Berbagai Pertanyaan

2005 Words
"Siapa?" tanya Tibra penuh tanya saat melihat perempuan paruh baya di hadapannya, tersenyum penuh kehangatan, gaun sederhana yang dikenakannya nampak basah, kemungkinan air hujan terpercik ke gaunnya saat ia berjalan menuju apartemen ini. "Tibra?" Perempuan itu menyebutkan namanya, membuat Tibra kaget. "Ya...siapa?" tanya Tibra dengan seribu pertanyaan di benaknya, siapakah perempuan paruh baya ini. Alih-alih menjawab, raut wajah perempuan paruh baya itu berubah, air mata mengalir deras dari matanya membasahi wajahnya yang masih terlihat cantik di usianya yang menjelang senja. Tibra keheranan melihat reaksi perempuan itu, dan hanya bisa diam, tidak tahu harus berbuat apa. "Tibra...ini ibu, nak...ini ibu...." Perempuan itu berkata di antara isak tangisnya, mengatakan sesuatu yang membuat Tibra kembali terkejut. Kehadiran perempuan ini secara tiba-tiba di depan pintu apartemennya saja, membuatnya kaget, dan bertanya-tanya, sekarang ditambah lagi dengan sebuah pernyataan bahwa perempuan di hadapannya ini adalah ibunya. Semua ini terlalu mendadak, dan tidak pernah terpikirkan oleh Tibra. "Tibra...ini ibu, maaf ibu baru datang hari ini...." Perempuan itu menangis lalu memeluk Tibra yang secara refleks menjauh dan melepaskan pelukan perempuan itu. Perempuan itu menatap Tibra dengan tatapan terluka dan mata berkaca-kaca. "Kamu pasti marah sekali sama ibu, ya nak?" ucap perempuan itu. "Tibra ini ibu...maafkan ibu, udah ninggalin kamu waktu kamu masih bayi...." Perempuan itu berkata lirih, sambil berusaha kembali meraih tangan Tibra, sementara Tibra berjengit dan menjauh. "Tibra...." panggil perempuan itu lirih, menatap Tibra yang terlihat sangat enggan berada di dekatnya. "Kayaknya, Anda salah alamat," ucap Tibra sambil cepat-cepat menutup pintu. Telinganya mendengar pintu diketuk dan namanya dipanggil. Tibra mengabaikan ketukan dan panggilan di luar pintunya, dan memilih duduk di sofa kembali menikmati tayangan National Geographic, meski dia tidak bisa sepenuhnya menikmati apa yang ditayangkan. Otaknya penuh dengan pertanyaan siapa sebenarnya perempuan tua di depan pintu itu. Apa benar, dia perempuan yang melahirkannya? Yang mengantarkannya datang ke dunia, lalu merasa menyesal dan memilih membuangnya di dekat sampah, membiarkannya digigit semut dan merasakan sebuah siksaan yang berat bagi seorang bayi merah yang baru saja datang ke dunia. Jika saat dia dilahirkan ibunya begitu membencinya dan tidak ingin dirinya hidup, lalu kenapa perempuan yang mengaku sebagai ibunya itu datang hari ini? Apa yang perempuan itu harapkan darinya? Ekonomi yang stabil dan menghabiskan masa tua dengan nyaman? Jika memang itu tujuannya, Tibra merasa bahwa perempuan yang melahirkannya itu benar-benar tidak tahu malu. Setelah dia membuangnya, kini dia datang saat tahu bahwa Tibra sudah dewasa dan memiliki kemampuan ekonomi yang cukup baik, tinggal di apartemen yang cukup mewah di kota besar, dan segala fasilitas yang nyaman. Dia tidak akan mengijinkan perempuan itu atau siapapun masuk ke dalam kehidupannya. Lebih baik dia sendirian, daripada hidupnya dikacaukan oleh orang yang mengaku bertalian darah dengannya. Dari bayi dia sudah sendiri, dan Tibra pikir, tidak ada susahnya meneruskan kesendiriannya. "Tibra...ibu mau bicara sebentar nak!" Suara perempuan memohon di luar pintu, tetapi Tibra tidak bergeming. Tibra menganggap bahwa sekian tahun dia tidak merasa memiliki ibu atau ayah, hal apa yang bisa dibicarakan sekarang? Tidak ada, secuil kenangan masa kecilnya pun tidak. Hampir satu jam Tibra membiarkan perempuan asing yang tiba-tiba datang itu di depan pintu apartemennya. Lama kelamaan ketukan di pintunya semakin lemah, membuat Tibra penasaran apakah perempuan yang mengaku ibunya itu masih berada di depan pintu. Berjalan pelan, berusaha tidak menimbulkan suara, Tibra melihat dari lubang pintu, perempuan itu masih di depan pintu menatap sedih. "Tibra...ibu tahu, mungkin kamu belum mau bertemu ibu sekarang. Ibu tahu, ini nggak mudah diterima setelah ibu ninggalin kamu. Ibu akan datang lagi nanti kalau kamu sudah merasa lebih baik." Perempuan itu melangkah menjauh dari pintu apartemen Tibra, sepertinya dia sudah lelah menunggu Tibra menerimanya dan mendengar penjelasannya tentang mengapa dia meninggalkan Tibra sesaat setelah dilahirkan, bahkan seolah sama sekali tidak peduli apakah Tibra hidup atau mati. Bukankah jika ibunya masih memiliki nurani, bisa saja meletakkan Tibra di depan rumah orang, atau di panti asuhan, bukan di tempat sampah, di mana segala macam serangga bisa melukai dengan gigitannya dan juga binatang-binatang jalanan liar, anjing atau kucing bisa mencabik-cabik Tibra dengan kuku dan taringnya. Udara dalam ruangan terasa semakin dingin, hujan di luar turun semakin deras, dan Tibra masih termenung karena kehadiran perempuan asing tadi. Ponselnya berdering nyaring, membuat Tibra keluar dari pikirannya tentang tamu yang menyambanginya tadi. Panggilan dari driver ojek online yang hendak mengantarkan makanan dan bertanya di mana dia harus menyerahkan makanan yang dipesan Tibra. Tibra bahkan lupa jika sedang memesan makanan, keberadaan perempuan tadi membuatnya seolah melupakan segala hal. Kehidupan monoton dan kesendiriannya seolah terusik dan membuat Tibra terfokus pada perempuan itu. Hidangan seafood dari restoran ternama yang dipesannya sudah berada di meja makan, tapi Tibra tidak lagi merasa lapar, dan tidak bernafsu makan. Dia masih terjebak dalam pikiran siapa perempuan paruh baya itu, dan benarkah dia ibu kandungnya? Ataukah, seseorang yang hendak mencelakakannya, mengingat jejaknya di dunia hitam telah menghilangkan banyak nyawa. Tetapi, kecil kemungkinannya jika perempuan itu datang untuk mencelakakannya, dia terlalu tua dan lemah untuk berhadapan dengan Tibra dan dia bisa dihabisi Tibra dengan mudah. Jadi, kemungkinan kedatangannya untuk mencelakakan atau membalas dendam terpatahkan. Jangan-jangan, perempuan itu memang ibu kandungnya? Setelah bertahun-tahun dia merasa menyesal dan berusaha memperbaiki keadaan, setidaknya sebelum maut menjemput, bisa saja itu alasannya. Bagaimanapun juga, Tibra adalah darah dagingnya bukan? Sepanjang malam, Tibra tidak bisa mengenyahkan kehadiran perempuan paruh baya yang tiba-tiba saja berada di depan pintu apartemennya. Dari mana dia tahu tempat tinggalnya, apalagi lima tahun ini, dia berada di penjara. Bagaimana mungkin perempuan itu demikian yakin jika dirinya adalah bayi laki-laki yang dulu dibuangnya di tempat sampah. Apakah ini bukti dari ungkapan darah lebih kental dari air, dan seorang ibu memiliki firasat kuat pada anaknya, meski sudah membuang dan mengabaikannya selama bertahun-tahun, perempuan itu tetap memiliki ikatan batin dengan dirinya. Semakin Tibra memikirkannya, dia merasa otaknya semakin buntu dan tidak menemukan jawaban. Hal yang bisa dilakukannya jika dia memang menginginkan sebuah penjelasan adalah bersedia bicara dengan perempuan paruh baya itu, tetapi sayang, Tibra tidak tahu apakah mereka akan kembali bertemu. Lelah dengan pikirannya yang terasa penuh, setelah mencari informasi untuk Sultan, dan juga kehadiran tamu yang membuatnya tidak henti berpikir, membuat Tibra akhirnya jatuh tertidur. *** Viva La Vida terdengar begitu nyaring, mengusik Tibra yang masih berada dalam tidur tidak nyenyaknya. Dia terbangun dengan rasa lelah yang hebat akibat terlalu overthinking, sebuah hal yang jarang terjadi dalam dirinya, bahkan saat menjelang sidang putusan kasus tabrak lari yang dilakukannya terhadap Tigra, Tibra sama sekali tidak memikirkannya dan bisa tidur lelap. Masih digelayuti kantuk, Tibra meraih ponselnya. "Apa lo udah dapat info?" tanya Sultan begitu Tibra mengangkat panggilan telponnya. Tibra menguap, lalu memijit keningnya. "Udah." "Terus? Siapa yang nyuruh KBH RX? Hazel apa Johnny?" tanya Sultan lagi dengan nada tidak sabar. "Bukan keduanya." "Bukan?" Dari suaranya, Sultan nampak kaget, mempertanyakan siapa lagi pihak yang berusaha menjatuhkan bisnis keluarganya. "KBH RX disuruh sama Radja." "Radja...?" "Adik tiri lo." "...." Hening di seberang, mungkin Sultan tidak menyangka bahwa saudara tirinya yang membuat kekacauan di bisnis keluarga mereka. "Lo yakin?" "Gue rasa, Tackey nggak akan bohong." "Tackey?" "Ketua geng KBH RX." "Gue nggak mau ikut campur karena ini masalah keluarga, tapi, menurut Tackey, Radja ngelakuin ini karena nggak suka kalau lo megang bisnis keluarga." "Cih, dasar bocah tengik!" umpat Sultan. "Gue rasa, tugas gue selesai." "Tibra...." "Ya?" "Lo bisa kan, eliminasi Radja?" "Dia adik lo." "Adik tiri," koreksi Sultan. "Dan dia terlalu berulah, gue udah muak karena diam terlalu lama. Dulu, gue rela mengalah, sampai gue harus rela jadi jongosnya Hazel, cuma jadi karyawan di perusahaannya Hazel. Selama itu gue nahan perasaan malu dan ga nyaman setiap kali orang-orang sering nanyain ke nyokap gue kenapa gue nggak gabung di perusahaan bokap dan malah kerja sama keluarga Soemarsono, semua karena Radja sialan si anak manja itu. Dia selalu aja minta ke bokap buat nyingkirin gue. Tapi sekarang, gue nggak akan diem lagi, biarkan Radja tahu sedang berhadapan sama siapa. Bokap gue lagi di Jerman dan baru pulang bulan depan, akan lebih baik kalau Radja lenyap sekarang." "Gimana dengan Kaisar?" "Buat sementara waktu, Kai bukan ancaman, dia lagi sibuk kampanye dan segala hal, dia bukan ancaman bagi gue sekarang, lagipula ketimbang Radja, Kaisar masih lebih baik. Setidaknya, dia masih menganggap gue saudara dan ngasih kepercayaan ke gue di perusahaan." "Bukan, maksud gue, kalau Radja meninggal, Kaisar nggak bakalan diam kan?" "Lo nggak akan ketahuan kalau lo kerja dengan baik. Lima tahun di penjara gue rasa membuat lo akan lebih hati-hati, dan nggak akan ngulang kesalahan yang sama." "Katakanlah begitu, skenario apa yang bisa kita pakai buat eliminasi Radja? Karena terus terang gue lagi males mikir. Nggak mungkin dia gue tembak langsung, karena pasti bakalan mengundang kehebohan maksimal, kecelakaan? Nggak gampang bikin dia kecelakaan apalagi dia punya geng motor yang menurut Tackey punya power. Lagipula, jangan lupa, Radja pakai nama Wirjasoesmita, suka nggak suka, keluarga kalian populer, kematiannya nggak bakalan dianggap biasa aja." "Lo takut dan nggak bisa ngelakuin apa yang gue minta?" "Takut? Kalau gue takut, gue nggak akan ambil kerjaan kayak gini dari dulu. Gue cuma mempertimbangkan situasinya memungkinkan atau enggak, dan menurut penilaian dan perhitungan gue, menghabisi Radja saat ini terlalu beresiko besar. Taruhlah, ada orang yang dikorbankan buat ngaku sebagai pembunuh Radja, apa bakalan berhenti sampai di situ? Kaisar dan bokap lo pasti bakalan cari tahu sampai sarang tikus sekalipun siapa yang mendalangi kematian Radja." Sultan mendecih. "Lo nggak pernah nolak permintaan Hazel." "Hazel nggak pernah nyuruh gue buat ngehabisin keluarganya." "Gue kecewa sama lo, ternyata lo memihak Hazel dan menolak permintaan gue. Suatu hari lo bakalan menyesal karena Hazel nggak sebaik yang lo kira." "Sultan, gue nggak mihak Hazel, tapi kasus lo ini lebih rumit," balas Tibra mulai kesal karena Sultan bertingkah seperti anak kecil yang pundung karena tidak diajak bermain. "Lebih baik lo ngomong langsung sama Radja, face to face, kalau perlu berantem sekalian. Gimanapun, urusannya bakalan panjang kalau Radja mati mendadak. Atau, lo buktiin ke bokap lo bahwa lo bisa diandalkan. Tampar Radja pakai prestasi lo di bisnis yang sekarang lo pegang." "Lo nggak ngerti apapun soal bisnis dan gue nggak butuh nasehat lo, Tibra. Lo bahkan cuma pembunuh bayaran," sinis Sultan. Tibra menghela nafas. "Ya...gue tahu siapa diri gue, nggak perlu lo ingetin. Gue rasa, cukup gue ngomong sama lo." Tibra memutus sambungan telpon dan meletakkan ponselnya di nakas. Dalam keheningan dia berpikir bahwa kehidupannya setelah keluar dari penjara terasa lebih rumit dari sebelumnya. Mulai dari persahabatan Hazel dan Sultan yang retak dan menyeretnya, juga kemarahan Sultan karena penolakannya untuk membunuh Radja, juga kehadiran seorang perempuan yang mengaku ibunya. Ini semua membuat Tibra mendadak merasa hidupnya yang dahulu begitu tenang dan terkendali mendadak terasa crowded. Dia berjalan menghampiri jendela lebar yang memamerkan kesibukan kota dan gedung pencakar langit serta hiruk pikuk manusia yang terlihat layaknya semut dari lantai unit apartemen tempatnya berada. Begitu banyak manusia di dunia ini, tetapi tidak ada satupun yang bisa dijadikannya tempat berkeluh kesah, dan menjadi tempatnya bersandar saat merasa lelah. Pikirannya melayang pada perempuan paruh baya yang mendatanginya kemarin. Apa benar perempuan itu benar-benar ibunya? Jika iya, apakah suatu hari nanti, dia bisa mendapatkan pelukan sayang darinya? Usapan hangat telapak tangannya dan ungkapan cinta yang tidak pernah didapatkan dan dirasakannya? Lalu, di mana dia berada sekarang? Apa dia akan datang lagi untuk menemuinya? Bagaimana jika ternyata kemarin adalah kesempatannya yang terakhir untuk bertemu ibu yang melahirkannya? Seketika sebuah rasa sesal menyusup dalam hati Tibra, namun otak logisnya memperingatkannya bahwa bisa saja, perempuan itu datang hanya demi memanfaatkan hartanya, bukan karena benar-benar menyesal melewatkan tahun-tahun tanpa dirinya setelah meninggalkannya di sampah. Pertentangan hadir dalam diri Tibra, saling tolak menolak dan membuat Tibra merasa gundah dan resah. Dia memerlukan sesuatu untuk melepaskan rasa jenuh dan stres yang dirasakannya. Biasanya, dia akan pergi ke club malam untuk minum dan bersenang-senang, tapi, sekarang masih pukul sepuluh pagi, kemana dia akan pergi? Pada akhirnya, dia mengambil jaket dan kunci mobilnya, keluar dari unit apartemennya, meski belum tahu hendak menuju kemana. Dia berdiri di depan lift, menunggu pintu lift terbuka, dan saat lift yang ditunggunya datang dan terbuka, jantung Tibra mendadak berdetak lebih kencang karena kaget. Netranya menemukan sosok yang memenuhi pikiran dan batinnya dengan berbagai tanya hingga membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD