"Buka bajumu!"
"Mas ...."
"Kau ingin aku menyentuhmu 'kan? Buka bajumu!"
Perempuan di hadapanku itu tampak meneguk ludah. Dia sepertinya sangat terkejut dengan suaraku yang seketika meninggi. Malam ini aku benar-benar geram dibuatnya. Amarahku menyala. Memang perempuan tidak tahu malu. Bisa-bisanya dia datang ke kamar dan memintaku untuk menyentuhnya.
Dia Bening Pramesti, perempuan yang kunikahi enam bulan lalu karena terpaksa. Jangankan cinta, aku bahkan sangat membencinya. Gara-gara dia, impianku untuk menikah dengan gadis pujaanku kandas.
Bening sebenarnya tidak lain merupakan sepupuku. Kedua orang tuanya wafat dalam tragedi tabrak lari oleh sebuah mobil. Dia sebatang kara. Hanya kami keluarganya.
Ibu sangat menyayangi Bening, gadis penurut yang lembut dan santun. Aku sebenarnya juga demikian, sangat menyayanginya sebelum dia setuju dan menerima lamaran Ibu.
Padahal aku sudah meminta padanya untuk menolak saja. Aku mengatakan sudah punya gadis lain dan sangat mencintainya.
Arunika nama gadis itu. Dia merupakan cinta pertamaku sejak SMA. Hubungan kami tidak pernah berakhir meskipun begitu banyak dan besar rintangan menghadang. Apapun masalahnya dapat kami atasi. Hanya Bening yang mampu membuat hubungan kami pupus. Aku benar-benar sangat membencinya.
Malam ini dengan sangat tidak tahu malu Bening datang padaku. Sejak menikah dan tinggal di rumah sendiri, aku memilih pisah kamar dengannya, tidak sudi tidur bersama. Dia berkata ingin menjalankan tugas sebagai istri sepenuhnya, memintaku untuk memenuhi nafkah batin padanya.
Hah! Benar-benar murahan! Bagaimana bisa dia yang datang untuk meminta? Apa dia sudah sangat tidak mampu menahan hasratnya?
"Kau buka sendiri atau aku yang paksa?" ucapku kasar sambil menatapnya nanar. Dia yang sebelumnya berdiri gugup, sekarang tampak bercampur takut. Langkahnya tersurut ke belakang.
"Kenapa mundur? Bukankah itu yang kau inginkan? Jangan jadi sok jual mahal jika sebelumnya sudah murah!" Aku semakin berang.
"Mas, mak-maksudku ti-tidak begini," ujarnya tersendat.
Aku tertawa menyeringai.
"Jadi maksudmu bagaimana?" Aku bertanya sambil terus melangkah ke arahnya, mengiringi langkahnya yang terus mundur, "Kau ingin aku menyentuhmu dengan penuh cinta dan kelembutan? Begitu? Jangan harap!" ejekku sembari meludah.
"Ka-kalau begitu tidak usah saja. Maaf aku salah. Aku akan kembali ke kamar."
Dia membalikkan badan hendak keluar. Namun, aku lekas menahan dengan mencekal tangannya. Tidak akan kulepaskan dirinya. Malam ini dia harus merasakan sakit yang aku dan Arunika rasakan. Dia harus tahu perihnya luka akibat cinta yang dipisahkan dengan paksa. Benci yang bertahta di hati ini, dia harus tahu seberapa dalamnya.
"Jangan, Mas." Dia menangis ketika aku menariknya dengan kasar. Namun, aku tidak peduli lagi.
"Diam! Bukankah ini yang kau inginkan? Seharusnya kau senang aku menuruti keinginanmu," sentakku garang.
Tidak ada kelembutan sama sekali. Semua berbalut benci. Teriakan kesakitan Bening tertahan bersama air matanya yang mengalir deras. Jiwa dan raganya tampak sangat terluka terlebih ketika di penghujung penyatuan aku sengaja menyebut nama Arunika.
Aku tersenyum puas menyaksikan luka dan kesakitannya.
***
Pagi hari aku bangun sedikit terlambat.
Aku melompat dari tempat tidur, menyambar handuk sembari merutuk sebelum bergegas ke kamar. Kemana Bening? Mengapa tidak segera membangunkanku seperti biasa?
Usai mandi secara kilat, aku kembali merutuk saat hendak berpakaian.
"Bening! Dimana seragamku?" Aku bertanya setengah berteriak. Biasanya benda itu sudah tergeletak di atas tempat tidur. Bening akan menyiapkannya di saat aku mandi. Namun, saat ini nihil. Tempat tidur masih berantakan pasca kegiatan kami tadi malam.
"Bening!" Aku kembali berteriak cukup kencang. Namun, sosok yang dipanggil tidak muncul juga. Sambil mengumpat emosi aku membuka lemari, mencari pakaian dinasku di antara gantungan baju.
Pakaian dinas mudah ditemukan. Sekarang kaos singlet dan celana dalam.
Argh! Kemana Bening? Mengapa jadi merepotkan seperti ini?!
Setelah semua lipatan jungkir balik, baru aku berhasil menemukan yang dicari.
Selama ini dia yang mengurus semuanya. Aku hanya tahu beres dan tinggal pakai. Jadi meskipun ternyata semua pakaian sudah disusun rapi per item, aku tetap kesulitan mencarinya. Apalagi di saat waktu mepet seperti ini.
Usai berpakaian dan merapikan diri seadanya, aku bergegas menuju dapur. Tidak seperti biasanya, hari ini pagi-pagi sudah terasa lapar. Biasanya aku enggan sarapan meskipun ditawari Bening berulang kali.
"Bening! Mengapa kau tidak membangunkanku?" tanyaku keras begitu sampai di dapur.
Hening. Tidak ada suara aktivitas apapun di dapur. Tidak ada sosok Bening. Meja makan bahkan masih rapi dan kosong. Apa dia juga terlambat bangun?
Aku bergegas menuju kamarnya.
"Bening!" panggilku lantang sambil menggedor pintu. Tidak ada jawaban darinya. Pintu masih tertutup rapat.
"Bening!" Kuulang panggilan sekali lagi. Masih hening. Segera kuputar handle pintu. Ternyata tidak dikunci.
Tidak kutemukan Bening di kamar. Bahkan tempat tidurnya sangat rapi. Entah sudah dia rapikan atau memang tadi malam dia tidak tidur di sana.
Mataku menyipit tatkala menangkap secarik kertas tergeletak di atas tempat tidur itu. Seketika aku meneguk ludah.
Tiba-tiba ada yang berdesir tidak nyaman di hati menatap kertas itu. Feeling-ku yakin jika itu sebuah pesan.
Langkahku pelan mengarah ke tempat tidur. Tanganku bergetar ketika meraih benda tipis putih itu.
Benar. Itu sebuah pesan. Dadaku terasa bergemuruh saat mulai membaca.
'Jika Mas Pandu tahu, sesungguhnya aku sudah menolak perjodohan kita sejak awal. Aku tahu Mas Pandu mencintai Arunika. Namun, aku tidak berdaya. Ibu terus memohon dan akhirnya aku terpaksa menerima demi bakti. Ibu dan Bapak sudah sangat berjasa setelah kedua orang tuaku wafat. Maaf jika sudah membuat Mas Pandu terluka. Sejujurnya aku pun sangat terluka dengan pernikahan ini. Aku menyerah, Mas. Aku bebaskan Mas Pandu meraih cinta Arunika kembali. Maaf atas kekhilafan dan ketidak-sempurnaan selama menjadi istrimu. Sampaikan salam takzim pada Ibu dan Bapak. Maaf aku tidak bisa menjadi menantu seperti yang beliau harapkan. Bening.'
Aku terduduk lemas di atas tempat tidur. Seketika teringat apa yang kulakukan padanya tadi malam. Raut kesakitan dan terluka yang begitu nyata di wajahnya membayang jelas.
Astaghfirullahal'azim. Apa yang telah kulakukan?
Memori pun berputar di masa enam bulan ke belakang. Perlakuan dan kata-kata kasar yang seperti tidak ada habisnya selalu terlontar padanya. Tidak sekalipun dia membantah, apalagi membalas. Bening selalu melakukan bakti sebagai seorang istri, melayani setiap kebutuhanku dengan baik hingga tanpa disadari aku sangat bergantung padanya.
Sekasar apapun sikap dan ucapanku padanya, dia selalu membalas dengan lembut dan santun.
Deraian air matanya yang mengalir dalam diam, terlintas pula dalam ingatan. Baru kurasakan sekarang bahwa begitu pilu tangisannya itu.
"Bening ...."
Aku memanggil namanya lirih.
Ya Tuhan, tiba-tiba saja d**a ini terasa sesak dan nyeri. Rasa bersalah dan kehilangan seketika menyeruak.