Hanya Seorang Muslim

2179 Words
Di kantor kepala sekolah, seorang pemuda sederhana berparas lumayan tampan menghadap Pak Jumadil, Kepsek dari sekolah swasta Jati Harapan. Sekolah swasta terbaik dan bonafit di seantero Banjarbaru atau sekabupaten Banjar. Pemuda itu berdiri tepat di hadapan meja Pak Jumadil dengan senyum sumringahnya. Sementara Pak Jumadil memicingkan mata, menatap fokus pada pemuda yang sepertinya adalah murid baru di sekolahnya. "Ohh, jadi kau orangnya...?" "Ya, Pak," "Siapa namamu tadi?" "Muslim Pak," "Yang kutanyakan namamu, bukan agamamu. Bapak juga tahu kau seorang Muslim, bapak tanya, namamu siapa...?" "Ahmad Muslim Pak," "Baah, aku juga tahu si Ahmad dari kelas 11E itu Muslim, tak usah lah kau beritahu aku, yang kutanyakan namamu bukan agamamu apalagi agama si Ahmad." Ucap sang Kepsek dengan logat Batak kentalnya. Pemuda itu menepok keras jidatnya. "Ahmad Muslim itu nama saya Paak....!" Sahutnya. Untung saja Bapak ini kepala sekolah, bukan guru matematika atau geografi, pikir pemuda bernama Muslim itu. Jika tidak, maka ketika dia bertanya pada para murid apa ibukota dari Peru? Dijawab oleh sang murid, lima Pak! Terus dijawab kembali oleh sang bapak, yang kutanyakan ibukota negara Peru, bukan 2+3 berapa. Kebayang bagaimana somplaknya kelas itu? "Oooh, jadi Ahmad Muslim nama kau rupanya? Bilang lah dari tadi." "Dari tadi saya bilang Pak bukan kumur-kumur." Gumam Muslim pelan. "Oke, oke." Sang Kepsek menatap berkas dihadapannya. "Ini merupakan kasus yang tak biasa. Tapi aku bisa melakukannya, gampang lah ini. Apalagi aku hormat kali dengan Kyai Masdar itu. Beliau itu guruku juga waktu dulu. Siapa yang tak kenal Kyai Masdar, ulama sangat berpengaruh, terpandang dan disegani di Martapura hingga Banjarbaru ini. Baiklah, semua gampang lah. Aku sudah diberitahu sebelumnya, kau tinggal tahu beres saja disini." "Terima kasih Pak." "Jadi tadinya kau mondok di pesantren rupanya?" "Ya Pak, Raudatul Ulum." "Hafidz Qur'an kau?" "Iya Pak. Itu kan ada tertulis di berkas saya." Sang Kepsek mengangguk. "Mantap kali. Ngomong-ngomong, ini untuk berapa lama...?" "Kira-kira ... kurang lebih sembilan bulan Pak," "Bukan orang hamilan yang kutanyakan, baah, itu juga aku tahu sembilan bulan." "La Hawla Wala Quwwata Ila Billah," ucap Muslim mengelus dadanya. Lagi-lagi Muslim menepok jidatnya seraya menggeleng-gelengkan kepala dengan mulut sedikit menganga. Gelengan tanda keprihatinan Muslim untuk bapak kepala sekolah itu, atau untuk sekolahan ini karena memiliki kepala sekolah model begini. Muslim jadi bertanya-tanya bagaimana bisa Pak Jumadil menjadi kepala sekolah disini? Sudahlah, lagipula ini sekolah swasta. Apapun bisa terjadi. "Baiklah, baiklah. Kau langsung diterima disini, dan sudah bisa langsung ikut pembelajaran semester ini. Jika ada apa-apa, kau bisa hubungi bapak ya," "Baik Pak, terima kasih lagi. Saya pamit, mau mencari kelas saya dulu." "Iya iya. Sana-sana." Muslim kemudian berjalan keluar dari ruang kepala sekolah. Sebagai murid baru, dia hendak mencari kelas yang akan ia masuki. Muslim diberitahu kelasnya adalah kelas 11D. Muslim menyusuri tiap selasar sekolah untuk menemukan kelas yang dimaksud. Ada rasa tidak percaya diri pada Muslim yang terpancar. Dia tidak yakin apakah dia bisa melakukan ini atau tidak hingga beberapa bulan ke depan. Saat ini, Muslim merasa dirinya bagaikan Channing Tatum dan teman gemuknya yang tak berguna dalam film 21 Jump Street. Muslim mengingat-ingat kembali masa remajanya. Kenangan SMA adalah kenangan yang tidak biasa baginya mengingat dia begitu lama di pesantren. Mondok adalah habitat asli Muslim yang tentu saja jauh sekali berbeda ketika dia masuk sekolah SMA biasa. Muslim harus pandai beradaptasi. Sembari berjalan di lantai dua sekolahan, tatapan Muslim tak sengaja teralihkan pada aktivitas basket wanita di lapangan sekolah di bawah sana. Fokusnya mengarah pada sesosok wanita berambut panjang terikat penuh keringat. Walau keringat membasahi kepala dan tubuhnya, tetapi hanya keanggunan yang ada disana. Untuk sesaat Muslim terpesona dengan paras wanita pemain basket tersebut. Muslim tersadar dan seketika beristighfar. "Astagfirullah hal adzim." Gumamnya. "Ingat Muslim, fokuslah pada tujuan utamamu. Tapi siapa ya kira-kira gadis itu? Permainan basketnya juga bagus. Kelihatan sekali dia merupakan seorang pemimpin di timnya." Muslim sejenak memperhatikan bagaimana tim basket putri itu tanding sparring. Sorak sorai para murid sebagai penonton menambah kesan hingar bingar waktu istirahat anak sekolahan yang memang berisik penuh energi. Anehnya, para murid yang menonton kebanyakan adalah murid pria, walau ada beberapa juga yang wanita. Hanya ada satu nama yang begitu lantang diteriakan oleh mereka. "Grade A, Grade A, Grade A...!!!" Grade A? Apa maksudnya? Muslim sama sekali tidak mengerti. Bahkan ketika ia memperhatikan dengan seksama, plang dari kertas-kertas karton yang dibawa para murid supporter itu semuanya bertuliskan Grade A. Apa itu nama dari tim basket putri sekolah ini? Rasa penasaran Muslim tak lama kemudian terjawab ketika si duo kembar Bull dan Skull muncul dihadapannya. Muslim dihampiri oleh dua murid kembar otentik dengan wajah yang sangat mirip, tetapi memiliki postur tubuh yang jauh sekali berbeda. Yang satu kurus dan ramping sedangkan yang satunya sangat gemuk dan bertubuh gempal. "Hei bro, loe murid baru ya? Soalnya gue baru lihat." Tanya si kurus. "Dilihat dari emblemmu, anak kelas dua ya?" timpal si gemuk. "Iya, aku murid baru disini." "Kata-katamu formal sekali pakai aku, gunain kata gue kek apa," jawab si gemuk. "Gaul dikit lah." "Oh maaf, gak biasa pakai bahasa gaul." Ucap Muslim tersenyum. "Kenalin, aku, eh maksudnya gue, Muslim." Muslim menyodorkan tangan untuk berjabat. "Kami berdua juga Muslim broo." Sahut si kurus. "Lah? Enggak, maksud say–emm maksud gue, nama gue Muslim, Ahmad Muslim!" "Oohhh, salam kenal Muslim," sahut si kurus langsung meraih tangan Muslim untuk berjabat tangan. "Gue Lani, dan yang gemuk ini saudara kembar gue namanya Lana. Ya, kami emang beda ukuran sih seperti yang loe bisa liat, tapi percayalah, kami berdua emang beneran teman serahim kok. Dulunya dia gak kek gini bentukannya." "Apa saja lah kata dia bung." sahut Lana menunjuk Lani lalu juga ikut menjabat tangan Muslim. "Loe bisa panggil kami Lana-Lani aja kawan, kalau para murid disini seringnya sih memanggil kami Bull dan Skull." "Bull dan Skull?" Muslim tidak begitu heran kenapa si kembar ini dipanggil Bull dan Skull, tokoh dua sekawan nyentrik dari Power Ranger Mighty Morphin klasik tahun 90an, melihat dari postur keduanya yang mirip Bull dan Skull. Satu kurus dan satu lagi gemuk. "Btw gue lihat dari jauh loe tadi sedang merhatiin si Grade A ya," ucap si Lani. "Grade A? Siapa...?" tanya Muslim. "Itu, yang paling cantik dan paling enerjik di bawah sana. Gadis dengan rambut terikat, yang keringatnya bak kucuran berlian yang berkilauan dan berharga mahal." "Mahal, mahal. Kalau mahal, jual aja keringatnya ke pasar berlian di Martapura sono." Sahut Lana agak ketus. "Gadis yang nampak seperti pemimpin itu?" tunjuk Muslim. Si kurus mengangguk. "Iya, dia tim basket putri sekolah kami, juga konsultan ekstrakurikuler bidang olahraga di sekolah ini. Aleya Nurhamdani, si Grade A yang hebat." "Itu yang ingin kutanyakan dari tadi." Sahut Muslim. "Siapa sebenarnya Grade A? Gadis itu...? Kenapa kalian menyebutnya Grade A?" Lana dan Lani kemudian saling menatap sambil tersenyum. Mereka lalu menjelaskan pada Muslim secara singkat namun detail siapa dan apa itu gadis Grade atau Grade-Gils yang sangat terkenal di sekolah mereka. Sosok paling diminati oleh semua murid di sekolah itu. Sosok yang dianggap sangat keren dan berkelas. "Mereka lah Grade-Gils. Semua murid disini memilki Grade-Gils favorit mereka masing-masing, bahkan adik kelas yang baru masuk saja semuanya memiliki gadis Grade yang mereka sukai. Tidak ada yang sekeren mereka." Tutur si kurus. "Semacam tradisi oshi di JKT48 maksudnya...?" tanya Muslim. "Yaa ... bisa dianggap seperti itu, hanya saja Grade-Gils jauh lebih keren tentu saja." Jawab si gemuk. "Itu sudah jelas, Grade-Gils tiada duanya." Timpal si kurus. "Dan Grade A adalah yang terbaik diantara semuanya. Selalu!" Lani nampak tersenyum sumringah sambil terpejam. "Enak saja! Pastinya Grade C yang terbaik, kau tahu?" ucap Lana si gemuk, nampak tak terima. Rupanya menjadi saudara kembar tidak selalu samaan dalam segala hal. Buktinya saat ini, mereka mengidolakan Grade-Gils yang berbeda. Lana Lani pasti banyak memiliki baju couple sejak mereka kecil, tetapi tidak untuk kasus pengidolaan kepada gadis Grade kali ini. Lana si gemuk yang lebih tua 90 detik mengidolakan Grade C, sementara si kurus Lani mengidolakan Grade A. Keduanya malah semakin ribut dan terlibat cekcok hebat terkait siapa gadis Grade terbaik di depan Muslim. "Grade A yang terhebat, gadis Grade yang lain gak ada apa-apanya." "Apa kau lupa siapa yang baru saja menangin medali olimpiade matematika bulan lalu? Grade C telah mengharumkan nama sekolah kita bahkan negara ini!" "Halah, baru satu medali. Liat noh Grade A, koleksi piala di ruang guru itu kebanyakan berkat kontribusi Grade A. Sekolah kita menjadi peringkat 2 akreditasi olahraga terbaik se-Indonesia berkat Grade A." "Sudah-sudah, kalian jangan berantem disini! Duh," Muslim bingung melihat percekcokan duo kembar yang tadinya akrab menjadi saling terkam satu sama lain hanya gara-gara perdebatan Grade-Gils. Muslim coba melerai. "Sudah woy, kalian, jangan pada ribut disini. Gue cuma mau nanya, kelas 11E dimana...?" "Disana! Lurus aja terus nanti belok kiri, ruangan ketiga dari kanan." Ucap Lana dan Lani lantang dan serempak. Akhirnya mereka bisa samaan lagi, setidaknya untuk ini mereka mengucapkannya berbarengan. Namanya juga anak kembar. Muslim mengangguk. "Oke, makasih Lana, Lani." Muslim pamit dengan meninggalkan si kembar yang masih cekcok dan ribut satu sama lain. Para gadis Grade atau Grade-Gils? Muslim memikirkan tentang itu seraya ia berjalan menuju ruang kelasnya. Sekolah ini memiliki para gadis yang begitu populer? Semacam F4 versi wanita gitu? Hedeh, sekolah swasta ternyata memang unik juga. "Lah, kenapa cuma nanya kelas aja tadi ya, tapi malah lupa nanyain si ...." Muslim kembali menoleh pada Lana dan Lani. Sepertinya dia hendak menanyakan seseorang pada mereka berdua. "Anu, kalian tahu si ...." Tetapi Muslim melihat Lana dan Lani sudah sama-sama terbaring di lantai, saling gelut. Bak Kane dan Undertaker yang biasanya dianggap adik kakak, atau tidak. Lebih mirip seperti Big Show lawan John Cena. Muslim menggeleng-gelengkan kepala dan tak jadi menanyakannya. "Astagfirullah." Muslim urung bertanya lalu melanjutkan berjalan menuju kelasnya. Dimana ya dia? Kelas berapa? Apa kelasnya sama denganku? Pikir Muslim sedang memikirkan seseorang. "Takutnya Pak Kepsek itu salah mengatur segalanya. Kan bisa berabe. Masalahnya saat ini aku cuman tahu namanya, tapi tak tahu bagaimana rupanya. Pak Kyai belum pernah memperlihatkan fotonya sih." Sejenak Muslim berjalan dan berhenti. "Tunggu dulu, si Grade A tadi namanya siapa ya kata Lani barusan...?" Muslim meneruskan menuju kelas yang tadi ditunjukan oleh Lani dan Lana. Muslim kembali teralihkan pada sebuah ruangan. Ruangan musik sepertinya. Dilihatnya banyak kaki terjuntai—atau lebih tepatnya tergantung disana. Kaki-kaki itu adalah milik para murid–kemungkinan gabungan murid kelas satu dan dua melihat dari tinggi badan mereka, sedang asyik mengintip seseorang bermain musik di dalam sana. Alunan musik yang merdu terdengar. Getaran indah dari sebuah senar berukuran besar. Muslim tahu ini bunyi sebuah harpa. Dilihatnya sekilas dibalik jendela, seorang gadis putih berambut pendek, duduk dengan anggun sembari memetik sebuah Harpa agak raksasa. Para murid yang tadi berjejer mengintip ke jendela, serempak mengarahkan mata mereka ke kanan. Tepat ke arah Muslim, dengan tatapan nanar, agak sedikit kesal, seolah-olah Muslim sudah mengganggu kekhusyukan meditasi mereka. "Maaf," ucap Muslim. "Aku ... akan pergi dari sini." Para murid itu kembali fokus menatap dan mengagumi gadis pemain harpa tersebut. "Grade B memang luar biasa. Paling hebat!" celetuk salah satu murid samar-samar terdengar oleh Muslim. Muslim bergeming sedikit menoleh. "Grade B?" Jadi gadis itu adalah salah satu Grade-Gils yang dimaksud? Akhirnya Muslim pun tiba di kelas 11E, kelas barunya. Muslim kemudian disambut oleh seorang ibu guru yang tengah mengajar di kelasnya. "Kamu murid baru itu kan?" "Iya Buk, maaf saya masuknya telat." "Gak papa kok. Kita juga baru mulai. Ayo sini, perkenalkan dirimu di depan teman-temanmu semua yang ada disini." Pinta sang ibu guru meminta Muslim memperkenalkan dirinya dihadapan semua teman kelasnya. Muslim mengangguk lalu mendekati ibu guru dan berdiri di sampingnya. "Silahkan." Muslim menatap wajah-wajah tengik murid kelas 11E. Wajah yang beragam. Ada yang menatap nanar, menatap ketus penuh ketidak-sukaan, wajah malas belajar, wajah mengantuk dan berbagai macam wajah tak biasa lainnya. Muslim juga memindai semua teman kelasnya dengan matanya. Coba mengenali mereka satu persatu. "Perkenalkan, nama saya ... Ahmad Muslim. Seperti yang mungkin sudah kalian ketahui, bahwa saya merupakan murid pindahan. Mulai saat ini, saya akan menjadi teman kalian, tolong kerjasamanya." Ucap Muslim tersenyum simpul. "Kamu Muslim?" tanya salah seorang murid pria. "Iya," "Kami juga semua muslim," sahutnya, dijawab oleh derai tawa para murid yang memecah seisi kelas. "Kalau saya Yahudi, maka nama saya pasti Ahmad Jewish," ucap Muslim seraya tertawa sendiri, mencoba ngejoke tapi garing, bahkan lawakannya barusan tidak bisa dimengerti sama sekali oleh para murid. Tidak ada satupun. Kriik ... Kriikkk ... Kriikkk...!!! Tak ada tawa yang pecah. "Baiklah ... By the way, nama saya diambil dari salah satu Imam hadist terkemuka, satu dari Asy-Syaikhain dalam ilmu hadist selain Bukhari yakni Imam Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi yang dilahirkan pada tahun 821 Masehi atau 204 Hijriah" Muslim memperkenalkan diri disertai intermezzo singkat. "Siapa yang peduli!!!" teriak seorang murid. "Ssstttt...!! Bisakah kalian diam dan dengarkan saja?" tegur sang ibu guru di depan. "Intinya saya hanyalah seorang muslim, yang akan senantiasa berlaku baik dan adil. Suka pertemanan, membenci permusuhan. Sebisa mungkin akan membantu yang kesusahan, dan melakukan yang terbaik ketika menjadi teman kalian. Salam kenal, dan mohon bimbingan serta kerjasamanya." Ucap Muslim menyudahi perkenalannya. Hanya ibu guru itu saja yang bertepuk tangan. "Bagus Muslim ... silahkan, kau bisa duduk disana, itu bangkumu." Muslim menempati kursi kosong di belakang. Satu-satunya kursi tersisa yang ada di kelas mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD