5. Aku Kekasihmu

1222 Words
Pada hari berikutnya, Grize bersiap pergi ke kantor. Data maupun berkas tentangnya yang tersisa di perusahaan milik Theo sudah bukan urusannya lagi. Bagusnya dia tidak memiliki hal penting lagi di sana. Harusnya ini adalah hari libur, tetapi mau bagaimana lagi, Grize tidak mungkin menolak perintah atasannya, kan? Ngomong-ngomong Anya tidak pernah mengetahui masalah ini. Jika tahu, mungkin wanita itu akan marah dan kecewa padanya. Grize keluar dari kamar, tiba-tiba dia menerima satu pesan dari ayahnya. "Putriku, jangan lupa 6 hari lagi," ucap Grize sambil menirukan nada bicara ayahnya. Setelah itu dia menghela napas panjang. Ini adalah hari yang cukup bagus. Matahari bersinar cerah, langit hanya memiliki sedikit awan dan .... Sayang sekali pesan dari Heri itu sungguh membuat suasana hati Grize menjadi sedikit buruk. Sabar, sabar. Grize mengusap dadanya sendiri. Lagi pula dia sudah menemukan Dave, pria misterius yang akan menjadi pacar pura-puranya. "Maafkan Grize, Yah. Kali ini Grize akan berbohong," gumamnya. Kemudian dia pun segera membalas pesan itu dengan percaya diri. Grize : “Tunggu saja, sebentar lagi Grize akan menunjukkan calon menantu untuk Ayah. Tidak tanggung-tanggung. Ayah pasti akan tercengang.” Grize mencebikkan bibirnya. Kemudian dia menyambar tas dan berlalu pergi. Sebelum benar-benar meninggalkan apartemen, Grize menemui penjaga apartemen untuk mengadukan keluhannya. "Mohon maaf, Non. Kami benar-benar tidak tahu mengenai kejadian itu," ucap pria paruh baya yang mengenakan seragam security. Dia merasa tidak enak hati pada Grize. "Lain kali tolong lebih hati-hati, ya, Pak. Saya tidak mau ada kejadian seperti ini lagi," tegas Grize yang setelahnya langsung pergi. Menyebalkan sekali. Grize memacu mobilnya dengan cukup cepat. Tanpa mampir ke mana-mana dia langsung berangkat ke kantor. Hanya dalam waktu 20 menit Grize sudah sampai di rubanah gedung yang lebih besar dari kantor si Theo itu. Sudah lama sejak Grize meninggalkan gedung ini. Rasanya sedikit rindu. Sejauh yang dia lihat, semuanya masih terlihat sama. Tidak tahu bagaimana bagian dalamnya. Setelah memarkirkan mobil dengan benar, Grize pun langsung memasuki lift dan memencet nomor lantai yang di tuju. Setelah keluar dari kotak lift, Grize langsung disuguhkan dengan pemandangan kantor yang cukup sepi. Maklum, ini bukan jam kerja. Meskipun akhir pekan, tetapi ada beberapa orang juga yang mungkin memiliki urusan lain. Kebetulan ada orang yang melihat Grize, dia adalah Anggun. Orang yang sudah bekerja di sana cukup lama. "Grize, kau ... kenapa kau ada di sini?" tanya Anggun yang masih terkejut. Dia hanya tahu kalau Grize pindah ke cabang lain, tentu saja kemunculannya di sana sungguh tidak terduga. "Kenapa? Tentu saja aku akan kembali lagi ke sini," ucap Grize, senyum lebar muncul di bibirnya. Anggun akhirnya mengangguk meskipun masih merasa tidak yakin. "Kalau begitu selamat datang kembali. Aku harus pergi sekarang," ucapnya. Grize mengangguk pelan. Sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan oleh penggosip itu. Paling-paling pergi menemui karyawan lain untuk mempertanyakan kebenarannya. Sungguh, orang-orang di sana hampir semuanya bisa ditebak oleh Grize. Membosankan. Dia sendiri melenggang pergi naik ke lantai atas untuk melihat bagaimana keadaan tempat yang sudah lama dia tinggalkan. Sesaat kemudian dia pun sampai di ruangan yang berisi beberapa meja kerja. Ada dua meja yang terpisah cukup jauh. Letak meja itu berada di dekat pintu cokelat besar yang tertutup rapat. Itu adalah meja kerja miliknya dan juga sekretaris Edward Alison. Grize menatap pintu tertutup yang besar. Pak Edward mungkin tidak akan berada di sana lagi. Dia pikir kedatangan putranya itu pasti untuk menggantikan posisinya yang sudah tua. "Aku tidak peduli asal aku tidak diusir dari sini," gumam Grize. Dia melihat ke sekeliling lagi dan menyadari bahwa tidak ada hal-hal yang berubah. Semuanya benar-benar sama. Setelah beberapa saat, Grize akhirnya turun lagi ke bawah. Sepertinya waktunya hampir tiba. Putra Pak Edward itu mungkin akan segera sampai. Setibanya di bawah, Grize menunggu di kursi tunggu yang ada di lobi. Seperti yang orang katakan, menunggu adalah sesuatu yang menyebalkan. Untuk mengatasi kebosanannya, Grize pun membuka ponsel. Sempat terpikir olehnya untuk mencoba menghubungi pria bernama Dave. Namun, sepertinya dia tidak harus terburu-buru. Masih ada waktu sebelum harus membawa pria itu kepada ayahnya. Saat Grize sedikit melamun, tiba-tiba sebuah mobil hitam berhenti tepat sebelum pintu masuk. Grize segera menyimpan ponselnya lalu merapikan penampilannya. Setelah itu dia segera berlari keluar untuk menyambut seseorang yang sudah ditunggu sejak tadi. Jantung Grize berdetak sedikit lebih cepat. Dia berdiri di depan pintu masuk untuk menunggu seseorang keluar dari mobil yang berhenti itu. Namun, hingga beberapa saat masih belum ada pergerakan apa pun. Grize menjadi bertanya-tanya. Apakah ada kesalahan? Pada saat itu tiba-tiba klakson mobil dibunyikan yang seolah menyuruhnya untuk mendekat. Itu benar-benar situasi yang canggung. Daripada lama akhirnya Grize mendekati pintu belakang dan membukanya perlahan. Dia masih belum bisa melihat seperti apa orang yang duduk di dalam karena kaca mobil itu terlalu gelap. Akhirnya dia menunduk, menunggu sampai satu kaki dengan sepatu berkulit hitam mendarat di lantai. "Lambat." Deg. Kali ini jantung Grize seolah berhenti. Dia langsung mendongak dan menatap pada seorang pria yang keluar dari mobil. Astaga! Ini benar-benar sebuah kebetulan yang sedikit tidak mungkin. Siapa yang tahu bahwa seorang Dave akan muncul di sini. Tuhan, apakah pria itu adalah putra satu-satunya Pak Edward? Ucapan selamat pagi yang sudah sampai di tenggorokan Grize langsung tertahan seketika. Sedikit sangsi untuk mengucapkannya. Dave menatap Grize yang terdiam. Dia tidak terkejut karena pagi ini dia sudah menemukan informasi mengenai wanita yang satu ini. Siapa yang menyangka ternyata Grize tidak jauh-jauh adalah Personal Assisten ayahnya sendiri! Ini benar-benar hal yang bagus. Dave menutup pintu mobil hingga membuat Grize merasa siaga. Kemudian dia berlalu masuk ke dalam gedung. Wanita itu terlihat sedikit kesal, sepertinya. Namun, cukup toleransi juga untuk langsung mengikutinya. Diam-diam Grize merutuk dalam hati. Kemungkinan besar dia akan sering bertemu dengan pria dingin itu. Entah ini adalah sebuah berkat atau bencana. Semoga saja tidak ada kesulitan dihadapinya. Grize mengikuti Dave masuk ke dalam lift. Jika ini merupakan jam kerja pasti kedatangan mereka akan menciptakan banyak keributan. Tidak tahu bagaimana nanti di hari Senin. Berharap saja semoga wanita-wanita yang bekerja di sana tidak akan begitu histeris jika melihat ketampanan Dave. Hening. Di dalam ruangan lift yang terbatas itu tidak ada yang membuka suara. Pada dasarnya Dave memang tidak banyak bicara. Sedangkan, Grize masih tidak mau memulai pembicaraan. Tidak peduli jika Dave akan menilainya sebagai bawahan yang tidak sopan. Mereka terdiam sampai tiba di lantai tujuan. Dave langsung keluar diikuti oleh Grize. Secara tiba-tiba Dave menghentikan langkahnya. Beruntung Grize berhenti tepat waktu. Jika tidak, mungkin dia sudah menubruk punggung Dave. "Ada apa?" Secara refleks Grize melontarkan pertanyaan. Dave berbalik dan menatap Grize lekat-lekat. Dia sedikit membungkuk lalu tepat di telinga Grize dia mulai berbisik, "Ingat, aku adalah kekasihmu." Kedua mata Grize sedikit melebar. Dia menatap wajah Dave yang berjarak hanya beberapa senti darinya. Entah kenapa perasaannya menjadi gugup. Bukan, bukan karena Grize menyukai pria itu. Lebih tepatnya, dia tidak tahu apa yang akan dilakukan Dave padanya. "Itu ... tidak berlaku untuk sekarang," ucapnya sedikit tersendat. Dia berusaha bersikap formal di depan Dave. Bagaimanapun juga mereka adalah atasan dan bawahan. "Aku tidak peduli." Dave menyeringai samar lalu membelai pipi kanan Grize yang terasa begitu halus di tangannya. "Itu berarti aku bisa memperlakukanmu sebagaimana seorang pria memperlakukan kekasihnya," lanjut Dave. Kedua tangan Grize mengepal. Perasaannya menjadi lebih tegang dari sebelumnya. "Sepertinya aku sudah memilih orang yang salah," lirihnya. Belaian tangan Dave berhenti di dagu Grize lalu sedikit mencengkeramnya di sana. Salah satu sudut bibirnya sedikit terangkat. "Bukankah aku sudah mengatakannya kemarin? Jangan pernah menyesal dengan keputusanmu, Grize."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD