IBU DAN ANAK

1003 Words
Zalina melangkah masuk ke sebuah restoran mewah. Ia sudah memesan 1 meja untuknya makan siang bersama Ibunya. Saat masuk, Zalina melihat sang Ibu sedang duduk di meja yang ia pesan sambil menikmati secangkir teh herbal. Zalina pun bergegas menghampiri Khanza Ibunya. "Sudah lama, bu?" tanya gadis cantik itu sambil membuka kacamatanya. Khanza tersenyum saat melihat putri tercintanya itu. "Baru lima belas menit. Banyak pekerjaan di kantor?" tanya Khanza. "Tadi, ada tamu. Hmm, Ibu ajak Lina ketemu siang- siang begini tumben sekali. Ada apa, bu?" tanya Zalina. Zalina dan Khanza memang tidak tinggal serumah. Khanza tinggal di rumah lama mereka. Sementara Zalina tinggal di apartemen miliknya. Bukan tidak pernah Zalina meminta Khanza untuk pindah. Namun, Khanza menolak dengan alasan rumah itu memiliki banyak kenangan. Sementara bagi Zalina rumah itu menyimpan banyak sekali kepahitan. Khanza tinggal di rumah itu bersama Arasy dan suaminya. Sebetulnya Aruga suami Arasy sudah mapan dan memiliki rumah sendiri. Tapi, karena Khanza menolak untuk meninggalkan rumah itu, Aruga memutuskan untuk merenovasi saja rumah itu. "Ibu mau mengenalkanmu pada Maxi, putra dari tante Yosefa. Kamu ingat kan, Lin?" Zalina menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan nya perlahan. Ia menepuk punggung tangan Khanza perlahan. "Bu, ini sudah kesekian kalinya. Zalina masih muda, masih ingin berkarir." "Lin, usiamu sekarang sudah cukup untuk menikah dan memiliki anak." "Bu, aku baru berusia 28 tahun. Jaman sekarang, tidak ada lagi gadis yang menikah di usia 23 tahun. Percuma saja dulu Ibu berkorban banyak untuk menyekolahkan Lina jika pada akhirnya ilmu yang Lina miliki sia- sia." Khanza menatap putri kecilnya yang kini sudah tumbuh menjadi wanita dewasa yang begitu cantik, elegan dan begitu pintar. Bahkan juga cukup mapan. Sayang, Zalina selalu saja menghindar untuk urusan pernikahan. Selalu saja ada alasan gadis itu untuk menolak halus. 5 tahun lalu saat ia baru saja lulus sebagai sarjana hukum, ia mengatakan ingin berkarir. Setelah ia bekerja dan karirnya menanjak, alasannya ia sedang sibuk. Dan, kini alasannya ia masih terlalu muda. "Lin, kau masih membenci lelaki?" tanya Khanza to the point. Zalina memutar bola matanya seraya menghela napas. "Ibuku sayang, lebih baik sekarang kita makan. Ibu mau pesan apa?" Zalina kembali mengalihkan pertanyaan sang Ibu sambil melambaikan tangan pada seorang pelayan. Setelah menyebutkan pesanan mereka, Zalina tersenyum sambil mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. "Ini untuk Ibu. Dan, aku titip ini untuk keponakan- keponakanku ya." Khanza membuka kotak kecil yang di berikan Zalina dan tersenyum saat melihat isinya. "Cantik sekali. Pasti mahal harganya, Lin." Khanza berkata sambil melihat kalung berlian yang di berikan oleh Zalina. "Buat Ibu, nggak ada yang mahal. Sejak kecil Ibu sudah merawatku dan Mbak Acy dengan baik. Dan, sekarang adalah tugasku untuk membahagiakan Ibu." Zalina meraih kalung itu dan memakaikannya di leher ibunya. "Cantik sekali sekarang," ujarnya. Khanza memasukkan kotak perhiasan dan amplop berisi uang ke dalam tasnya. Zalina selalu begitu. Setiap kali bertemu, ia pasti akan memberikan hadiah yang mahal dan juga menitipkan uang untuk Raja dan Ratu keponakannya. Untuk uang bulanan, setiap tanggal 1 ia selalu mengirimkan uang dalam jumlah yang tidak sedikit kepada Khanza. Zalina tau betul bagaimana perih dan sedihnya perjuangan Khanza merawat ia dan kakaknya dulu setelah ayahnya pergi begitu saja karena wanita lain. "Mbak Acy baik- baik saja, bu? Bagaimana dengan toko kuenya?" tanya Zalina. Ia sengaja menanyakan kabar kakaknya supaya ibunya melupakan niatnya untuk memperkenalkannya pada putra sahabatnya. "Toko kue milik kakakmu lumayan maju. Sekarang, Acy memiliki asisten yang dapat di percaya sehingga ia tidak perlu datang pagi-pagi sekali ke toko dan pulang di malam hari. Waktunya sekarang lebih banyak di rumah dan menemani Raja Ratu." "Mas Ruga?" "Ya, seperti biasa bekerja. Mereka baik- baik saja,kau tidak perlu khawatir. Ibu lebih mengkhawatirkan dirimu." Zalina tertawa kecil. "Aku baik- baik saja, bahkan sangat baik. Ibu tidak perlu mencemaskan keadaanku. Jika tiba saatnya aku menemukan pangeran impianku, aku akan membawanya pada Ibu." "Janji?" "Tentu saja aku janji, bu." Setelah selesai makan, Zalina mengantarkan Ibunya pulang dan ia sendiri langsung bergegas kembali ke kantornya. Zalina mengembuskan napasnya dengan kasar. Ia selalu merasa hatinya resah setiap kali Khanza membicarakan tentang pernikahan. Bagi Zalina, pernikahan hanya sebuah penjara yang mengekang kebebasannya. Dan, bagi Zalina lelaki hanya akan menambah masalah. "Tanpa lelaki, aku bisa berdiri tegak," gumam Zalina. Sementara itu di tempat lain, Arista nampak sedang menikmati makan siang bersama Herawati sang Ibu. "Jarang- jarang kita bisa kaya gini kan Mam," ujar Arista. "Kamu harus lebih memanjakan dirimu sendiri, Ris. Memang urusan anak dan suami penting. Tapi, sebagai wanita, kita juga perlu yang namanya 'Me Time'. Itu perlu untuk menjaga kewarasan kita. Sekarang sudah ada asisten rumah tangga baru kan?" "Tapi, aku khawatir pada asisten baru itu. Dia bukan sembarang asisten rumah tangga. Bahkan menurut mbak Natasha dia pernah kuliah." "Kamu khawatir jika Damian akan melirik? Pikiranmu kejauhan, Ris. Nggak usah aneh- aneh. Pikiran negatif hanya akan membuatmu ketakutan dan pada akhirnya, ni wajahmu akan mulai mengeluarkan garis dan kerutan- kerutan." Arista tertawa geli mendengar ucapan Ibunya itu. Herawati memang seorang Ibu yang sangat gaul. Mulai dari penampilan dan lainnya. Tidak akan ada orang yang menyangka bahwa usianya sudah 58 tahun. Penampilannya selalu modis dan elegan. Tidak kalah dengan dokter- dokter muda yang baru berusia 30an. "Kemarin, Mami bertemu tante Karla. Katanya habis arisan ya, di rumahmu? Ibu mertuamu itu hobby sekali sih, arisan. Hobby kumpul- kumpul gitu. Kalau kegiatannya bermanfaat sih nggak apa- apa. Ini paling cuma ghibah sana kemari. Gosip begini dan begitu. Itu sebabnya, Mami malas jika Ibu mertuamu sudah mengajak Mami ikut arisan. Bukan Mami sok sibuk. Tapi, kau tau sendiri kan, jadwal operasi. Belum lagi Mami harus mengajar juga. Lebih baik, waktu yang ada Mami habiskan untuk berduaan sama Papimu atau ya sama cucu- cucu. Nah, bicara soal cucu, sudah lama loh ya Mami nggak ketemu Dominic dan si kembar. Kamu ini keterlaluan sekali, kalau mertuamu ngomel-ngomel lagi, kasi tau Mami. Kadang, Mami suka gemes kalau lihat kelakuan Ibu mertuamu itu, Ris. Ini karena sama kamu ya Mami bicara seperti ini. Karena kamu juga lebih sering mengalah. Sesekali tidak apa, tapi kalau terlalu sering Mami sama Papi nggak pernah mengajarkan kamu untuk menjadi lemah."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD