"Apa!?" Mata Aryan melotot kesal.
"Kenapa? Apa Bapak pikir, sumpah orang udik seperti saya tidak berlaku? Bapak sudah mendzalimi saya dengan hinaan Bapak. Jadi ...."
"Stop, tutup mulutmu. Sakit telingaku mendengar suaramu!" Aryan mengangkat satu telapak tangannya. Suara Nysa terasa memekakkan telinganya
"Makanya, jangan memicu perdebatan dengan saya. Saya ini juara debat ...."
"Stop!"
Suara Aryan lebih keras dari tadi. Nysa menolehkan kepala untuk menatap wajah Aryan, tepat saat Aryan tengah menoleh ke arahnya.
Nysa membuang pandang, ia mengalihkan tatapan ke luar jendela, dinikmati pemandangan yang mereka lewati.
'Rem bicaramu, Nysa, rem. Dia bukan temanmu di kampung,' batinnya mengingatkan, kalau yang ia ajak bicara, adalah orang yang baru ia kenal, bukan orang yang sudah tahu bagaimana sifatnya.
Tidak ada lagi yang bicara di antara mereka. Nysa sibuk dengan pemandangan belantara Jakarta. Aryan sibuk berkonsentrasi menyetir.
Sampai Aryan memarkir mobilnya, baru Nysa menegakan tubuh.
"Ke luar, kita sudah sampai," perintah Aryan dengan nada keras.
Nysa membuka pintu dengan hati menggerutu.
'Tidak gentleman ini orang, harusnya dia yang membukakan pintu. Ya ampun Nysa ... siapa kamu, ingin dibukakan pintu segala. Ingat siapa dirimu. Iya, aku ingat!' Nysa menggerutu di dalam hati
"Hey, kenapa cuma berdiri di situ!"
Aryan yang sudah melangkah menjauhi mobil berhenti, karena merasa Nysa tidak mengikuti langkahnya.
"Oh ... maaf."
Nysa segera mendekati Aryan, untuk memasuki bangunan bertuliskan Rumah Mode Annaya Aradia.
"Ini punya perancang terkenal itu ya? Yang sering merancang busana pengantin artis." Tanya Nysa pemasaran.
"Diamlah! Suaramu tidak diperlukan di sini." Sergah Aryan ketus.
Nysa langsung mengatupkan bibir. Suara Aryan yang terdengar tegas, dan ketus cukup mampu menciutkan nyalinya.
"Selamat pagi, Mas Aryan. Bunda Dia sudah menunggu di dalam."
Seorang wanita cantik menyambut kedatangan mereka.
"Selamat pagi, terima kasih."
Aryan, dan Nysa mengikuti langkah wanita itu, mereka masuk lebih ke dalam. Wanita itu membuka satu pintu.
"Bunda, Mas Aryan sudah datang." Wanita itu memberitahu kedatangan Aryan, dan Nysa pada wanita yang dipanggil Bunda Dia.
"Selamat pagi, Bunda."
Aryan menyapa sambil menjabat tangan wanita usia lima puluhan yang lebih dulu mengulurkan tangannya.
"Selamat pagi. Ini Nysa, karena Andin mengirim fotomu baru kemarin, jadi aku carikan model sederhana saja, biar gampang kalau harus ada yang dirubah. Silakan, kamu bisa pilih, ada tiga yang bisa kamu pilih. Untuk busana Aryan tinggal mengikuti pilihanmu saja. Bukan begitu, Aryan?" Tanya Bunda Dia pada Aryan.
"Iya, Bunda."
Aryan menganggukkan kepala. Rumah mode Annaya Aradia memang sudah menjadi langganan keluarga Bakrijaya sejak lama.
"Coba saja ketiganya, bawa ke depanku, biar aku membantumu memilih." Perintah Aryan.
Aryan duduk di sofa.
"Bantu Nysa mencoba gaun pengantinnya, Erna." Bunda Dia memanggil asistennya.
"Mari, Mbak Nysa."
Nysa mengikuti langkah Erna. Ia tak bisa bersuara, semua terasa tak nyata baginya. Bisa bertemu dengan perancang busana ternama, langganan para artis terkenal.
"Gadis yang cantik. Mas Hanan pintar mencarikan istri untukmu."
"Gadis kampung, aku tidak tahu kenapa Mas Hanan memilih dia. Tidak jelas asal usulnya."
Bunda Dia tersenyum mendengar ucapan Aryan. Sejak lama ia sudah mengenal keluarga Bakrijaya. Ibu Aryan adalah teman Bunda Dia.
"Bunda juga berasal dari kampung, Aryan. Sama seperti dia."
"Ehm ... maaf, Bunda. Tapi, orang pasti akan mencemooh, setelah aku melepas Rosa, dapat ganti hanya seperti dia."
"Dia cantik, masih polos, kalau sudah tahu perawatan, cantiknya bisa melebihi Rosa. Rosa juga berasal dari kampung, iya'kan?"
Aryan tidak bicara lagi. Apa yang dikatakan Bunda Dia memang benar. Orang tua Rosa berasal dari kampung, mantan lurah di kampungnya, lalu pindah ke Jakarta, mengikuti kakak Rosa yang sukses sebagai pengusaha.
"Kamu cantik sekali!"
Aryan terperanjat mendengar seruan Bunda Dia. Spontan ia juga berdiri mengikuti Bunda Dia. Aryan menatap Nysa yang berdiri di hadapannya. Aryan harus mengakui, Nysa memang tampak berbeda, padahal wajahnya belum dipoles.
"Bagaimana, Aryan?"
"Aku rasa, dia harus mencoba semua dulu, baru aku bisa memutuskan."
"Tentu saja, bantu Nysa mengganti gaunnya."
"Baik, Bunda."
Erna membimbing Nysa masuk ke dalam, untuk mencoba gaun yang lainnya.
Dua gaun lagi dicoba Nysa. Aryan menjatuhkan pilihan pada gaun yang pertama. Sementara menunggu Bunda Dia meneliti bagian mana yang harus dirubah pada gaun Nysa. Aryan mencoba busana pengantin untuknya yang cocok dengan gaun Nysa. Tidak ada yang perlu dirubah pada busana Aryan, karena tubuhnya memang sudah bak peragawan.
Semuanya sudah selesai. Mereka berpamitan pada Bunda Dia, dan Erna.
Di dalam mobil menuju pulang.
"Kita ke kantorku dulu. Aku ada meeting, tidak akan sempat kalau harus mengantarmu pulang sekarang."
"Di kantor Bapak ada makanan tidak, setidaknya cemilan begitu, saya lapar."
"Nanti aku suruh OB membelikan kamu makan."
"Terima kasih, Pak. Ternyata Bapak baik juga." Nysa terkekeh pelan.
"Apa kamu pikir aku jahat!?"
"Jahat sih tidak, judes iya."
"Kamu itu wanita paling bawel yang pernah saya temui!"
"Bawel-bawel begini, saya terkenal di kampung saya, Pak. Karena saya bisa masuk, dan bergaul dengan siapa saja. Kampung saya pasti sepi tanpa saya. Karena ...."
Bunyi ponsel Nysa mengagetkan mereka berdua.
Nysa mengambil ponselnya, Aryan tersenyum sinis melihat ponsel android Nysa yang ketinggalan jaman. Nysa video call dengan orang yang menghubunginya.
"Assalamualaikum, Bibah, apa kabar?'
"Aduh, sepi sekali tanpa kamu, Nys. Kapan kamu pulang?"
"Aku ke Jakarta bukan jalan-jalan, aku mau kawin."
"Jadi benar, kamu kawin dengan Tuan Hanan!?"
"Bukan dengan beliau, tunggu sebentar ya."
Nysa mengarahkan ponselnya pada Aryan. Spontan mata Aryan melotot ke arahnya.
"Cakepkan, biar cemberut."
"Aduuh ... cakepnya, Nys. Huaaa ... mau juga punya suami seperti itu!"
Nysa tertawa lepas.
"Berisik!"
Mata Aryan kembali melotot.
"Sudah dulu, Bibah, nanti sampai rumah aku telpon kamu. Assalamualaikum."
Nysa meletakan ponsel di atas pangkuannya.
"Benar'kan. Baru sehari saya tinggal, teman saya sudah kangen."
"Begitu saja bangga!" Cibir Aryan.
"Itu artinya, saya ini orang penting, Pak!"
"Hah! Orang kampung belagu!"
"Jangan menghina, Pak. Nanti ketulah cinta seperti Zulfa. Duh ... andai saya nikah dengan Tuan Hanan, pasti saya sebahagia Zulfa. Meski tua, Tuan Hanan lebih baik dari Bapak. Beliau tahu caranya menghargai orang lain."
"Berisik, bisa diam tidak!"
Nysa menarik nafas dalam, lalu tatapannya fokus ke jalan, menikmati pemandangan ibu kota. Yang menurutnya luar biasa.
Aryan melirik ke arah Nysa. Pikirannya kembali pada Rosa. Rosa pasti akan mencibirnya, karena menikahi gadis udik seperti Nysa. Tapi, Aryan tidak bisa menolak kemauan kakaknya. Karena kakaknya yang memegang kuasa atas semua peninggalan orang tua mereka.
*