Bab 7 Keadaan Pasti akan Membaik

1273 Words
“Geanina Kyra, kamu dengar aku? Aku akan menikahimu. Aku yang akan jadi ayah bayimu.” Sudut mataku memanas, perasaan lega yang begitu besar menyeruak ke dalam d**a, membuat semua persendian tulangku lemas secara tiba-tiba. Tubuhku menggelosor turun dari kursi. Secepat kilat Dathan menghampiriku, menahanku hingga aku tidak terjatuh. Lalu dia mengangkat tubuhku dengan entengnya seolah aku hanya selembar bulu baginya. “Sofa, saya butuh sofa!” katanya tegas. Beberapa pelayan memandu dan menunjukkan sofa pada Dathan. Dia meletakkan tubuhku dengan hati-hati ke atas sofa, menyingkirkan anak-anak rambut yang menempel pada keningku dan mengelap keringat dengan tisu. Mataku berkaca-kaca, ini bahkan di luar ekspektasiku. Bayiku akan mempunyai ayah, aku tidak perlu merasa khawatir lagi. “Terima kasih,” ucapku tulus. “Saya tidak akan melupakan kebaikan Pak Dathan,” sambungku penuh rasa haru. Aku tidak peduli jika Dathan akan langsung menceraikanku setelah bayiku lahir, yang penting orangtuaku tidak menanggung malu karena putri semata wayang mereka hamil tanpa suami. “Kamu sudah baikan sekarang?” tanya Dathan cemas. Dia pasti khawatir calon keponakannya yang ada di perutku kenapa-kenapa. “Ya,” jawabku pelan. Seorang pelayan datang membawakan secangkir teh hangat. “Kamu minum teh hangat dulu ya,” katanya, lalu dia membantuku duduk, mengambil teh dari pelayan dan menyodorkannya ke bibirku. Aku ikut memegang cangkir, melihat Dathan dari balik bulu mataku sekilas sebelum menyeruput teh perlahan-lahan. “Sudah?” tanyanya ketika aku berhenti. Aku hanya mengangguk. Jujur, sikap manis Dathan membuatku jengah, bisa kurasakan aliran hangat yang merambat pada pipiku, juga detak lembut pada jantungku yang kian meningkat. “Kamu harus istirahat, aku akan mengantarmu pulang sekarang.” Aku tidak terlalu suka dengan ide itu, aku masih ingin di sini, setidaknya sampai aku menghabiskan jus durianku. Sepertinya Dathan merasakan keenggananku, saat aku dan dia sudah berdiri, dia bertanya sekali lagi padaku, “Kamu beneran sudah baikan?” Aku melirik Dathan ragu-ragu, kemudian dengan malu-malu berkata, “Jus duriannya boleh dibungkus?” Setelahnya aku benar-benar menyesali ucapanku, apalagi melihat mulut Dathan yang terbuka dengan pupil sedikit melebar. Dia pasti tidak mengira aku senorak ini. Aku berniat membatalkan permintaanku, tapi dia sudah mengiyakan. “Ya, pasti boleh,” ujarnya santai, raut wajahnya sudah berubah seperti biasa lagi. Kemudian dia mendekati seorang pelayan dan berbicara padanya. Tak lama kemudian dia kembali dengan salah satu tangan menenteng telobag, kantong plastik ramah lingkungan yang sekarang umum digunakan di kafe-kafe dan restoran kelas atas. Rupanya dia tidak hanya minta dibungkuskan jus durianku, tapi juga memesan makanan lain. “Jus durian kamu sudah di dalam,” ujarnya sambil tersenyum. “Maaf ya, Pak,” kataku merasa tidak enak hati. “Saya pasti sudah buat Pak Dathan malu.” Senyum Dathan melebar. “Nggak kok, aku malah respect sama kamu,” jawabnya kalem. Aku mengerutkan kening. “Iya, kamu nggak merasa gengsi minta agar minuman kamu dibungkus, itu keren lho.” Apakah ini sebuah pujian? Aku merasa ragu, tapi melihat ketulusan yang terpancar di matanya, aku pun tersipu. Dia tersenyum tipis, kemudian mengajakku keluar dari kafe. ****** Sore ini begitu terik, sisa matahari siang masih memancarkan panasnya. Aku cukup gerah, terutama dengan sorot mata Niken yang tertuju padaku. Sepulang kerja dia langsung masuk ke kamarku, berjalan mondar-mandir tanpa berkata apa-apa, tapi pandangan matanya tidak lepas dariku. Sepertinya dia mulai curiga dengan sikapku dan ingin mencari tahu. Aku bangun dari tiduranku, menghampiri meja. Niken mengikuti dan berdiri di belakangku, memerhatikanku yang sedang membuka laci dan mengeluarkan potongan kuku. Saat aku mulai memotong kuku dia kembali menjauh, berjalan perlahan mendekati lemari. Kemudian mengelus pinggiran lemari, tapi masih dengan sudut mata yang melirikku. Aku membuka lagi laci mejaku dan mengembalikan potongan kuku ke dalamnya, tersentak saat berbalik dan mendapati Niken sudah berdiri di belakangku lagi, melongokkan kepalanya ke dalam laci. Aku mengarahkan bola mata ke atas kesal dengan tingkah sahabatku. “Fine,” kataku gemas. “Jangan mondar-mandir sambil ngelihatin aku kayak gitu terus, bilang aja kamu lagi cari apa, Ken?” “Cari info,” jawab Niken datar. Aku menghela napas. “Nggak usah berbelit-belit deh, ngomong langsung aja kenapa sih,” sungutku sebal. “Oke.” Niken berhenti mondar-mandir, dia berdiri tegak di hadapanku. “Kalau kamu masih anggap aku sahabatmu, ceritakan semua yang kamu sembunyiin sama aku,” tantangnya menatap manikku dalam. “Kok kamu mikir aku nyembunyiin sesuatu sih?” tanyaku pura-pura bingung. “Aku lihat akhir-akhir ini kamu berubah, jadi sering melamun. Terus kemarin aku lihat kamu diantar pakai mobil. Kamu udah punya pacar, Ge? Siapa?” Ekspresi wajahku berubah datar, lalu menggeleng. “Nggak, bukan pacar,” jawabku, “tapi calon suami.” Mulut Niken terbuka lebar, sementara kedua bola matanya terlihat seperti hampir melompat keluar. Aku berbalik memunggungi Niken, dan pura-pura sibuk merapikan meja. “Ge, lo serius?” Suara Niken tercekat. Aku mengangguk. “Sebenarnya kejadian apa yang sudah aku lewatkan, Ge?” keluh Niken, terdengar sekali dia kecewa. “Kukira aku sahabatmu, tapi kamu mau menikah aja aku nggak tahu,” sambungnya sedih. Aku menghela napas. Sungguh, aku sama sekali tidak berniat menyembunyikan ini semua dari Niken. Namun entah kenapa rasanya berat sekali menceritakan masalah tersebut. Seolah dengan bercerita aku diingatkan kembali tentang kebodohan yang telah kulakukan. Aku kembali menghadap Niken, mataku nanar saat menatapnya. “Kamu ingat Darel?” tanyaku serak. Niken mengangguk. “Cowok yang nolong kamu waktu motor kamu mogok, kan?” Aku memejamkan mata dan menarik napas panjang. “Bukan. Dia Dathan,” jelasku setelah membuka mata kembali. “Tapi kamu bilang dia Darel.” Niken terlihat bingung. “Ya, tadinya aku kira dia Darel, tapi ternyata bukan. Cowok yang nolong aku namanya Dathan, saudara kembar Darel. Kamu ingat kita sempat heran kenapa waktu menolongku Darel memakai kemeja hitam, sedangkan sebelumnya kita melihat dia memakai kaus biru? Karena yang menolong aku bukan Darel.” “Ah,” desah Niken mulai memahami penjelasanku. “Dan aku melakukan kesalahan.” Aku gelisah, berjalan ke ranjang dan duduk di tepiannya. “Pada hari setelah Dathan menolongku, aku melihat Darel di restoran. Saat itu aku masih berpikir dia yang telah menolongku. Karena aku belum sempat mengucapkan terima kasih, aku menghampirinya dan mengucapkan terima kasih padanya.” Tarikan napas panjang mengakhiri kalimat yang kuucapkan. Perlahan-lahan Niken menyeret kursi yang ada di depan meja ke depanku dan mendudukinya. “Sialnya Darel nggak menjelaskan apa-apa, dia berpura-pura aku nggak salah orang dan malah mengajakku makan malam.” “Kamu mau?” tanya Niken. Aku mengangguk pelan.”Aku sama sekali nggak sadar sudah masuk perangkap. Malam itu dia bersikap manis sekali, aku percaya dan menurut saja ketika dia mengajakku ke club.” Sampai sini suaraku terasa bergetar. “Aku sama sekali nggk curiga ketika temannya memberiku minuman yang ternyata sudah dibubuhi sesuatu.” “Astaga, Ge….” Niken merengkuhku ke dalam pelukannya. Kali ini pertahananku runtuh, segala beban yang selama ini kupendam rapat-rapat tumpah tak terbendung. Niken mengelus punggungku dengan lembut, dia hanya mendengarkan saja saat aku melanjutkan bercerita di sela-sela isakanku. Entah dia memahami atau tidak, tapi setelahnya aku merasa sangat lega. “Walau aku marah sekali sama Darel, aku nggak bisa berbuat apa-apa, dia sudah meninggal,” ucapku mengakhiri cerita. Aku melepas pelukan Niken, mengambil tisu dan mengelap mata serta hidungku yang berair. “Sudah lama aku nggak nangis,” gumamku tersenyum malu. “Tapi sekarang lega, kan?” Niken ikut tersenyum. Aku mengangguk. Ya, aku lega. Saat ini aku meyakini keadaan pasti akan membaik. “Yang penting, sekarang kamu nggak sendirian lagi. Ada Dathan yang siap bertanggung jawab.” Lagi-lagi aku hanya mengangguk. “Kamu sudah beri tahu Ibuk sama Bapak?” Kali ini aku menggeleng, pandanganku menerawang, memikirkan bagaimana cara memberi tahu mereka tentang kehamilanku tanpa menyakiti hati mereka. Bersambung....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD