Terpaksa Bertunangan

1316 Words
Semalaman aku menangis mendapati kenyataan bahwa aku dijodohkan dengan Zein—lelaki yang tidak aku kenal. Ternyata pertemuan Ayah dan Ibu dengan sahabatnya membahas perihal keseriusan dua keluarga dan ingin mempertemukan aku dengan Zein. Ibu dan Ayah sama sekali tidak mendengar pendapatku, beliau mengatakan bahwa Zeinlah lelaki yang pantas untuk mendampingiku. Aku mendengar suara Ayah memanggilku, tapi aku memilih untuk tetap membalikkan badan memunggungi Ayah yang datang menghampiriku. “Kamu masih kesal?” “Marah, bukan kesal. Vanya marah, Yah.” Ayah mendekatiku yang tengah berbaring di atas kasurku dan mengelus lembut kepalaku. Ternyata ini alasan Ayah tidak mengizinkan aku berpacaran sedari dulu karena aku telah dijodohkan. “Vanya tidak mau menikah dengan lelaki yang tidak Vanya cintai, Yah.” Tidak ada alasan untuk tidak jatuh cinta pada Zein, seyakin itu Ayah. Ini mengimplikasikan bahwa Zein memiliki sifat atau kualitas yang sangat menarik sehingga sulit bagi siapa pun untuk tidak mencintainya. Sekarang mungkin belum, tapi aku akan menemukan jawaban setelah mengenalnya. Begitu lebih kurang yang Ayah sampaikan. *** Di sinilah aku sekarang—restoran Indonesia yang berada di Jepang bersama keluarga lelaki yang akan dijodohkan denganku. Aku membalas tatapan teduh di hadapanku dengan tatapan penuh kebencian. Zein, belum berkenalan saja aku sudah membencinya. Alih-alih menolak perjodohan kami, dia tanpa beban menerimanya. Saat kedua orang tua asyik berbicara sambil menyantap makanan, aku memberi isyarat pada Zein—mengajaknya bicara berdua di luar. “Kamu ingin kita bicara berdua di luar?” tanyanya dengan suara lantang mengartikan isyarat yang aku berikan. Aku mengeraskan rahangku dan membulatkan mataku ke arahnya, kesal melihat sikap lugunya. Suaranya yang lantang bahkan mengalihkan perhatian orang tua kami yang tadinya asyik bercerita. Papa mengizinkan aku bicara berdua dengan Zein dengan harapan kami dapat saling mengenal satu sama lain. Aku menuntun Zein ke taman samping restoran, tidak lupa aku menjaga jarak dengannya. Aku berbalik menatap wajahnya yang masih sama seperti tadi teduh dan menenangkan. Aku cepat menggelengkan kepalaku menyadarkan diriku agar tidak jatuh dalam pesonanya. “Saya sudah punya kekasih,” tegasku seraya membuang pandanganku ke arah lain. Aku menerjap saat dia tak kunjung menanggapi pernyataanku. Akhirnya aku memutuskan untuk menoleh ke arahnya. Lagi-lagi tatapannya tidak berubah, bahkan kali ini dia menatapku dengan tatapan memuja. Dia mengulurkan sebelah tangannya menyentuh rambutku. “Ada daun kecil,” lirihnya. Oh, ya, ampun, Zein! What the hell! Aku memejamkan mataku kesal dengan sikapnya yang lembut. Aku tersentak—membuka mataku saat dia mencubit gemas hidungku. Dia mensejajarkan wajah kami menatapku lekat. “Lalu, kenapa kalau kamu sudah punya kekasih, hm?” tanyanya seolah tahu keresahanku karena tadi dia tidak menanggapiku. “Ya, saya tidak mau dijodohkan dengan Anda,” tekanku padanya. Zein menyentuh pipiku dengan sebelah tangannya—mengusapnya lembut. “Kamu itu milikku, Zee,” jawabnya. Zee? Siapa Zee? *** Jakarta Rencanaku beristirahat di Jakarta sebelum wisuda pupus sudah. Tiga hari di Jakarta, aku belum bertemu dengan Radit. Kemarin kami berada di penerbangan yang sama menuju Jakarta, tapi hanya bertegur sapa seadanya. Padahal aslinya aku sangat merindukan kekasihku. Hari ini, aku melakukan penerbangan ke Singapura. Bukan untuk berlibur, bahkan sepanjang penerbangan menuju Singapura hati juga pikiranku risau tak menentu karena kesehatan Ayah yang tiba-tiba menurun. Aku dan Ibu membawa Ayah ke rumah sakit di Singapura untuk dilakukan penanganan lebih lanjut. *** Singpura “Jalan satu-satunya pemasangan ring jantung.” Ibu meremas tanganku sepanjang bercerita. “Zein sudah di sini, Yah. Nanti dia yang akan membantu kita mengurus semuanya,” lanjut Ibu. Telingaku memanas mendengar nama lelaki itu disebut. Pintu ruang perawatan Ayah terbuka dan sosok Zein masuk ke dalam ruangan. Dengan cepat aku melangkah dan mendorongnya keluar ruangan. “Kenapa Anda ikut campur urusan keluarga saya? Supaya orang tua saya berhutang budi pada Anda, begitu!” Dengan tatapan datarnya yang justru terlihat teduh, Zein mengangkat tangannya merapikan rambutku yang menutupi sedikit pandanganku, tapi dengan cepat aku menepisnya. “Jawab! Anda tidak perlu menjadi pahlawan kesiangan. Saya tidak butuh bantuan Anda! Pergi dari sini!” “Ini bukan waktu yang tepat untuk bersikap egois, Zee. Silahkan egois perihal perasaanmu, tapi jangan bermain-main dengan kesehatan ayahmu.” Pandanganku mengikuti tangan Zein yang meraih tanganku. Dia mengelus lembut punggung tanganku dengan ibu jarinya. “Enam bulan terakhir perusahaan Om Rega mengalami penurunan karena beliau kewalahan mengurus perusahaan sedangkan kesehatannya tidak mendukung.” Zein mengangkat pandangannya menatapku dan sebelah tangannya menyentuh pipiku mengusapnya lembut. “Aku merekomendasikan kerjasama perusahaan tempatku bekerja dengan perusahaan Om Rega. Doakan semua berjalan lancar, ya. Setelah wisuda segeralah kembali ke Indonesia, Zee. Sudah saatnya kamu membantu perusahaan ayahmu.” Aku mundur selangkah hingga tangan Zein tak dapat menyentuh pipiku, tapi sebelah tangannya menahan kuat agar aku tidak semakin menjauh. “Menikahlah denganku, Zee.” *** Setelah Ayah di operasi pemasangan ring pada jantungnya, sejak itu juga aku bagai sapi yang dicucuk hidungnya. Aku mengikuti semua keinginan Ayah. Satu minggu setelah Ayah dinyatakan pulih pasca operasi, aku dan Zein melangsungkan pertunangan di Singapura. Keluarga Zein dari Jepang datang ke Singapura khusus untuk pertunangan kami. Gurat kebahagiaan terpancar di wajah kedua keluarga, termasuk Zein, tapi tidak denganku. Semula kedua keluarga ingin langsung menikahkan kami, tapi aku menolak dengan alasan ingin menunggu wisudaku. Zein menerima keinginanku dan memberi pengertian pada kedua orang tua kami. Tidak tahu saja dia kalau aku mengulur waktu agar bisa terlepas darinya. “Di sini ada toko cokelat yang enak. Aku mau mengajakmu ke sana—” “Tidak mau!” Bukan satu dua kali Zein mencoba mengambil simpatiku, tapi aku tetap acuh padanya. Aku menghindar saat tahu dia akan membelai rambutku. Bukannya marah, dia malah tersenyum. Aneh. Batinku. *** Jakarta Kami semua sudah kembali ke Jakarta. Hari ini, aku meminta izin pada Ibu ingin bertemu dengan sahabatku, Siska. Saat tahu aku di Jakarta, dia sibuk bukan main ingin bertemu denganku. Hari ini kami akan nonton bersama, double date, gitu, deh. Aku sudah memberitahu Radit kesayanganku dan dia setuju. Ternyata Siska sama sepertiku, kami dijodohkan oleh orang tua dengan lelaki yang tidak kami kenal. Bedanya Siska dan Bara—lelaki yang dijodohkan dengannya manut-manut saja. Mereka bahkan cocok satu sama lain setelah berkenalan. “Double date apaan gini doang,” protesku pada Siska seraya mengerucutkan bibirku dan Siska terus meminta maaf padaku. Akhirnya kami harus berpisah setelah selesai nonton karena Bara harus bekerja. Bara adalah dokter magang yang baru saja menyematkan gelar dokter di depan namanya. “Sayang, masih merengut saja. Mau makan ramen, nggak?” tawar Radit padaku. Oh, tentu saja mau. Aku bahkan melonjak gembira memasuki restoran yang menyajikan berbagai jenis ramen. Aku menggoyangkan tubuhku saking enaknya ramen yang aku santap. Radit sampai menggeleng heran dengan tingkahku seraya mengusap lembut sudut bibirku dengan tisu. Asyik menikmati ramen tiba-tiba aku tersedak hingga terbatuk-batuk. Dengan cepat aku menerima minuman yang Radit berikan dan menegaknya hingga habis. Mataku menatap tajam lelaki yang duduk di sebelah sana. Sejak kapan dia di situ? Batinku. Aku meraih ponselku dan mengirim pesan kepada seseorang. Me : Pergi! Jangan merusak hariku! Belum sempat aku menyimpan ponselku, pesanku sudah berbalas. Penganggu : Aku tidak melakukan apa pun. Hanya duduk diam melihatmu, tidak boleh? Aku tidak lagi membalas pesan singkat tidak penting itu dan menatap tajam ke arah lelaki yang paling aku benci sedunia. Aku mengabaikannya, bergelayut manja di lengan kekasihku dan dihadiahi kecupan di keningku berkali-kali. “Oh, God!” Aku terkejut dan sedikit menjauh dari kesayanganku saat bajunya terkena tumpahan air dari gelas minuman miliknya. Mataku membulat melihat siapa yang melakukannya, Zein. Dia meminta maaf pada Radit mengatakan bahwa dia lalai. Lalai apanya? Dia pasti sengaja. Radit tak mempermasalahkan peristiwa ini dan memaafkan lelaki yang sudah berlalu itu. “Kamu ini terlalu baik, Sayang. Harusnya kamu langsung tonjok saja orang tadi,” kesalku saat membantunya membersihkan bajunya dengan tisu. “Galak banget. Dia tidak sengaja, Sayang. Lagi pula dia sudah meminta maaf,” belanya seraya tersenyum menenangkanku. Aku meraih ponselku saat mendengar notifikasi pesan singkat. Pengganggu : “Tidak boleh ada kecup-kecup, Zee.” Gila. Batinku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD