Tari membuka mata saat merasakan sentuhan lembut di bahunya, perempuan berwajah mirip dengan Sadewa menatapnya sambil tersenyum kecil. Satu tangannya membawa plastik berisi tablet obat juga botol air mineral.
Perempuan itu duduk di sampingnya, lagi-lagi tersenyum kecil. "Mamamu sudah pergi, Tari. Dia bilang titip salam untukmu. Ada keperluan, katanya."
Tari menggigit bibir bagian dalam. Sakit sekali, rasanya. Mama kenapa kamu tega, Mama? Sudut mata Tari basah, perempuan itu langsung mengusapnya dengan gerakan pelan.
"Tari, dengarkan mama. Apa pun yang dikatan Dewa jangan dipikirkan. Tugas kamu hanya membuatnya mencintaimu. Mengerti, Nak?" Tatapnya dengan wajah penuh harap.
Tari mengangguk.
"Pastikan kalau dia berbuat nekat menyusul Puspita, kamu hanya perlu meletakkan ini di minumannya. Dengar?"
"Apa ini, Ma?" Tari menerimanya, menatap botol air mineral juga tablet obat. Menerka-nerka obat apa gerangan.
"Itu hanya obat tidur. Pusing kepala mama memikirkan anak itu. Benar-benar membahayakan untuk karier ayahnya. Pokoknya, kamu masukkan ini di minumannya. Naah, ini, sudah mama masukkan." Perempuan di hadapannya itu mengulurkan botol air mineral. "Sudah tercampur dengan obat tidur."
Tari mengangguk kecil. Ia sama sekali tak sadar, di ambang pintu, Sadewa menggelengkan kepala berulang-ulang. Ooh, Mama. Tak kubiarkan kamu menghalangi jalan untuk mendapatkan Puspita.
"Yasudah, selamat senang-senang."
Tari memperhatikan mama mertuanya yang menepuk bahunya dengan wajah terlihat mencemaskannya. Itu membuatnya terharu. Sungguh berbeda dengan perempuan yang telah melahirkannya, mama mertua justru begitu baik.
"Mama keluar dulu. Bersenang-senanglah, Tari. Taklukkan hati suamimu. Rayu dia. Buat dia hanya memikirkanmu."
Tari mengangguk kecil, walau dalam hati tidak yakin. Bagaimana mungkin menaklukkannya? Lelaki itu sungguh membuatnya takut. Diperhatikannya mama mertua yang melangkah anggun keluar ruangan. Lalu menutup pintu mewah berukir itu dari luar.
Bagaimana cara aku menaklukkannya? Sementara untuk memulai pun, ia tak berani.
Dan sebentar. Apa Dewa 'bersih' mengingat kebiasaannya yang suka gonta-ganti perempuan di hotel?
Bagaimana kalau ... ia terkena penyakit kelamin?
Tari menggelengkan kepala cepat, tak ingin berpikir aneh-aneh.
Sebagai istri, wajib melayani suami.
Tari tersentak kaget saat pintu kamar tiba-tiba dibuka. Suaminya melangkah pelan menuju ke arahnya, dengan senyum lebar tersungging di bibir.
"Baby, aku mau mandi."
Mandi ya, mandi. Seperti anak kecil saja, pakai harus laporan padanya. Seolah ingin dimandikan. Dasar aneh.
"Baby, aku mau mandi. Apa kamu dengar, Sayang? Aku mau mandi." Dewa mengangkat tangan ke udara, dengan jari-jari lainnya terkepal, sementara jari telunjuknya bergerak ke arah dadanya juga Tari, isyarat msminta Tari mendekat.
Dewa bukan tak tahu rona terkejut di wajah sang istri. Tapi dia sengaja, ingin balas dendam karena Tari sudah mau bersekongkol dengan Mama.
"Baby, aku mau mandi."
"Tinggal mandi, kenapa laporan padaku?"
Dewa tergelak. Bahunya berguncang pelan. "Baby, aku ingin kamu memandikanku."
Tari membelalak terkejut. Dewa terus tertawa kecil. Lihatlah wajahnya yang terlihat ketakutan, lucu sekali. Ah, lumayan. Bisa menghilangkan stresnya akibat begitu sulit mendapatkan Puspita. Oh Puspita pelita hati ....
Ia memejamkan mata, tersenyum sendiri mengingat sebentar lagi akan bertemu dengan Puspita. "Ayo, Baby. Mandikan aku. Kita sudah menikah. Ingat itu, Sayang."
Tari ternganga tak percaya. Dewa sungguh mengerikan. Tangannya bergerak melepas kancing bajunya sendiri. "Ayo mandikan aku. Kita akan ke Bali, Baby." Lelaki itu membuka kamar mandi, lalu masuk ke dalam bathub.
Takut-takut, Tari mendekat. Sampai di ambang pintu kamar mandi, ia pejamkan mata, tangannya meraba-raba dinding.
Dewa tergelak saat melihat kepala istrinya itu menabrak dinding. Sungguh dia lucu sekali, memiliki mata, tapi tak menggunakan matanya untuk melihat. Dewa lagi-lagi tergelak.