Hanya denting sendok beradu dengan piring yang terdengar di ruangan ini. Ayah, juga mama mertua tampak makan dengan lahap. Begitu pun dengan Kak Dewa yang sebentar-sebentar menatap dua anaknya, Damar dan Wulan yang sesekali iseng meletakkan lauk ke piringku. Aku menatap mereka protes, tapi anak-anak itu malah tersenyum kecil.
"Mama harus makan banyak biar sehat," kata Danar dengan wajah ceria. Bocah itu langsung dekat denganku begitu dikenalkan bahwa aku akan menjadi mamanya. Wulan pun tak kalah girang. Si kembar tampak begitu tulus menyayangiku, menganggapku sebagai ibunya yang telah tiada.
"Mama temani aku ke mall, yaa? Aku mau cari boneka untuk ulang tahun temenku."
Aku langsung menatap Kak Dewa yang terus mengunyah makan siangnya. Keluarga ini setiap santap bersama tak pernah ada yang bicara, kecuali anak-anak, itu pun ayah terkadang menatap mereka isyarat menyuruh diam. Barulah ketika acara makan usai tinggal menikmati hidangan pencuci mulut, Kak Dewa bersuara.
"Nanti ayah temani juga, Sayang." Kak Dewa mengacungkan jari telunjuk ke udara. Lalu menatapku sambil mengerling jail. Membuat mama yang memergoki langsung menatapnya lama. Apa kira-kira yang dipikirkan mama saat ini, yaa?
Masih teringat jelas ucapannya yang memintaku agar menggoda anaknya dengan gaun-gaun seksi. Yang benar saja. Sementara aku belum siap jika ia belum benar-benar berubah dari dunia bebasnya.
"Damar juga ikut. Damar mau cari mobil yang gedeee, banget," timpal bocah itu dengan senyum ceria. Aku mengangguk mengiyakan.
"Naah, kalian mainan dulu di taman samping, yaa?" kata mama mertua yang langsung disusul anggukan oleh keduanya. Ayah mengusap mulutnya dengan tisu, lantas meraih apel di tengah meja dan mengupasnya dengan pisau kecil.
"Ayah ada perlu ini, Mah. Ayah keluar dulu," katanya sambil meletakkan setengah potongan apel di meja depan Mama.
"Eeeh, Yah. Tunggu dulu. Mama mau bicara serius sama mereka berdua."
Lelaki berkaca mata yang sudah setengah berdiri itu akhirnya kembali duduk. Ia menatap jarum jam di tangannya lalu menatap istrinya dengan tak sabar. "Ayo bicara, Ma. Sebentara lagi ayah ada rapat ini."
Satu hal yang paling kusukai di keluarga ini, walaupun masing-masing punya kesibukan masing-masing, tapi selalu menyempatkan makan bersama di pagi, siang, juga malam hari. Kecuali kalau memang benar-benar tak bisa, barulah bisa absen.
Untuk mengusir gugup karena Mama kini bergantian menatapku dan Kak Dewa, kuraih apel. Lantas menggigitnya pelan.
"Dewa, kurang menarik bagaimana istrimu? Coba kamu lihat baik-baik, Tari, sangat cantik, kan?"
Aku yang hendak kembali menggigit apel terdiam, apel hanya mengambang di udara dekat bibirku saja. Aku begitu gugup karena perhatian kini tertuju padaku. Baik ayah, mama, juga Kak Dewa kini menatapku lekat. Membuat gugup juga salah tingkah.
Kenapa mama tiba-tiba bertanya seperti tadi? Kembali kucubit apel, tersenyum kecil pada Mama yang terus menatapku.
"Mama kok tak pernah melihat kalian keramas dalam waktu bersamaan, ya? Kalian berhubungan layaknya suami istri tidak sebenarnya?" Pandangan Mama menyelidik, berganti-ganti ke arahku juga lelaki berambut panjang yang malah iseng mengerling jail pada istrinya ini. Menyebalkan sekali dia. Andai aku berani, pasti sudah kuguyir wajahnya itu dengan air kobokan. Ah, mimpi.
Ehemp! Kak Dewa berdeham. "Bukan aku yang tak mau. Dia yang tak mau melayani, Ma."
Uhuk! Aku pura-pura tersedak, lelaki menyebalkan di seberangku itu dengan cepat mengulurkan gelas berisi s**u yang segera kuteguk hingga kandas. Gawat kalau Mama sampai membicarakan ini. Sikap mama sungguh membuat dadaku terus berdebar. Ayah menggelengkan kepalanya.
"Hati-hati, Baby."
Hening di ruangan ini. Kak Dewa mendekat lalu memelukku dari belakang, embusan napasnya yang hangat menerpa pipiku saat ia menoleh, jarak wajahnya dengan wajahku begitu dekat.
"Tentu kami akan melakukannya, Ma. Tunggu satu bulan lagi katanya Tari."
Mama membeliak terkejut, menatapku dengan kening berkerut. Jangan sampai Mama berpikir aneh-aneh tentangku. Ayah hanya menggelengkan kepalanya. "Ma ...." Suara ayah pelan, wajahnya mengisyaratkan bahwa ia keberatan Mama membicarakan ini. Mama mengibaskan tangan ke udara, sedikit melotot pada ayah.
"Dia tak mau melayani karena sedang datang bulan." Suara Kak Dewa memecah hening. Syukurlah. Tatapan mama yang mengintimidasiku, membuatku memilih mengangguk.
"Ayah sudah telat nih, Ma. Ayah pergi dulu." Lalu tanpa mengindahkan tatapan protes istrinya, Ayah segera mencium kening Mama lalu melangkah meninggalkan ruangan sambil menggelengkan kepala.
"Kenapa harus menunggu satu bulan?" Tatapan keheranan Mama bergantian ke wajahku dan Kak Dewa.
"Dia sedang datang bulan, Ma. Dia kalau datang bulan, sampai satu tahun. Atau paling cepat satu bulan. Benar begitu, Sayang?" Kak Dewa mengerling padaku. Wajah kami yang begitu dekat membuatku risih. Lelaki ini akhirnya mendekat ke arah Mama lalu memeluk perempuan itu dari belakang. Dari dekat, keduanya terlihat begitu mirip.
Kak Dewa mencium Mama, lalu mengerling padaku. Aku menggigit apel dengan tubuh terasa panas dingin. Tatapan heran Mama seolah menelanjangiku. Aku tersenyum kecil untuk mengusir gugup.
"Sebenarnya, aku nggak datang bulan, Ma. aku ganya ingin meledeknya saja, Ma. Karena dia selalu menyuruhku memanggil Tuan, maka aku sengaja membohonginya." Ucapanku pasti agak sulit dicerna. Tapi terserahlah. Paling tidak aku sudah mencoba membela diri.
Mama menoleh, memelototi Kak Dewa yang lelaki itu balas dengan cengiran. Cekungan mungil yang timbul di kedua pipinya sungguh membuatnya terlihat menawan.
"Dewa, Tari itu istrimu. Perlakukan dia dengan baik. Mengerti?" Tatapan Mams penuh harap. "Dan jangan cari kesenangan di luar lagi. Apa kamu mengerti?"
Kak Dewa hanya nyengir. Lalu menggaruk rambutnya. Sesaat kemudian mengangguk-angguk. Jelas sekali ia bohong. Di kamar, kerjaannya hanya berbalas pesan WA entah dengan siapa.
"Sepertinya, kalian harus bulan madu lagi ke Bali. Menurutmu bagaimana, Tari?"
Kak Dewa menjentikkan ibu jari juga jari telunjuknya ke udara. "Ide bagus itu, Maa. Aku akan bersenang-senang dengannya," katanya sambil mengerling jail padaku. Aku berpaling saat meradakan wajahku yang perlahan menghangat.
"Mama, kita jadi ke maal, kan? Aku harus cari hadiah untuk temenku," kata Wulan sambil melangkah mendekat. Ia bergayut manja di lenganku. Kuusap rambutnya yang tergerai.
"Ayo, kita berangkat sekarang. Mana Danar?" Kak Dewa menegakkan tubuh, menatap lurus ke depan.
"Sudah di depan, Yaah," sahut Wulan sambil menarik tanganku sehingga aku berdiri. Kami pun segera menuju mobil.
"Baby, ternyata kamu membohongiku?" tanya Kak Dewa sambil menyetir. Ia sesekali menatapku dan menggelengkan kepala. "Apa aku menakutkan bagimu, Baby? Oh, tapi bukankah kamu melayani ... emp siapa itu nama clienku? Rendi. Iya benar, Rendi." Ia mengangguk-angguk.
Aku memilih tak menanggapinya, hanya sesekali menoleh ke belakang, menatap Damar dan Wulan yang terus mengoceh tentang apa saja yang akan dibeli.
"Aku sudah tak sabar kita ke Bali, Baby. Tapi tentu saja, setelah urusanku selesai. Dan aku punya hukuman untukmu karena telah membohongiku."
Aku memandangnya, merasakan dadaku yang berdebar saat secara tak sengaja bersitatap. Lelaki itu kembali menatap jalan yang padat oleh kendaraan.
"Hukuman apa?" Suaraku terdengar bergetar. Bayangan yang bukan-bukan melintas dalam benak. Apa ia akan 'memaksaku? Atau lebih parah dari itu? Aku kembali menatapnya yang tersenyum sendiri. Kenapa ia terlihat sangat mengerikan?
*Lanjut?