Benar kata Sekar, resepsi ini memang perlu kekuatan ekstra, karena banyaknya tamu yang mengular antri untuk bersalaman.
Semua tamu sepertinya merasa heran karena mempelai wanita, bukanlah orang yang sama dengan yang ada di undangan yang mereka terima.
Tapi sepertinya mereka enggan untuk bertanya langsung kepada yang punya acara.
Satria selalu menatap Siti tiap ada kesempatan, ia yakin orang tidak akan menduga kalau Siti lebih tua darinya.
Selain tubuhnya yang mungil juga wajahnya yang imut membuatnya terlihat awet muda.
Siti sendiri tidak pernah membayangkan akan menikah dengan acara yang luar biasa mewah seperti ini.
Tapi ia sadar ini sebenarnya dipersiapkan untuk Mila bukan untuknya, tapi sayangnya Mila memilih meninggalkan semuanya.
Usai resepsi Satria, dan Siti pulang ke rumah Sakti seperti yang sudah disepakati kedua keluarga, saat perencanaan akad nikah, dan resepsi.
Begitu masuk kamar, Satria langsung membanting tubuhnya di atas tempat tidur.
"Ya Allah lelahnya. Cukup sekali saja aku menikah ya Allah, ini hal paling melelahkan yang pernah kurasakan seumur hidupku, hhhh ...." keluhnya.
"Jangan mengeluh," kata Siti ketus.
"Bagaimana aku tidak mengeluh, tenaga serasa habis, padahal kita cuma berdiri menyalami tamu, kalau tenaga habis, dan badan pegal semua begini bagaimana kita bisa bermalam pertama."
"Kita?! Kamu saja bermalam pertama sendirian."
Satria bangun dari rebah, ia melepaskan baju pengantinnya.
"Mana ada malam pertama nggak ada lawannya, masa harus sama guling."
"Bagus juga malam pertama sama guling, biar beda sama orang lain."
"Kalau gulingnya Mbak, Aku baru mau." Satria mendekap erat Siti dari belakang.
Pipi Siti merah, apa lagi terlihat jelas pantulan tubuh mereka di cermin.
"Bisa nggak jangan nempel-nempel, gerah banget tahu!" Siti melepaskan dirinya dari pelukan Satria.
"Ooh gerah ya? Sini, aku bantu buka bajunya Mbak, kalau Mbak gerah." tangan Satria sudah meraih restleting di punggung Siti.
"Enggak usah! Aku bisa buka sendiri, minggir!" Siti mendorong tubuh Satria pelan.
"Ya ampun, Mbak Siti ternyata bisa galak juga ya?" goda Satria.
"Mbak ... Mbak ... jangan ... panggil aku Mbak!" Sergah Siti.
"Terus, Aku harus panggil apa? Kakak, dek, ayang, honey, baby, atau apa?" tanya Satria sambil berjalan memutari Siti.
"Ahh ... terserahmu lah, Bang bule!" Siti ingin melangkah ke kamar mandi ketika ponselnya berbunyi.
"Assalamuallaikum, Nini."
"...."
"Inggih langkar banar pengantennya."
(Iya, cantik, dan ganteng pengantennya)
"...."
"Inggih lakinya langkar banar, pas haja wan Milanya, Ni ai".
(Iya suaminya ganteng sekali, cocok dengan Mila, Nek).
"...."
"Inggih kamarian isuk Ulun bulik, Ni."
(Iya besok sore Saya pulang, Nek).
"...."
"Inggih waalaikumsalam, Ni."
Siti menutup telponnya.
"Makasih ya atas pujiannya." Satria sudah berdiri di belakang Siti, dan berbisik di telinganya.
"Pujian apa? Jangan sok tahu, ya?"
"Jangan galak-galak pang, Ading Sayang."
Siti mengernyitkan kening, dan menyipitkan mata.
Dipandangnya wajah Satria.
"Bang bule bisa bahasa Banjar?" tanya Siti terkejut.
"Sadikit-sadikit paham ai."
"Belajar di mana?"
"Waktu kuliah di luar negeri, aku punya teman orang Banjar."
"Kenapa tidak bilang?"
"Ading kada betakun pang?"
(Adik tidak bertanya).
"Aku mau mandi dulu." Siti masuk ke kamar mandi.
"Mau dimandiin?" tanya Satria.
Siti tidak menjawab, tapi bantingan pintu sebagai jawabannya.
Satria menyelesaikan melepas pakaian pengantinnya.
Diambilnya celana pendek dari dalam lemari, hanya memakai celana pendek tanpa baju, Satria menggedor pintu kamar mandi.
"Cepetan, Mbak, aku kebelet nih."
"Tapi aku belum selesai," jawab Siti dari dalam.
"Tapi aku sudah nggak tahan lagi nih, mau kencing ... bukain sebentar aja."
Pintu kamar mandi terbuka, Satria masuk ke dalam.
Siti berdiri dengan punggung menempel di dinding, tubuhnya ditutup dengan kain batik yang tadi dipakainya saat resepsi.
Rambut hitam nya yang tertutup handuk terlihat basah, wajahnya menunduk dalam, tangannya erat mencengkram ujung kainnya.
Satria mendekatinya, ia mengambil handuk yang menutupi kepala juga bahu Siti.
"Jangan dilep ... hmmmmppp ..." Satria tidak memberi kesempatan Siti untuk protes.
Bibirnya sudah menenggelamkan suara Siti.
Siti jadi bingung sendiri, memukul Satria, itu artinya melepas ujung kainnya, tidak dipukul, kesannya ia pasrah pada maunya bule songong ini.
"Tidak usah malu untuk mengakui, kalau kamu suka aku cium Adindaku Sayang," bisik Satria.
Siti tertawa tanpa dapat ditahan mendengar panggilan Satria kepadanya.
"Kenapa tertawa?" tanya Satria heran.
"Berasa denger dialog orang mamanda," jawabnya.
"Mamanda seni theater khas Banjar?" tanya Satria.
Siti mengangkat wajahnya menatap kaget ke arah Satria.
"Bang Bule tahu mamanda?"
"Aku kan sudah bilang, aku punya teman orang Banjar."
"Ooh iya lupa, lepasin ... tadi katanya kebelet mau kencing." Siti mendorong Satria agar menjauhinya.
"Kencingnya batal, aku jadi kebelet pengen malam pertama setelah melihatmu seperti ini." Satria melepaskan tangan Siti yang mencengkram ujung kainnya.
Siti bertahan tak mau melepaskannya.
"Tidak mau melayani suami itu dosa loh," bisik Satria tepat di telinga Siti.
"Tapi ...."
"Jangan bilang aku bukan suamimu."
"Bukan begitu, tapi ini terlalu cepat, kita baru bertemu hari ini, masa ...."
"Lebih cepat lebih baik, kan."
"Tapi ...."
"Tidak ada tapi, seharusnya kamu berpikir sebelum akad nikah terjadi. Sekarang aku tidak akan membiarkanmu meninggalkanku. Aku ingin meminta hakku sebagai suamimu."
"Tapi ...."
"Berhentilah berkata tapi, ini sudah terjadi, semuanya sudah dimulai dari akad nikah pagi tadi, sekarang saatnya kita memulai menjalankan apa yang jadi hak, dan kewajiban kita sebagai suami, dan istri, ini sudah jadi takdir kita, dan harus kita terima dengan lapang d**a, iya kan Adindaku Sayang?"
Siti menatap lekat wajah Satria.
Entah mengapa kata-kata yang diucapkan Satria seperti memberinya kedamaian, harapan, dan sebuah masa depan yang diimpikan semua wanita.
'Bule songong ini ternyata bisa juga berbicara serius seperti ini.'
"Mandilah, lalu bersiap-siap ... buat dirimu sewangi, dan secantik mungkin, agar malam pertama kita jadi malam yang takkan terlupakan, sepanjang hidup kita." Satria melepaskan tangannya dari tubuh Siti, lalu ke luar dari kamar mandi.
Siti masih termangu di tempatnya.
'Malam pertama dengan pria yang baru kukenal pagi tadi ... wajarkah?
Tapi kami sudah menikah ... halal untuk saling menyentuh ....
Aakhh ... yang terjadi biarlah terjadi, benar kata bule songong itu, yang terjadi hari ini adalah takdir Illahi.'
Siti menyelesaikan mandinya, saat ia ingin keluar kamar mandi, diintipnya dulu keadaan kamar, setelah yakin Satria tidak ada di dalam kamar, baru ia ke luar, dan langsung mengenakan bajunya.
Dibaringkan tubuh lelahnya di atas tempat tidur, kantuk terasa begitu cepat menyergap matanya, Siti tak dapat lagi menahan agar ia tetap terjaga.
Siti akhirnya tertidur tanpa sempat bermalam pertama seperti keinginan Satria.
Setelah mandi di kamar mandi kamar tidur sebelah, Satria sempat ngobrol dulu dengan ayah bundanya sebentar, baru kembali ke kamarnya.
Saat masuk kamar, dilihatnya Siti sudah terlelap dengan nyenyak, di bawah selimut yang menutup tubuhnya dari d**a sampai kekakinya.
'Hhhhh ... gagal malam pertamaku, tidak tega rasanya membangunkannya.'
Satria menundukan kepalanya, dikecupnya sekilas bibir Siti.
"Selamat tidur, Ading bungas, mimpikan aku lah," bisik Satria.
(Ading bungas= adik cantik).
Satria masuk ke dalam selimut yang sama dengan Siti, dibawanya Siti ke dalam dekapannya.
'Hhhh ... mungkin aku gila, karena tidak terlihat terluka ditinggalkan calon istriku di saat hari pernikahanku.
Tapi mereka tak tahu apa yang aku rasakan.
Hatiku sebenarnya terluka, tapi aku bersyukur, karena lukaku cepat sembuh juga.
Apa lagi obat lukanya seperti dia, dia yang membuat aku jatuh cinta pada pandang pertama hingga cintaku pada Mila menguap entah kemana.'
***
BERSAMBUNG
500 Komen