Sepulang kerja aku membawa ponselku yang rusak ke tempat servis langgananku, tempat itu cukup ramai jadi aku harus mengantri. Tadi aku sempat meminta ganti rugi pada bos brengsekku tapi dia mengelak dengan mengatakan itu bukan salahnya tapi salahku yang berhenti tiba-tiba sehingga dia menubrukku dan membuatku jatuh.
“Kenapa, mbak?” tanya seorang pegawai tempat reparasi
“Gak bisa dihidupkan, tadi jatuh?”
Pegawai yang aku tahu bernama Andi itu, segera mencoba menghidupkan ponselku tetapi tak ada yang yang berubah pada layer ponselku, hanya ada warna hitam dengan retakan yang banyak.
“Ini saya cek dulu ya, mbak buat nyari masalahnya di mana,” kata Andi kemudian.
“Bisa ditunggu?”
“Gak bisa, mbak. Antri banyak.” Andi tersenyum menatapku lalu segera mengeluarkan kartu SIM dan kartu memory dari dalam ponselku dan memasukkannya ke dalam plastic klip kecil dan menyerahkannya padaku, ” Dua hari lagi mbak ke sini, ya?”
“Baiklah,” kataku lesu. Aku menerima plastic klip itu dengan kecewa.
Aku berjalan ke arah motorku kemudian mulai menghidupkannya kemudian menyusuri jalanan sore menuju apartemen Rani. Aku baru saja membuka pintu saat suara cempreng Rani langsung menyerbuku.
“Kamu mengapa gak angkat panggilanku?”
“Ponselku mati, jatuh tadi,”keluhku sambil menjatuhkan tubuhku di atas sofa.
“Jatuh gimana?”
“Tadi waktu kamu telepon, waktu mau ngambil ponsel dari dalam tas kan aku sempat berhenti berjalan, nah si bos yang jalan di belakangku main tabrak saja sehingga aku jatuh dan ponselku juga jatuh,” jawabku kesal.
“Gimana ceritanya si bos nabrak kamu?” Rani menatapku tertawa.
“Biasa si bos kalau nelpon sambil jalan sering gak lihat sekitar,” gerutuku.
“Kenapa gak minta ganti ke bos kamu?”
“Minta ganti sama si bos? Sampai kiamat juga gak mungkin dikasih, dia itu orangnya pelit,” keluhku.
Rani Kembali tertawa membuatku sewot.
“Tadi nelpon ada ada?” tanyaku mengalihkan pembicaraan soalnya membicarakan masalah ponselku membuatku merasa sebal.
“Oh, tadi aku mau mengabari kalau Mika yang kemarin nempel terus sama kamu itu katanya CEO di tempat kerja kamu!” Rani menatapku dengan antusias, ” Aku lihat dia tertarik padamu. aku yakin dia sudah jatuh cinta padamu. Pepet terus, Cha! Jangan sampai lepas!”
Rani tertawa menyemangatiku.
Aku menatap Rani tak percaya sembari mengingat-ingat kalau aku pernah cerita ke dia belum ya kalau Mika adalah bos ku yang paling menyebalkan di dunia. Sepertinya aku memang belum pernah menyebut nama Mika setiap aku menumpahkan kekesalanku dan Rani pasti tak akan pernah mengira kalau aku yang seorang pegawai baru apalagi statusku masih pegawai tidak tetap bisa menjadi asisten seorang CEO.
“Aku yakin dengan wajahnya yang tampan dan sikap gentlenya dia pasti menjadi rebutan para perempuan di sana,” Rani tertawa. “Sesungguhnya aku iri melihat dia begitu perhatian padamu.”
Pipiku merona mengingat bagaimana Mika memerlakukanku malam itu, begitu lembut dan penuh cinta, dia bahkan tak membiarkan seorang laki-lakipun mendekatiku. Waktu itu perasaanku begitu melambung karena aku merasa sepertti seorang putri yang sangat dimanjakan. Tapi perasaan itu lenyap seketika saat ingat bagaimana sikapnya yang menyebalkan hari ini.
“Mungkin,” jawabku cuek sambil melangkah ke kamarku.
“Cha, setelah malam itu dia pernah menghubungi kamu, gak?” Rani me, membuntutiku.
“Apaan, sih!”
“Aku suka saja kalau kamu punya gebetan jadi gak ngenes kalau lihat aku jalan sama Amir,” Rani tertawa.
“Ah, sana keluar! Aku mau mandi!” Aku mendorong Rani yang tertawa melihat tingkahku yang salah tingkah.
Setelah menyiapkan pakaian dan handuk, aku segera melangkah ke kamar mandi dan mulai mengisi bak dengan air hangat. Ingatanku melayang pada panggilan telepon Mika tadi malam.
Flash back on…
“Kau percaya cinta pada pandangan pertama, Cha?” tanyanya semalam setelah kami mengobrol banyak hal. Entah mengapa aku bisa bercerita begitu banyak dengan Mika yang ini.
Deg! Entah mengapa juga aku merasa dadaku berdebar sangat kencang, melupakan semua tindakannya kepadaku yang tidak manusia, dia melemparkan dua buah berkas yang cukup tebal kepadaku karena aku belum sempat mengeceknya tapi langsung menyerahkan berkas itu padanya.
“Tidak!” jawabku santai.
“Aku juga tidak tapi kurasa aku menyukaimu,” Mika tertawa.
Aku tersenyum mendengar tawanya yang arang kudengar karena dia lebih banyak marah-marah dari pada tertawa. Aku sadar sebagai pemimpin sebuah perusahaan yang sedang berkembang dengan cepat, dia harus bekerja sangat keras untuk membuat perusahaannya semakin maju karena banyak competitor yang mengincar posisinya.
“Apa hubungannya?” aku berdebar.
“Gak ada juga, sih! Aku suka kamu enak diajak ngobrol. Aku sedang mempertimbangkan kamu untuk jadi kekasih,” Mika terkekeh.
“Ternyata kamu bisa gombal juga,” jawabku sambil berdebar.
Suara seorang menginterupsi pembicaraan kami.
“Siapa, Mik? Istri kamu?” godaku meski aku tahu dia belum menikah.
“Mamaku,” Mika Kembali terkekeh, “Aku tutup dulu, ya. Bias perang dunia ketiga kalau aku tidak segera menurutinya. Malam, Cha. Jangan lupa mimpikan aku, ya,”
Tanpa menunggu jawabanku Mika segera menutup panggilannya. Aku tersenyum menyadari ternyata Mika punya sisi konyol juga sangat berbeda dengan sikap arogan yang selalu di perlihatkannya di kantor.
Flash back off.
Aku menyelesaikan mandiku dengan cepat, selesai mandi aku segera berganti baju kemudian bersantai di ruang depan dengan Rani. Tanpa ponsel hari ini, aku bisa terbebas dari berbagai perintah Mika diluar jam kerja karena biasanya ada saja yang dimintanya untuk ku kerjakan. Inilah barangkali yang membuat banyak karyawan yang tidak betah menjadi asisten Mika karena jam kerja asisten Mika tidak terbatas jam kantor tapi hamper dua puluh jam dan apapun yang diperintahkan harus segera dilakukan karena Mika tidak mentolerir keterlambatan.
Besoknya, aku baru saja menghidupkan komputerku saat Mika memasuki ruangan. Dia berdiri di depan mejaku dengan wajah menakutkan, kedua tangannya bersidekap di d**a.
“Nat! Kenapa teleponku semalam tidak diangkat?!” Suara dingin Mika terasa terasa menusukku.
“Bapak lupa kemarin bapak membuat ponsel saya rusak!” Emosiku langsung naik, aku balik menatapnya.
“Huh!” Mika mengedikan bahunya lalu sambil berjalan ke mejanya, dia berkata dengan dingin, ”Cek email dan kerjakan dengan cepat!”
Aku mentapnya jengkel, rasanya aku ingin menimpuk kepalanya dengan dengan vas bunga yang ada di mejaku. Aku segera mengecek emailku, membuka email dari Mika kemudian mendownload file yang dikirimnya dan mulai merevisi dokumen itu. Aku mengerjakankannya dengan teliti dan hati-hati, aku tidak mau ada kesalahan yang akan membuat Mika bisa memaki-makiku. Aku segera memfoward dokumen yang telah kurevisi ke email Mika.
“Sudah, Pak. Tolong di cek ulang,” kataku.
Mika tak bereaksi atas ucapanku, matanya bahkan menatap keluar jendela. Tampaknya dia sedang melamun, entah apa yang ada di pikirannya.
“Bos!” teriakku sebal.
“Apa?” Mika tampak terkejut.
“Yaelah bos, tadi yang nyuruh galak banget, giliran dah jadi malah nglamun!” rutukku sebal.
Mika melotot kepadaku kemudian mengalihkan tatapannya ke monitor komputernya. Tingkahnya tadi membuatku terpingkal. Dia kelihatan lucu juga kalau seperti itu karena aku bisa melihat ketidaksempurnaannya.
***AlanyLove