Penebus Hutang
Sebuah ruangan private di salah satu restoran mewah, tampak seorang laki-laki paruh baya bersimpuh di depan seorang laki-laki lainnya yang duduk dengan begitu angkuh dan dingin.
Peluh sudah membanjiri seluruh wajah dan tubuh sedikit gempalnya, membasahi pakaian kemeja kerja berwarna putih, menjiplak nyata. Tubuhnya gemetar ketakutan sebab harus dua kali berurusan dengan laki-laki di depannya.
"Waktu yang kamu janjikan pada Tuan Bram sudah habis. Sekarang, lunasi seluruh hutangmu itu atau penjara menjadi tempat terakhir kamu untuk tetap hidup?" seru Lian —anak buah laki-laki yang duduk di atas kursi, masih dengan pandangan dingin yang seolah membekukan seluruh ruangan.
Lian yang berdiri tepat di samping sang tuan, menatap penuh emosi kebencian di wajahnya.
"M—maaf, Tuan Bram, Tuan Lian. S—saya masih belum bisa melunasi semua hutang saya pada kalian. Uang yang saya kumpulkan masih belum cukup."
"Tak ada alasan! Kalau kamu memang tidak bisa membayarnya hari ini, sekarang juga ikut kami untuk berurusan dengan pihak kepolisian."
Laki-laki paruh baya yang bernama Anton itu semakin gemetar ketakutan. Menatap ke arah Lian, laki-laki yang terlihat tampan dan gagah dengan setelan jas-nya berwarna hitam.
Bukan itu saja yang membuat Anton ketakutan, beberapa pria berpenampilan sama dengan tubuh tinggi besar, menatap ke arahnya dengan pandangan lapar. Seolah ia adalah mangsa yang siap mereka cincang hidup-hidup.
Jangan ceritakan sosok lelaki yang masih diam duduk dengan angkuhnya di sana. Tanpa perlu Anton menatapnya, sudah terasa pandangan mata itu menghujam jantungnya.
Bramantyo nama laki-laki angkuh tersebut. Bram, biasa ia dipanggil oleh anak buah dan para pegawainya, adalah sosok laki-laki berusia empat puluh tahun. Seorang duda tanpa anak, yang masih terlihat tampan dan gagah di usianya yang sangat matang.
"T—tuan, b—bagaimana jika saya memberikan Anda jaminan sampai saya bisa melunasi hutang-hutang saya pada Anda?" Anton sedikit memberanikan diri dengan mengangkat sedikit wajahnya dan menatap ke arah Bram.
"Memang apa yang hendak kamu jaminkan kepada Tuan Bram sedang kamu sendiri sudah tidak memiliki apa-apa untuk membayar semua hutangmu?" tanya Lian.
"Perempuan! Seorang perempuan akan aku berikan kepada Anda sebagai jaminannya."
"Heuh! Apa kamu pikir Tuan Bram kekurangan wanita sampai kamu menawarkannya, Anton?" seru Lian penuh emosi.
Percakapan kedua orang itu hanya disimak dengan pandangan mata tajam dari Bram. Laki-laki itu sama sekali tak bicara atau pun menyela. Membuat Anton menciut sebab permintaannya seolah hanya omong kosong dan kesia-siaan belaka.
"Maaf, Tuan Lian, tetapi hanya inilah kiranya yang saya bisa tawarkan kepada Tuan Bram. Saya sama sekali tidak berniat menyinggung perasaan Anda, tetapi kiranya tolong berikanlah saya kelonggaran lagi selama beberapa bulan ke depan supaya bisa melunasi uang lima ratus juta tersebut."
"Memang siapa perempuan yang hendak kamu tawarkan sebagai jaminan kepada saya?" Akhirnya Bram bersuara.
Secercah harapan biar bisa terbebas dari jerat penjara, membuat wajah Anton sedikit menampakkan kelegaan.
"Namanya Dara, dia istri saya, Tuan."
"Apa!" pekik Lian demi mendengar perkataan Anton yang seolah mengejek tuannya.
"Iya, Tuan Lian, saya menyerahkan istri saya sebagai jaminan."
"Apakah kamu sudah gila, Anton? Kamu pikir siapa Tuan Bram, sampai kamu dengan lancang dan berani menghina beliau? Apakah kamu menyerahkan istrimu yang tua itu hanya untuk dijadikan pajangan atau pembantu di istana Tuan Bram?"
"T—tapi, Tuan Lian. Kiranya Tuan Bram bisa melihat dulu istri saya itu. Kalau Anda memang tidak setuju, saya akan rela ikut Anda ke kantor polisi dan mempertanggung jawabkan semuanya."
"Tak perlu!" sentak Lian tegas.
"Memang seperti apa wajah istrimu itu, dengan penuh percaya diri tinggi kamu berani menawarkannya kepada saya?"
Lian menatap heran Bram. Namun, itu semua bukanlah wewenang dan haknya. Semua keputusan ada di tangan sang tuan. Membiarkan lelaki paruh baya di depan mereka bergerak merogoh saku celananya, dan mengutak-atik sebentar layar ponsel di tangan, kemudian menyerahkan ponselnya ke depan.
"Ini istri saya, Tuan. Namanya Dara. Usianya baru dua puluh tahun."
Lian mengambil ponsel itu untuk kemudian menyerahkannya pada Bram. Sebelumnya ia dulu yang melihat sebentar sebelum memindahkan ponsel itu ke tangan sang tuan. Sempat terkejut atas apa yang dilihatnya di layar terang tadi, tetapi kemudian bisa menormalkan kondisinya semula.
"Silakan, Tuan!" ucap Lian sembari menyerahkan ponsel Anton kepada Bram.
Laki-laki itu pun menerima ponsel dari tangan Lian, tanpa menatap wajah sang anak buah, tetapi memilih tetap menatap tajam wajah Anton.
Sesaat kedua mata Bram teralihkan ke arah layar terang yang berasal dari ponsel milik Anton. Ada gerakan mata yang berbeda, tetapi tak diketahui oleh siapa pun yang ada di ruangan itu.
Setelahnya, Bram melempar ponsel itu tepat ke depan Anton yang masih duduk bersimpuh dengan kepala yang tertunduk.
"Ceraikan perempuan itu sekarang! Aku beri waktu empat bulan ke depan untuk kamu melunasi hutang-hutangmu. Jika setelah empat bulan nanti kamu masih tidak bisa melunasi semuanya maka istrimu akan menjadi milikku."
Laki-laki itu kemudian beranjak dari duduknya. Tanpa berkata apa pun lagi, ia pergi dari ruangan itu disusul oleh Lian dan seluruh pengawalnya. Meninggalkan Anton, yang terlihat lega seolah bebas untuk sementara waktu.
"Syukurlah!" ucapnya sembari tersenyum kaku. Campuran antara senang dan juga sisa ketakutan yang masih tampak di wajahnya.
***
Sedang di sebuah rumah berukuran minimalis, terlihat seorang perempuan yang ketakutan sebab di datangi oleh beberapa pria yang berpenampilan menyeramkan —menurutnya.
Ia yang sedang sendiri di rumah itu, tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu kedatangan suaminya yang sebentar lagi katanya akan tiba.
Para pria itu tidak ada yang berlaku kasar atau pun kurang ajar, mereka diam di posisinya masing-masing dengan pandangan lurus ke depan. Ada yang duduk di bangku, ada juga yang berdiri dekat pintu.
Perempuan itu sendiri enggan menemani. Ia memilih bersiaga di area ruang makan, tak ingin mendekat. Tubuh yang gemetar ketakutan, membuat ia tak ingin bersikap macan-macam.
Dara nama perempuan itu. Rumah yang didatangi oleh rombongan pria itu, adalah milik Anton, suami yang baru tiga bulan menikahinya.
Terdiam dalam kesendirian dan juga rasa takut, ia akhirnya bisa bernapas lega manakala sang suami datang.
Perempuan itu berjalan cepat melewati para pria bertubuh kekar di dalam rumahnya untuk menghampiri sang suami.
"Pak Anton, mereka sudah menunggu Anda sejak tadi." Dara langsung melapor begitu berhadapan dengan suaminya.
"Aku sudah tahu!" jawab Anton, yang memang sudah mengetahui keberadaan sosok para pria tersebut di kediamannya.
Ya, Anton tahu jika para pria itu adalah orang-orang suruhan Bramantyo, laki-laki yang tadi menyetujui istrinya untuk dijadikan jaminan hutang.
Tanpa bicara banyak, Anton berjalan masuk ke dalam rumahnya dan menemui salah satu orang suruhan Bram, yang duduk di salah satu sofa.
"Selamat malam, Pak Anton. Mungkin Anda sudah tahu tujuan kedatangan kami ke rumah ini."
"Ya aku tahu."
"Jadi, langsung saja tanpa berlama-lama, sebab Tuan Bram sudah menunggu tamu istimewanya ada di kediamannya sekarang."
Anton yang lebih memilih nyawanya yang berharga dibanding sosok sang istri, menatap wajah perempuan itu dan mengatakan hal yang membuat perempuan itu seolah tersambar petir.
"Dara, mulai hari ini kamu bukan lagi istriku. Aku menceraikan kamu saat ini juga. Lalu, aku juga meminta maaf padamu, sebab kamu harus ikut bersama mereka dan tinggal bersama dengan Tuan Bram, laki-laki yang mau menerima kamu sebagai jaminan atas hutangku yang banyak padanya."
"Apa?" pekik Dara terkejut.
Perempuan itu sungguh tidak terima dengan informasi yang baru saja ia dengar.
"Pak Anton, Anda ini bicara apa? Ini semua bohong bukan?" teriak Dara yang kembali ketakutan.
"Aku tidak bohong. Kamu sudah aku jadikan jaminan semua hutangku sampai waktu empat bulan ke depan."
"Tidak! Anda bohong 'kan, Pak?"
"Maaf, Pak Anton. Kami tidak bisa berlama-lama lagi. Istri Anda sudah harus kami bawa sekarang." Seorang pria yang sejak mula bicara, beranjak dari duduknya.
"Tidak! Pak Anton, tolong katakan ini semua tidak benar. Tolong!" Dara terlihat semakin panik. Ia sangat ketakutan ketika melihat para pria itu mulai merangsek mendekatinya.
"Dara, ini semua benar. Mulai malam ini kamu akan tinggal di kediaman Tuan Bram."
"Tidak!" teriak Dara, ketika salah satu tangan pria itu menyentuhnya.
"Jangan kasar! Ingat pesan Tuan Bram!" seru pria tadi pada temannya.
"Tuan, aku mohon tolong aku!" lirih Dara berkata pada suaminya
Pura-pura tak mendengar, Anton meminta para pria itu untuk segera membawa Dara. Tanpa rasa bersalah atau pun bersedih, lelaki paruh baya itu malah masuk ke dalam, meninggalkan sang istri yang terus berteriak memohon untuk tidak dibawa.
"Pak Anton! Aku hanya empat bulan saja 'kan? Setelah empat bulan, aku bisa bebas bukan?" teriak Dara, yang kini sudah berada di dalam genggaman para pria itu dengan tubuh yang terus meronta. Air mata sudah mengalir sejak tadi, membuat wajahnya terlihat sembab dan memerah.
"Kami mohon pengertian Anda, Nona. Biarkan kami melakukan pekerjaan ini tanpa melukai Anda." Pria itu kembali berbicara.
"Bagaimana mungkin saya mau dibawa oleh kalian semua dengan sukarela. Lepaskan saya! Saya mohon!"
Namun, suara perempuan itu menghilang setelah salah satu pria yang memegangnya, membekap mulutnya dengan kain yang sudah diberi obat bius berdosis rendah.
"Cepat bawa masuk ke dalam mobil! Jangan sampai Tuan Bram menunggu kita terlalu lama."
Satu buah mobil sedan dan satu lainnya berupa minibus, meninggalkan kediaman Anton, diiringi seringai jahat yang tersungging di bibir lelaki itu.
"Aku bebas! Hahaha!"
***