Pilihanku

1302 Words
Tahu bagaimana rasanya dipaksa melepas padahal masih sangat menginginkannya? Tahu bagaimana rasanya masih ingin berjuang, tapi dia menyerah begitu saja? Itu posisi yang paling aku benci saat ini. Radit masih memelukku erat, bibirku bergetar tak sanggup berkata lagi. Aku pikir di pertemuan ini kami bisa melepas rindu yang teramat sangat menggebu, nyatanya ini adalah perpisahan. Tuhan memang satu, tapi kami yang berbeda. Kami adalah ketidakmungkinanan meski cinta menyatukan. Aku sesenggukan dalam dekapannya, kubalas pelukannya jauh lebih erat. Rasanya aku tidak ingin melepasnya. “Aku harus pergi dari hidupmu, Vanya. Bahagiamu adalah bahagiaku,” bisiknya terdengar lirih. Aku mendongak menatap mata Radit yang sudah basah—menggeleng tidak setuju dengan kalimat yang baru saja dia ucapkan. Aku hanya ingin bahagia dengannya. “Aku mencintaimu, Vanya,” lirihnya mengecup keningku. Bohong, aku memukul-mukul dadanya dan dia hanya pasrah. Bohong sekali, kalau mencintaiku harusnya kami berjuang bersama ‘kan? Aku menangis tersedu-sedu, tidak ada harapan lagi. Bertahan pun hanya akan membuat kami semakin terluka. Radit mengurai pelukannya, mensejajarkan tinggi kami—menatap wajahku seraya tersenyum, padahal air matanya sedang mengalir. “Jalan kita berbeda meski hati kita sama, Vanya. Mungkin akan sulit melupakan, tapi kita pasti bisa.” Aku memejamkan mataku berharap air mataku akan berhenti mengalir, nyata benar-benar tidak bisa aku kendalikan. Radit kembali memelukku—mengelus puncak kepalaku dan mengecup keningku. Ini adalah kecupan juga pelukan terakhir darinya. *** Radit sempat mengantarku hingga tempat di mana mobilku terparkir. Kami datang dan pulang masing-masing. Mobil yang Radit kendarai sudah melaju lebih dahulu setelah menerima telepon dari mamanya. Bukannya masuk ke dalam mobil, tubuhku luruh hingga terduduk di aspal—bersandar pada pintu mobilku. Aku tidak menangis lagi, tapi memandang kosong lampu taman yang temaram. Aku kembali menangis saat hujan turun, aku benci hujan. Kenapa Radit selalu meninggalkanku dan hujan membasahiku? Dan yang paling aku benci adalah dia. Dia yang selalu datang memayungiku di kala hujan, Zein. Aku benci hujan dan Zein. “Jangan tampar aku lagi.” Zein membantuku berdiri dan menuntunku ke arah kursi bagian penumpang, tapi aku menahannya. Zein bilang dia akan mengantarku pulang dan meninggalkan mobilnya. Dia juga mengatakan dia tidak menerima penolakan. Zein memberiku paperbag yang berisi pakaiannya. “Dipakai, ya, bajunya. Tubuhmu basah, hanya ada pakaian olahraga di mobilku—” “Aku mau pulang sendiri.” “Dua menit waktu untukmu mengganti pakaian. Jika tidak, aku yang akan menggantikan pakaianmu,” ujarnya seraya menutup pintu. Gila. Teriakku dalam hati. Aku tidak berani meneriakinya langsung, salah-salah dia akan mengambil kesempatan ini untuk memacam-macamiku seperti di vila malam itu. Aku mengetuk kaca jendela mobil. Seolah mengerti maksudku, Zein mengitari mobil menuju ke bagian kemudi. “Nggak mau ganti celananya, langsung pulang saja,” ujarku sebelum dia melayangkan protes. Aku menoleh ragu ke arahnya dan dia tersenyum kemudian mengusap lembut kepalaku. Sepanjang perjalanan aku memilih diam mengabaikan Zein. Dia menggenggam tanganku dan aku pasrah. Tidak, lebih tepatnya aku hanya lelah dengan keadaan. Tadi aku sempat mengelak, tapi Zein menahanku. *** Satu bulan kemudian Jepang Hari yang aku tunggu pun tiba, ceremony wisuda. Kalau sebelumnya aku antusias, hari ini tampak biasa saja. Ku lihat wajah Ayah dan Ibu tampak bahagia, senyum di wajahnya tidak luntur sejak tadi. Ayah dan Ibu berangkat ke Jepang khusus untuk menghadiri wisudaku, begitu juga dengan Zein. Setelah ini, kami akan berkunjung ke rumah orang tua Zein menentukan tanggal pernikahan aku dan Zein. Seperti biasa, Tante Seina dan Om Erwin selalu menyambut keluargaku dengan baik, dia bahkan mengatakan sudah menganggapku seperti anaknya sendiri. “Gimana Vanya, kamu setuju?” tanya Tante Seina ketika menentukan tanggal pernikahan kami. Lidahku terlalu kelu hingga sulit berbicara. Zein menatapku lembut menunggu jawabanku. “Bagaimana kalau ditunda—” “Vanya setuju, Tante.” Aku memotong kalimat Zein yang tengah menatapku lama, lalu tersenyum—meraih sebelah tanganku dan mengelusnya dengan ibu jarinya. Tanggal pernikahan sudah ditentukan bahkan Mama Seina sudah menghubungi desainer yang akan merancang gaun pernikahanku. Setelah kembali ke Indonesia nanti semua akan diatur oleh orang kepercayaan Mama Seina. Aku pun sudah wajib memanggil beliau ‘Mama Seina’. Beliau menegurku saat sepanjang pertemuan tadi aku memanggil beliau dengan sebutan Tante. Matahari yang akan tenggelam memang sehangat dan seindah itu. Air mataku jatuh begitu saja menatap senja di ujung sana. Aku bingung, sebenarnya aku sekesima oleh keindahannya atau kenangan pada seseorang yang pernah mengajakku menikmati senja dulu—yang kini tak lagi dapat kugenggam. Aku tersentak saat seseorang menghapus air mataku, ternyata Zein. Dia bersimpuh di hadapanku menatapku begitu dalam. “Aku akan mengganti air matamu dengan kebahagiaan, Zee.” Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain, ke mana saja, asal tidak menatapnya. “Jodoh itu dijemput Zee bukan ditunggu dan sekarang aku sedang menjemputnya.” *** Jakarta Hari ini Zein menemaniku fitting gaun pengantin, katanya dia ingin melihat langsung gaunnya. Dia mengizinkanku memilih sendiri gaun yang aku sukai. Sebelumnya, dia menawarkan gaun dengan desain sendiri atau khusus untukku, tapi aku menolaknya. Tidak perlu sespesial itu karena pernikahan ini juga tidak spesial bagiku. “Anda saja yang pilihkan,” pintaku padanya. Aku tidak mood untuk memilih dan memilah gaun mana yang pantas untukku kenakan. “Zee, haruskah seformal itu? Kamu bisa panggil aku Mas Zein atau Zein pun tidak masalah. Kalau ‘Anda’ terdengar seperti kita sedang membicarakan proyek kerjaan,” guraunya, tapi sangat garing, tidak cocok dengan wajahnya. *** “Aku selalu meraih sesuatu yang aku inginkan alih-alih melepasnya. Dan memperjuangkan daripada menyerah.” Kalimat yang pernah Zein ucapkan padaku terngiang di telingaku. Deringan dari ponselku menyadarkanku dari lamunan. Dan nama Zein menyapa layar ponselku. Tadi dia mengajakku makan malam di luar, tapi aku menolaknya. Aku pun memilih mengabaikan panggilannya hingga sebuah pesan singkat masuk setelah panggilan berakhir. Pengganggu : Zee, lihat, aku di bawah. Zein melambaikan tangan ke arahku dan memintaku turun bersamaan dengan suara ketukan pintu. Aku memilih segera membuka pintu dan mendapati Ibu tersenyum—mengatakan Zein sudah menungguku untuk mengajakku makan malam. Dasar, sudah pengganggu, pemaksa pula. Dengan terpaksa aku pun ikut bersama Zein. *** Restoran Zein tersenyum—membuka pintu mobil untukku begitu kami tiba di restoran pilihannya. Aku mengikuti langkahnya dan duduk di kursi yang dia sediakan untukku. Suasana ini mengingatkan aku akan lamaran Radit malam itu. Mungkinkah ada yang akan melamar kekasihnya? Pasalnya restoran outdoor ini sudah di desain sangat romantis. “Di dalam saja, yuk, sepertinya ada acara lamaran,” ajakku. Bukannya menjawabku dia malah menatapku. Aku selalu risih dengan tatapan Zein setiap kali dia memandangku, tatapan penuh minat dan meresahkan. “Zein,” panggilku padanya. Aku memilih memanggilnya Zein tanpa Mas, entahlah aku hanya malas saja. Dia mengabaikanku dan memintaku menikmati makan malam kami. Kami makan dalam hening, sesekali Zein bertanya aku hanya menjawab dengan deheman saja. Harusnya dia paham aku enggan bicara padanya, tapi dia tak berhenti bicara. Aku menoleh mencari sumber suara saat tiba-tiba terdengar lantunan lagu romantis. Ciri khas seseorang akan melamar, untuk itu, kali ini aku mengajak Zein pulang dan dia menyanggupinya. Aku berjalan lebih dahulu meninggalkannya. Saat akan melewati lorong yang berhiaskan bunga dan lampu kecil Zein menahanku hingga aku menerjap menubruk d**a bidangnya. Aku bahkan bisa mencium wangi tubuhnya. “Zee, aku tak pandai merangkai kata. Jadi, dengarkan saja ini.” Aku menoleh sekitar menyadari aku dan Zein dikelilingi lampu kecil yang menyala di lantai berbentuk hati. “Zevanya Alsavarega Putri, menikahlah denganku. Menjadi wanita pertama yang menetap di hatiku. Pertemuan kita yang singkat ini, akan tetap—” Aku mengeleng—menghempas tangan Zein yang menggenggam kedua tanganku menghentikan kalimatnya. “Aku sudah menerima pernikahan ini, tidak perlu terlalu mendalami peranmu Zein. Ini hanya pernikahan perjodohan, bukan atas dasar cinta.” *** “Saya terima nikah dan kawinnya Zevanya Alsavarega Putri binti Rega Negara dengan mas kawin tersebut tunai.” Sah! Aku tidak pernah membayangkan dan mengharapkan hari ini. Lebih tepatnya orang yang mengucap lantang kalimat itu. Aku tidak pernah mengharapkan kehadiran Zein dalam hidupku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD