia melihat sang Nenek yang ada di sampingnya. Selama ini mereka tinggal bersama, jika ikut ke Jakarta siapa yang akan menjaga neneknya. Lagipula sebentar lagi ujian akhir sekolah akan tiba.
"Aku tinggal sama Nenek aja, Om. Sebentar lagi Rindu ujian akhir sekolah." kata Rindu.
“Oh begitu ya. Baiklah, nanti setelah lulus SMA, kuliah di Jakarta saja.” Ucap Gordon.
“Iya, Om.”
"Dimana Pernadi?" tanya sang Nenek mencari keberadaan cucunya di ruangan itu.
"Nadi ...." Panggil Rukaya. Putranya berada dalam kamar bermain ponsel.
"Iya Ma," Sahut Pernadi dari dalam kamar.
"Ngapain sih kamu di kamar? Dipanggil Nenek!" Seru Rukaya, melihat ke arah pintu kamar.
Pernadi keluar dari kamar mengambil tempat duduk di samping papanya.
"Apa, Nek?" Tanya Pernadi setelah duduk tenang. Ny. Barasmata melihat cucunya yang sudah berusia dewasa, 25 Tahun, cukup dewasa untuk menikah.
"Pamanmu hanya punya satu putri dalam hidupnya. Sekarang putrinya jadi anak yatim piatu. Nenek sudah tua, tidak akan sanggup lagi mengawasi dan bertanggung jawab padanya. Dia masih sangat muda,” ujarnya, lalu menghela nafas panjang, suaranya bergetar seperti ingin menangis.
Suasana menjadi hening, Sang Nenek melihat ke arah Rindu, melihat wajah putranya di sana. Rindu mirip Haris, hidungnya mancung, bibir bawahnya sedikit tebal. Sementara rambutnya milik Tiodor menantunya, ikal dan lebat. Rindu mengingatkannya pada putra dan menantunya. Seketika Sang Nenek menangis getir, mengingat orang-orang yang ia cintai mendahuluinya.
"Ibu, cukup. Jangan menangis lagi, Rindu juga ikutan sedih." Rukaya berujar dari tempat duduknya.
Ny. Barasmata yang kini sudah berusia 68 tahun, menyeka air mata. Tidak ada yang lebih menyakitkan di dunia ini selain melihat orang yang kita cintai tiada.