Aku menatap wajahku di cermin dengan rasa tak percaya, aku merasa riasan sederhana yang diaplikasikan Rani di wajahku membuatku terlihat manis. Rani juga melepas kaca mata tebal yang kupakai dan menggantinya dengan lensa kontak dan dia menyuruhku menggunakan bajunya yang sebatas lutut dan berlengan pendek. Sebenarnya aku merasa kurang nyaman dengan penampilan ini karena aku merasa tidak biasa dengan penampilan ini, aku sudah mengancam Rani untuk tidak berangkat tapi Rani justru mengancamku untuk keluar dari apartemennya kalau aku tidak menemaninya datang ke acara ulang tahun bosnya.
Ya, selama ini aku memang nebeng di apartemen Rani dan dia tak pernah mau menerima uang sewa dariku jadi aku membantunya bersih-bersih rumah sebagai gantinya. Kalau dia mengusirku dari apartemennya aku takt ahu harus tinggal di mana untuk waktu dekat ini. Dia memang sekejam itu tapi dia adalah sahabat terbaikku
Sambil mengeluh panjang lebar, aku akhirnya berada di sebuah cafe ternama di kotaku, Café Brilliant. Rani mengenalkanku dengan beberapa kenalannya, mereka adalah para bos dari berbagai perusahaan dan para sekretarisnya. Aku mencoba mengabaikan ketidaknyamananku dengan mencoba sikap percaya diri, aku merasa tak boleh terlihat minder di tempat ini.
Aku bisa melihat tatapan kagum dari para laki-laki dan tatapan iri dari para perempuan yang ada di ruangan ini kepadaku. Beberapa orang terang-terangan memujiku dengan mengatakan aku cantik dan aku hanya tersenyum menanggapinya. Tatapan ini sangat berbeda dengan tatapan aneh dan mencemooh yang aku terima saat aku berada di kantor karena di sini orang menganggapku seperti seorang primadona. Hmm, ternyata penampilan luar begitu berpengaruh pada penilaian fisik seseorang.
Aku sedang duduk menikmati makanan dan minuman di sebuah meja Bersama Rani dan Amir, kekasih Rani saat mataku menagkap sosok yang sangat kukenal, orang yang selama satu bulan terakhir ini menyiksaku secara fisik dan mental. Benar, Mika! Laki-laki tampan itu berjalan ke arah kami dan membuatku menegang, aku segera berdiri untuk melarikan diri, aku tak ingin dia melihatku di tempat ini.
"Kemana, Cha?" Rani menahanku agar tidak pergi.
"Ini.. Cuma benerin gaunku yang naik, gak nyaman,"
Aku urung melarikan diri selain karena Rani menahanku juga karena tatapanku bertemu dengan tatapan bos yang paling menyebalkan sedunia itu. Kami bertatapan cukup lama membuatku merasa sangat gugup dan juga takut.
"Kenalin dong, Mir," Mika menatap Amir penuh harap, baru kali ini aku melihatnya bersikap seperti itu.
Amir mengangguk sambil tersenyum membalas senyum Mika.
"Oke, kenalin ini Chacha, sahabat Rani. Cha, ini Mika, bos 'Starlight', Ini bujangan paling most wanted kalau kalau tahu!" Amir tertawa sambil memperkenalkan aku dengan Mika.
"Mika!" Laki-laki itu menyebut namanya dengan penuh percaya diri, aku terpana melihat senyumnya, itu adalah senyum paling manis yang pernah kulihat darinya karena biasanya dia selalu jutek kepadaku.
Wait! Dia tidak mengenaliku? Aku menatap tangan Mika yang terulur kepadaku, aku merasa ragu untuk menerimanya, jangan-jangan dia sengaja mengerjaiku.
"Cha!" Rani menyikut lenganku memberiku kode untuk menerima perkenalan dari Mika.
"Oh!" Keluhku menahan sakit akibat sikutan Rani, aku mencoba tersenyum semanis mungkin,"Chaca."
Aku kembali menatap Mika yang masih menatapku dengan senyumnya, entah mengapa tatapan itu menimbulkan gelenyar yang aneh di dadaku, aku segera menunduk, Aku belum pernah melihat tatapan Mika yang begitu lembut dan menghanyutkan. Dengan ragu aku menerima uluran tangan Mika masih menggantung di udara. Entah mengapa sentuhan diantara tangan kami juga juga menimbulkan sensasi aneh di dadaku.
'Sadar, Cha! Dia orang yang selalu membuatmu sengsara!' rutuk ku dalam hati.
"Maaf Pak Mika, Chacha memang suka malu-malu terutama dengan orang yang belum dikenalnya," Aku menatap Rani dengan kesal karena selalu menganggapku seperti anak kecil. Rani malah tergelak saat menyadari kekesalanku,
Mika duduk di sebelahku tanpa melepas tautan tangan kami yang membuat darahku berdesir, tatapannya tak lepas dari wajahku yang membuatku makin gugup. Aku berusaha melepaskan tanganku yang berada dalam genggamanan dengan perasaan aneh, kenapa aku merasa tersetrum listrik terutama di tanganku yang digenggamnya?
"Aku merasa kita pernah bertemu bertemu sebelumnya tapi di mana, ya? Apa kita memang pernah bertemu sebelumnya?" Mika menatapku seperi hendak menguliti seluruh tubuhku.
Deg!
Aku tertawa kecil, aku mencoba mengujinya.
"Mungkin aku mirip dengan salah satu karyawan, bapak!"
"Karyawanku?" Mika terlihat mengingat-ingat wajah karyawannya. "Tidak! Tidak ada karyawanku yang secantik kamu. Dan tolong jangan panggil aku Bapak! kesannya aku tua banget!"
Mika tertawa, "Panggil aku Mika!"
"Mi… Ka?" Rasanya aneh sekali mengatakan nama itu, bagaimana aku akan menyebutnya hanya nama tanpa sebutan bapak sementara dia adalah atasanku. Selama ini aku menyebut dia dengan sebutan bapak dan kadang bos.
"Ya! Mika saja, simple!"
"Tapi sepertinya usia kita beda cukup jauh, rasanya nggak sopan aku langsung manggil nama sama kamu." godaku.
"Terserah kamulah, yang penting jangan bapak!" tegas Mika.
"Bagaimana kalau Om?"aku terkikik. Amir dan Rani langsung tergelak mendengarnya sementara Mika tersenyum kecut. Sebenarnya Mika di usia dua puluh delapan tahun masih terlihat seumuran denganku tapi aku sengaja menggodanya. Kapan lagi aku akan melakukan hal itu kalau tidak sekarang.
"Berapa umurmu, cantik?" Mika menatap wajahku intens.
"Duapuluh dua," jawabku cuek.
"Aku pikir kita seumuran, lihatlah!" kata Mika dengan penuh percaya diri, Mika mengarahkan kamera ponselnya ke arah kami dan mengambil gambarnya saat aku mendongak, menatap ke arah ponsel.
"Seumuran apaan! Kamu kelihatan tua, tauk!" Aku berusaha merebut ponselnya untuk menghapus foto yang baru diambil Mika.
"Tua, ya? Tapi kita tetap kelihatan serasi kok!" Mika tertawa, dia tampak suka melihat wajah kesalku.
Sebenarnya aku heran karena Mika tidak marah mendengar perkataanku, biasanya saat di kantor dia akan marah kalau ada yang menyinggung perasaannya. Amir dan Rani hanya tertawa melihat tingkah kami dari tadi. Amir bahkan membela Mika dengan mengatakan kami sangat cocok.n
Suasana di sekeliling kami berubah menjadi romantis saat music yang tadi menghentak-hentak berubah menjadi lembut. Amir dan Rani pamit untuk berdansa meninggalkan aku dengan Mika. Aku segera merasa panik setelah keduanya beranjak menuju tengah ruangan yang diperuntukan menjadi lantai dansa.
"Mau menari?" tanya Mika lembut.
"Aku tidak bisa menari," Aku menggeleng.
"Aku ajari," Mika tersenyum. Mika berdiri dan menarik tanganku untuk mengikutinya.
Aku menggeleng dan menarik tanganku dari genggamannya, "Aku ingin di sini saja. Kalau kamu ingin mencari pasangan dansa, silakan."
"Aku temani kamu saja," katanya lembut sambil kembali duduk di sampingku.
"Gak masalah, Kok kalau kamu pergi berdansa, aku sudah biasa sendiri,"aku tersenyum tulus.
"Tidak, aku tak mau ada yang menggantikan posisiku di sini kalau aku pergi. Dari tadi aku melihat banyak yang menatapmu dan ingin memakanmu!" wajah Mika terlihat tidak suka.
"Termasuk kamu?" Aku tertawa kecil. Hai, bagaimana bisa aku menggodanya?
"Ya!" katanya tanpa mengelak.
"Kalau begitu aku harus menjauhimu," aku Kembali menggodanya, kali ini aku berdiri dan bersiap pergi.
"Jangan!" erangnya sambil menarik tanganku membuatku kembali terduduk di tempatku.
Aku menatapnya, sepertinya bosku agak aneh hari ini. Aku menatap laki-laki di sebelahku dengan penuh tanda tanya. Apakah dia benar-benar tak mengenaliku? Aku menatap tanganku yang dari tadi digenggamnya, bukankah biasanya dia akan menepis tanganku bila tak sengaja menyentuhnya? Kenapa sekarang justru dia yang tak mau melepasnya?
***
AlanyLove