Bab 2 Ini Bukan Kencan

935 Words
“Ge, aku entar bonceng kamu ya.” Kepala Niken melongok dari balik pintu kamarku. “Kemarin motorku kutinggal di rumah Kak Risa.” Aku yang masih mengeringkan rambut dengan hair dryer hanya memberi isyarat oke melalui telunjuk dan ibu jari yang membentuk huruf O. Niken pergi tanpa menutup lagi pintu kamarku. “Tutup, woy!” teriakku galak. Bukannya kembali dan menutup pintu dia malah tertawa keras sekali, masuk ke kamarnya sendiri yang berada tepat di depan kamarku. Sekitar lima belas menit kemudian dia datang lagi, kali ini sudah berpakaian rapi. “Hari ini bakal hujan lagi nggak ya?” ucapku agak cemas sambil melihat langit melalui jendela. “Kalo hujan bisa mogok lagi nih motorku.” “Memangnya kemarin motor kamu mogok?” Aku mengangguk. Kami berdua keluar dari kamar, aku menutup dan mengunci pintunya. “Terus kamu pulangnya gimana?” Aku berdeham. “Eh, itu kemarin kebetuan Darel lewat,” gumamku tidak jelas. Berharap Niken tidak terlalu mendengarkanku. Namun sepertinya telinga sahabatku itu langsung tegak begitu mendengar nama Darel disebut. “Darel?” Langkah kakinya terhenti, tapi melihat aku yang terus berjalan dia kembali menyusulku. “Terus dia nolongin kamu?” pancingnya melihatku tidak bereaksi lagi. Aku hanya mengangguk. Kami sudah berada di garasi yang disediakan pemilik rumah untuk kendaraan anak-anak kos, aku menghampiri motorku. “Dia nggak macam-macam, kan?” tanya Niken penasaran. “Macam-macam gimana?” “Ya … kemarin kan dia lihatin kamu sampai kayak gitu, kukira dia agak mesum.” Aku tertawa kecil, teringat bagaimana sikapku saat menemukan dia di belakangku kemarin. “Aku juga sempat berpikir kayak gitu sih,” sahutku sambil memundurkan motor keluar dari garasi. “Tapi ternyata dia baik juga. Aku sampai nggak enak hati karena lupa bilang terima kasih sama dia. Mana pas dia benerin motorku lagi hujan deras, kemeja dia sampai basah kuyup tahu nggak?” Aku menaiki motor. “Kemeja? Bukannya Darel kemarin pakai kaus biru ya?” Tanganku yang siap memakai helm terhenti, aku baru menyadari hal tersebut. Darel memang mengenakan kaus biru saat aku melihatnya di restoran. “Iya ya … pas dia membantuku kemarin dia pakai kemeja hitam,” gumamku. “Mungkin dia ganti baju pas pulang dari restoran. Niken menduga. “Ya, ya, bisa jadi,” sahutku. Niken naik ke boncengan begitu aku menstarter motor, dan aku langsung melajukan kendaraan kesayanganku itu. Cuaca pagi ini cerah, meski waktu masih menunjukkan pukul setengah enam tapi langit sudah terang dengan awan putih yang terserak bagai sobekan-sobekan kapas. Udara juga masih lumayan segar, dibandingkan jika kita keluar siang atau sore hari yang sudah dipenuhi polusi. Sebenarnya jarak dari tempat kosku dan restoran tidak terlalu jauh, jika kami bisa terhindar dari kemacetan. Sayangnya macet memang sudah menjadi penyakit di kota ini, sehingga akan sulit sekali menghindarinya. Jam kerja shift pagi dimulai pukul 07.00, jika kami tidak berangkat kurang dari pukul 06.00, bisa dipastikan kami akan terlambat. Kecepatan laju motor kupelankan saat berada di depan restoran, lalu aku berbelok, menuju tempat parkir yang disediakan khusus untuk karyawan. “Pulangnya kamu ikut aku lagi, kan?” tanyaku pada Niken sambil melepaskan helm. “Aku mau ambil motor di rumah Kak Risa.” “Aku bisa antar kamu ke rumah Kak Risa, habis itu kita mampir ke Gramedia sebelum balik ke kos-kosan.” Aku memberinya ide. “Cih, bilang aja kamu minta ditemani ke Gramedia, pake pura-pura baik mau antar aku segala.” Aku terkekeh. “Kan aku memang baik, Ken,” ucapku merangkul bahunya dari samping. Kami berjalan beriringan masuk melalui dapur. “Oke, kan?” tanyaku memastikan kesediaan Niken. “Sip deh, asal jangan lupa traktir aku aja.” “Beres kalau itu mah,” sahutku tersenyum lebar, mengacungkan ibu jariku. Setelah mengganti pakaian kami dengan seragam, aku menuju meja kasir, sedangkan Niken mulai mengelap-ngelap meja. Little Bites Chicken buka 24 jam, para karyawannya dibagi menjadi tiga shift. Biasanya restoran kami akan ramai menjelang makan siang dan jam pulang kerja. Bukan berarti saat pagi hari kami bisa bersantai, karena Pak Bastian tidak akan membiarkan hal tersebut terjadi. Pukul 15.00 aku baru bisa menarik napas lega, selain karena sebentar lagi jam kerjaku selesai, pengunjung juga sudah tidak terlalu banyak. Saat itulah aku melihat Darel, pria itu tampak memperhatikanku dari mejanya. Aku memanggil Niken, memintanya menjaga kasir agar aku bisa menemui Darel sebentar untuk mengucapkan terima kasih. Hari ini Darel mengenakan kaus warna hijau cerah yang terlihat serasi dengan kulitnya. Aku tersenyum ketika berjalan menghampirinya, sesaat Darel tampak bingung, tapi kemudian dia membalas dengan senyuman lebar. “Saya lupa mengucapkan terima kasih kemarin,” kataku sopan. “Terima kasih?” “Iya. Waktu Bapak membantu saya memperbaiki motor saya. Bapak keburu pergi sebelum saya mengucapkan terima kasih. Jadi sekarang saya mau bilang terima kasih untuk bantuan Pak Darel kemarin.” “Kamu tahu namaku?” Aku tersipu. Aku lupa dia bahkan tidak pernah memberitahukan namanya. “Pak Darel sering ke sini,” sahutku pelan. Darel mengangguk-angguk, senyumnya masih bertengger manis pada bibirnya yang merah. Pandangannya seolah sedang menilaiku, lucunya aku tidak melihat sorot hangat dan ramah seperti yang aku lihat kemarin di matanya. “Saya pamit bekerja lagi, Pak,” kataku dan langsung berbalik pergi. “Tunggu!” panggilnya. Aku berhenti dan menoleh padanya. “Namamu siapa?” tanya Darel. “Gea, Pak.” “Oke. Begini Gea, aku mau menerima ucapan terima kasih kamu dengan satu syarat.” Alisku terangkat sebelah. “Kamu harus mau makan malam denganku.” “Makan malam?” “Jangan khawatir, ini bukan kencan. Aku cuma ingin mengajakmu makan malam,” ucapnya buru-buru. Aku mengulum senyum. “Oke,” jawabku singkat, lalu langsung pergi, khawatir Pak Bastian melihatku. Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD