Kedatangan Nalini pagi itu ke apartemen Deva benar-benar jadi penyelamat bagi Leora yang sudah nyaris putus asa. Bukan cuma karena baju dan peralatan make up yang dibawanya, tapi juga memberinya tumpangan berangkat ke kantor. Meski selama perjalanan dia harus mati-matian menahan malu di situasi yang begitu canggung.
Dia tentu saja tahu siapa Nalini. Wakil manajer keuangan yang belum lama diangkat dan sudah dua tahunan ini bekerja di perusahaan mereka. Cuma Leora tidak menyangka kalau dia berteman dengan Deva. Mengingat selama dua bulan lebih pria itu bekerja sebagai wakilnya di bagian produksi, keduanya sama sekali tidak pernah terlihat bersama. Deva itu tidak banyak omong dan jarang berinteraksi dengan pegawai, kecuali untuk hal penting. Begitupun dengannya, mereka berdua hanya bicara seperlunya untuk masalah pekerjaan.
“Terima kasih.” Leora mengembalikan ponsel yang baru saja dipinjamnya untuk menelpon temannya.
“Hm,” angguknya tersenyum menyimpan kembali ponselnya, masih sambil fokus menyetir.
Menghela nafas pelan, Leora mulai putar otak mencari alasan untuk menghadapi papanya. Seperti dugaannya, saking panik semalam dia tiba-tiba menghilang teman-temannya malah mendatangi rumahnya. Sial! Niatnya mau buang jengah gara-gara sakit hati ke mantan brengseknya, justru terjebak skandal dengan pria yang jadi bawahannya di kantor.
“Kalian sudah lama berteman?” tanyanya ke Nalini untuk mengurai canggung.
“Sudah lama, sejak kuliah di Jerman,” jawab Lini hati-hati. Salah ngomong sedikit saja, maka tamatlah nasibnya dan Deva.
“Berarti kamu juga yang merekomendasikan Deva masuk ke perusahaan? Setahuku kamu cukup dekat dengan Pak Azis.”
Inilah yang Nalini khawatirkan. Leora mulai bertanya banyak hal tentang dia dan Deva. Teman sialannya itu benar-benar cari penyakit dengan membawa anak perempuan keluarga Wiryamanta pulang ke apartemennya.
“Iya, saya yang merekomendasikan Deva. Tapi, dia tetap melewati seleksi sesuai aturan perusahaan. Kalaupun kemudian Deva berhasil mendapatkan posisi wakil manajer produksi, itu karena dia memiliki poin tertinggi yang diajukan pihak perusahaan. Sama sekali bukan lewat pintu belakang!” jawab Nalini.
“Lho, bukan maksudku curiga ke kamu. Aku cuma sekedar tanya kok. Sejauh mana kemampuan kerja Deva, aku jelas tahu itu. Jadi mana mungkin punya pikiran negatif. Hanya masih kaget karena ternyata kalian berteman dekat,” sahut Leora sedikit tidak enak hati. Padahal niatnya mengajak ngobrol biar tidak canggung, malah membuat Nalini tersinggung.
“Saya cuma tidak ingin Bu Leora salah paham,” ucap Nalini tanpa mengalihkan pandangan dari padatnya jalanan.
Leora menoleh. Sebenarnya dia ingin mengajak ngobrol Nalini, terutama perihal Deva. Pria yang sudah berbagi ranjang dengannya semalam.Tapi, melihat sikap Nalini yang seperti jaga jarak dia pun mengurungkan niatnya.
Selama hampir setengah jam sisa perjalanan sampai akhirnya tiba di kantor keduanya tidak lagi mengobrol. Baru saja mereka menginjakkan kaki di lobi, hal yang membuat pusing kepala Leora itu sudah berdiri di depan lift dengan tatapan tajamnya.
“Huft! Sial!” geramnya lirih. Sama seperti Nalini yang mulai berdebar bertemu Sofian Wiryamanta. Papa Leora yang galaknya minta ampun itu. Terlebih lagi ada Faris juga di sana.
Sebenarnya dia bisa saja pergi lebih dulu, tapi tidak tega melihat Leora yang sepertinya gugup sampai tangannya mengepal gemetar. Belum juga Nalini menyapa, papa Leora sudah lebih dulu bersuara.
“Bagus! Mulai lagi kamu bikin ulah! Minggat kemana kamu semalam?!” lontar pria paruh baya itu menatap anaknya geram.
“Ke rumah teman,” jawab Leora berdiri di samping papanya menunggu lift khusus.
“Teman?! Teman tidur maksudnya!” cibir Faris terkekeh sinis.
“Lupa ngaca, kamu!”
“Leora!” bentak papanya makin mendelik, tapi Leora malah melengos.
Pintu lift terbuka. Tanpa menunggu papanya, Leora bergegas masuk dan berdiri menyandar dengan muka keruhnya. Sementara Nalini masih berdiri ragu. Wajahnya seketika tegang begitu mendapati Deva yang sialnya justru datang di saat tidak tepat.
“Nalini!” panggil Leora.
“Saya nanti saja,” tolaknya sopan.
“Sini! Tidak apa-apa kok!” ajak Leora yang mengira Nalini segan satu lift dengan papa dan kakaknya.
Tepat bersamaan dengan itu Radeva juga sampai di depan lift. Mata Leora melebar. Baru paham kenapa Nalini tadi menolak naik bareng. Sementara Deva mematung mendapati pria b*****t yang jadi alasannya menyamar kerja di sini itu berdiri angkuh di dalam sana.
“Selamat pagi, Pak!” sapanya sopan ke Sofian yang kemudian mengangguk.
“Masuk!” seru Faris tidak sabaran.
Mau tidak mau Nalini dan Deva pun bergegas masuk. Daripada mendapat tatapan tajam dari dua monster Golden Grove yang biasanya jadi orang paling mereka hindari itu.
Leora sempat menahan nafas. Bau parfum pria di sampingnya itu membuat darahnya berdesir. Terlebih saat menunduk tatapannya jatuh ke tangan kurang ajar yang tadi pagi meremas dan menggerayanginya di bawah selimut. Dalam hati Leora merutuki otak kotornya. Bahkan disaat genting begini bisa-bisanya dia malah memikirkan soal adegan ranjang mereka.
“Mama tanya, kamu semalam tidur dimana?!” lontar Faris setelah membaca chat dari mamanya.
“Bukan urusannya!” jawab Leora tanpa membalas tatapan kakaknya.
“Perempuan macam apa yang keluyuran ke night club, mabuk, lalu tidak pulang? Memalukan!” hujat Faris tanpa memikirkan perasaan adiknya. Dia sama sekali tidak peduli ada orang lain yang mendengarnya. Atau memang sengaja ingin mempermalukan Leora.
“Faris!” tegur Sofian menoleh memperingatkan anak sulungnya untuk diam, namun justru dibalas tak kalah pedas oleh Leora.
“Lebih memalukan mana dengan kelakuan adikmu? Setidaknya aku bukan perebut suami orang!”
“Leora!” bentak Sofian.
“Jaga mulutmu, sialan!” desis Faris melirik ke Nalini dan Deva yang hanya bisa diam terjebak di tengah pertengkaran mereka.
“Jaga juga mulutmu, jangan asal mangap! Aku tidak semurahan adikmu!”
“Cukup, Leora!” bentak papanya lagi. “Apa susahnya bicara terus terang! Mamamu hanya khawatir. Kamu tidak tahu semalaman kami kebingungan mencarimu!”
Nalini melirik ke Deva. Tangannya gatal ingin mencakar muka tampannya yang bisa-bisanya berlagak sok tenang itu. Entah apa jadinya kalau papa dan kakak Leora tahu, orang yang mereka cari-cari semalam itu dikelonin pria b******k ini.
“Khawatir? Satu kata paling lucu yang pernah aku dengar.” Leora terkekeh geli. Terlanjur didengar oleh mereka, jadi tidak ada alasan baginya untuk pura-pura lagi.
“Kalau kamu terus bikin masalah, lebih baik diam di rumah! Jangan sampai karena ulahmu nanti bikin malu semua orang!” ancam Sofian yang sudah habis kesabaran.
“Terserah!” tanggap Leora dengan muka kaku menahan marah.
Bibir Deva berkedut menahan senyum puasnya. Ternyata ada untungnya juga membawa Leora pulang ke apartemennya semalam, karena gara-gara itu dia tahu keluarga mereka tidak seharmonis yang terlihat.
“Sudah aku bilang, tidak seharusnya memberi dia kebebasan. Darah mana bisa dibohongi!” cibir Faris.
“Mulut sampah!” teriak Leora hampir menerjang ke kakaknya, tapi dihalangi oleh papanya. Apes, itu justru membuat Leora terdorong mundur dan nyaris terjengkang kalau saja tidak disangga oleh Deva.
“Sudah! Cukup, kalian!” seru Sofian benar-benar marah melihat kedua anaknya malah ribut di depan pegawai.
“Papa tidak dengar mulut busuknya ngomong apa?” protes Leora berdiri tegak dengan tatapan kecewanya.
Sofian Wiryamanta pilih menulikan telinganya. Bahkan buang muka tidak peduli ke Leora yang gemetar menahan emosinya. Lebih keterlaluan lagi ketika Faris menyeringai mengejek. Leora sudah hampir nekat menampar mulut kakaknya, tapi tangannya yang gemetar dicekal dari belakang sebelum sempat terangkat.
Sekarang giliran Nalini yang mendelik begitu dia kena sikut Deva. Mata pria itu bergerak-gerak memberinya kode untuk turun tangan. Nalini mengeratkan giginya. Lagi-lagi terpaksa menuruti keinginan gila Deva.
“Maaf, sebenarnya semalam Bu Leora menginap di rumah saya!”
Sontak saja mereka bertiga menoleh ke arah Nalini. Leora menarik lepas tangannya dari cekalan Deva sebelum kepergok papa dan kakaknya. Dia menggeleng pelan ke Nalini. Tidak ingin membuatnya terseret ke dalam permasalahannya.
Lift berhenti di lantai sebelas. Harusnya Nalini keluar, tapi Sofian sengaja menahannya untuk memberinya penjelasan.
“Ke rumahmu?” tanyanya mengernyit menatap Nalini curiga.
“Iya,” angguk Lini.
“Kamu wakil manajer keuangan yang baru diangkat, kan?” Ganti Faris bertanya. Merasa tidak asing dengan wajah Nalini.
“Iya,” angguk Nalini lagi.
“Sejak kapan kamu dekat dengan anakku?” cecar Sofian menatap lekat. Tidak percaya begitu saja, meski tadi Leora memang datang bersama Nalini.
“Kami memang tidak kenal dekat, tapi biar bagaimanapun dia petinggi di perusahaan saya bekerja. Semalam kami bertemu di nightclub, karena teman saya kebetulan ulang tahun di sana,” terangnya.
“Dia mabuk, kan?” lontar Faris, tapi Nalini langsung menggeleng.
Leora meringis. Tidak habis pikir kenapa Nalini begitu nekat membelanya sampai berani mengarang cerita halu itu. Padahal tadi di mobil dia seperti tidak begitu menyukainya. Kecuali, Deva yang memintanya.
“Bu Leora memang minum, tapi tidak mabuk. Dia pingsan di toilet gara-gara sakit perut efek tamu bulanan, jadi saya dengan dibantu teman membawanya pulang ke rumah. Maaf, saking paniknya sampai tidak kepikiran mencari cara menghubungi pihak keluarga.” Nalini sampai menunduk di hadapan Sofian untuk lebih meyakinkan pria tua itu.
Faris mendecih keras. Entah karena kecewa ceritanya tak seperti yang dia tuduhkan, atau malah menganggap Nalini mengarang cerita.
“Benar begitu?” tanya Sofian menoleh ke Leora, tapi anaknya malas menyeringai sinis.
“Benar atau tidak, memangnya penting? Sejak kapan omonganku kalian dipercaya?” tanggapnya ketus menatap kakaknya jengah.
“Kamu, Nalini?” tanya Sofian.
“Iya.”
“Terima kasih sudah menolong Leora,” ucapnya tak terduga benar-benar percaya cerita Nalini.
“Sama-sama. Kalau begitu saya keluar dulu!” pamitnya keluar dari sana.
Pintu lift kembali menutup. Kali ini tidak ada lagi yang buka suara. Leora pilih diam tidak memaki kakaknya yang tadi mulutnya keterlaluan menghinanya.
“Kalau saja tadi sejak awal ditanya kamu menjawab jujur, masalahnya tidak berlarut sampai ribut begini!” ucap Sofian merasa bersalah ke anaknya.
“Leora …,” panggilnya karena perkataannya tidak digubris.
“Aku diam, kalian perlakukan seenaknya. Giliran aku bicara, kalian bilang tak ada etika. Maunya, apa?!” sahut Leora menoleh dengan muka kecewa.
Sofian menghela nafas panjang. Tangannya baru saja hendak meraih anaknya, tapi lift berhenti di lantai ruang kerja Leora dan Deva. Keduanya langsung keluar begitu pintu terbuka.
Tak sepatah kata Leora ucap ke Deva yang mengekor di belakangnya. Bahkan dia langsung masuk ke ruang kerjanya dan membanting pintu keras. Deva meringis, tidak tahu harus iba atau senang menonton drama keluarga musuhnya itu. Ponselnya terus bergetar. Satu lagi masalahnya, kena amuk Nalini.
“Bangsatt kamu, Dev! Setelah ini aku tidak sudi membantumu lagi! Dasar dungu!”
Deva nyengir membaca chat Nalini. Melangkah menuju ruang kerjanya, dia mengirim banyak balasan untuk sahabatnya yang sedang merajuk itu. Sayangnya kali ini Nalini tidak mempan dibujuk, bahkan nomornya malah diblokir.
“Haish! Sialan!”