B.7 Start Planning

1526 Words
Semua orang yang ada di ruangan itu terdiam mendengar ucapan Arsen. Laird menatap dokter itu dengan tatapan tak percaya, apa yang sebenarnya diketahui oleh Arsen sampai dia bisa menyimpulkan semacam itu. "Jaga ucapanmu dokter Arsen," sahut Ratu Zara penuh wibawa. Arsen sama sekali tidak merasa bersalah dengan ucapannya. Lelaki itu malah tersenyum seakan ucapannya itu bukan sesuatu yang bisa membangkitkan amarah orang lain. "Saya hanya mengatakan apa yang saya pikirkan, Yang Mulia. Saya kira Palaciada itu istimewa tapi sepertinya tidak ada yang istimewa untuk itu," ucap Arsen santai. Dokter muda itu menuliskan resep dan menyerahkannya pada Hera. Tapi pandangan matanya masih menatap Ratu Zara. Seulas senyum dia berikan. "Jaga kesehatan Anda Yang Mulia Ratu, ini bukan hanya rasa lelah biasa, bisa saja Yang Mulia menderita sakit lambung yang serius," ucap Arsen menunduk hormat. Dokter itu menjauhi ranjang Ratu Zara, langkahnya terhenti saat dia berada di hadapan Pangeran Laird. "Berhati-hatilah Pangeran, istana ini bisa menyakitimu kapan saja," desis Arsen sambil menarik sudut bibirnya. "Salam sejahtera dan kemuliaan selalu tercurahkan kepada Yang Mulia Ratu dan Putra Mahkota," pamit Arsen berlalu dari ruangan itu. Dokter muda itu merogoh ponselnya dan menelpon seseorang. Tapi matanya masih mengedarkan pandangan untuk melihat suasana istana ini yang nantinya jadi tempat 'bermain' untuknya. "Kalian sudah sampai di sana?" tanya Arsen pelan. Pandangan matanya menangkap satu pemandangan yang menarik untuknya. Dia berjalan ke tempat itu dan memastikan sesuatu. "Iya kita baru masuk gerbang penjaga, sesuai perkiraanmu dan itu membuatku kesal," ucap Reco, asisten Arsen. Arsen tiba di tempat yang membuatnya tertarik, lapangan cukup luas yang biasanya digunakan untuk berlatih beladiri. Masih lekat dalam ingatannya, terakhir kali di tempat itu, dia dan Kailash berlatih bersama. Tapi kali ini ini karena itu terlihat berbeda, banyak sampah daun berserakan seolah tidak terurus. "Oke, tunggu aku, sebentar lagi aku ke sana,"sahut Arsen. "Kamu di mana sekarang?" tanya Reco. "Aku masih di istana, ada banyak hal yang membuat memoriku kembali pada saat Kailash ada disini," sahut Arsen. Reco hanya menghela nafas mendengar ucapan Arsen. "Hati-hati, bagaimanapun juga kamu bukanlah Zeyda, jangan sampai semua orang curiga kepadamu," balas Reco. Arsen mengakhiri panggilannya dan tatapannya masih memandang arena itu. 'Kailash, aku paham apa maksud ucapanmu dulu. Aku janji mengembalikan semuanya seperti kerajaan yang kamu impikan. Aku akan membantu Pangeran Laird mencapai semua itu,' tekad kuat Arsen dalam hati. Tak lama setelahnya Arsen memutuskan pergi dari istana. Dia melajukan mobilnya dan tak sampai 30 menit dia sampai di kafe untuk bertemu dengan Reco dan Gaston. Arsen menghampiri mereka yang ada di salah satu sudut kafe. “Kalian membawa apa yang aku minta?” tanya Arsen sambil menarik kursi dan duduk di hadapan keduanya. Gaston mengangguk pelan, “Beberapa bisa kita bawa karena kita selipkan di baju, tapi tidak semuanya Yang Mulia,” ucap Gaston. Arsen melotot mendengar ucapan Gaston dan dia mengedarkan pandangan. “Hei, biasakan untuk tidak memanggilku seperti itu, lagipula ini di luar istana, lupakan soal statusku,” protes Arsen. Gaston menggaruk tengkuknya, dia lupa jika mereka ada misi penting. “Maafkan saya Yang, maksudku Tuan Arsen,” sesal Gaston. Tapi Arsen masih menggeleng, “Arsen saja, tanpa embel-embel apapun, karena kalian akan dikenal sebagai sahabatku di sini, mengerti,” perintahnya. Keduanya mengangguk paham. “Apa rencanamu selanjutnya?” tanya Reco sambil mengunyah makanannya. Arsen menghela napas dan dia menyandarkan tubuhnya di kursi. “Terlalu banyak informasi yang masuk di sini,” ucapnya pelan sambil menunjuk kepalanya. “Jadi kita butuh ruang untuk menempatkan semuanya,” kata Arsen. “Dimana?” tanya Gaston penasaran diberengi dengan anggukan Reco. “Jujur beberapa hari ini aku belum menemukan sesuatu yang bisa dikatakan menarik atau luar biasa, lebih banyak flashback memori masa laluku dengan Kailash,” keluhnya. Reco dan Gaston paham maksud Arsen, meskipun sudah puluhan tahun dia tak pernah kemari, tapi dia yakin masih ada memori yang membekas dalam ingatan Arsen terkait Kailash. “Tapi aku punya beberapa tindakan yang perlu kita lakukan sekarang,” celetuk Arsen tiba-tiba membuat keduanya fokus mendengarkan. Arsen mengeluarkan tabletnya dan dia sudah membuat konsep dalam satu bagan yang mudah dipahami. “Kita mulai dari sini,” Arsen menunjuk satu bagan berwarna biru. “Kita anggap bagan ini adalah titik awal kita yang menentukan rencana kita bakal lanjut atau tidak,” jeda Arsen. “Jika ingatanku tidak salah, di istana tepatnya di samping taman belakang ada satu gundukan tanah yang bisa tembus ke ruang bawah, di sana juga ada terowongan yang menghubungkan beberapa tempat di Palaciada ini,” kata Arsen menatap keduanya. “Apa terowongan ini menghubungkan ke tempat tinggal kita saat ini?” tanya Reco yang mulai paham maksud Arsen. Lelaki itu menggeleng pelan. “Itulah kenapa aku meminta bantuan kalian, kita harus membuat jalan rahasia untuk bisa keluar masuk istana dengan mudah tanpa ribet dengan urusan penjaga,” ujar Arsen. “Buat dulu cetak biru terowongan yang sudah pernah ada, kerusakan, kemampuan dan semua hal mengenai terowongan itu. Denah itu yang nantinya akan kita pakai untuk pengembangan rencana kita, termasuk soal membuat jalan baru atau tidak,” jelas Arsen. Keduanya mengangguk paham soal tugas ini. Reco memiringkan kepalanya karena dia memikirkan satu hal yang membuatnya tak yakin. “Nasib pekerja nanti bagaimana?” tanya Reco membuat Arsen menatapnya tajam. “Jika aku perlu pekerja, aku tidak akan memanggil kalian, bukan poin mencari pekerjanya di sini,” keluh Arsen. “Kita harus membuat skema evakuasi dahulu, jalur mobilitas yang aman sebelum memulai aksi yang lebih besar. Semua itu akan dibutuhkan saat kita siap mengibarkan bendera perang dan membutuhkan jalur logistic yang aman,” kata Arsen membuka pikiran keduanya. “Kita bukan mencari yang kompeten, tapi kondisinya sekarang kita mencari yang memiliki tujuan sama, tekad yang sama, dengan begitu sebesar apapun rintangan itu pasti tidak akan menyurutkan semangat mereka untuk terus maju,” jelas Arsen. Keduanya mencerna ucapan Arsen dan berpikir kemana mereka mencari orang semacam itu di Palaciada yang nampak sempurna ini. “Kita memiliki banyak waktu untuk melakukannya, jadi kalian tak perlu panik. Bahkan jika kalian ingin mundur sekarang pun tak masalah,” kata Arsen. Keduanya menggeleng cepat. “Kita bakal di sini buat bantuin sampai semua tujuan yang kamu inginkan tercapai,” ucap Reco tanpa ragu. “Apa tidak ada penguasa satu pun di sini yang ada di pihak kita?” tanya Gaston membuat Arsen ingat jika dia berniat menemui Menteri Lukman untuk melakukan negosiasi. “Kedatanganku kemarin dibantu sama Lukman, tapi aku belum yakin dia ada di pihak kita atau tidak,” kata Arsen. Gaston mengingat nama itu dan dia mengungkapkan apa yang ada dalam pikirannya, “Apa itu Lukman yang sebelumnya ada di pasukan pengawalan kerajaan Parsy?” tanya Gaston dan Arsen mengangguk. Reco yang tak tahu masalah itu menatap Gaston dengan tatapan tak terima jika Gaston tahu lebih banyak. “Kok kamu bisa tahu, apa informasinya valid,” sewot Reco. “Dari isu yang beredar Lukman berhenti dari pekerjaannya waktu itu untuk mencari anaknya yang hilang. Anak gadisnya diculik saat dia masih kecil dan dibawa ke kerajaan tetangga, dia dan istrinya sudah mencari ke kerajaan tetangga tapi tak menemukan hasilnya. Namun, sekarang dia menetap di sini dan memiliki jabatan itu artinya ada petunjuk mengarah ke Palaciada ini,” kata Gaston. Arsen memikirkan hal itu, “Jadi maksudmu Lukman memiliki masa lalu yang kurang menyenangkan dengan kerajaan ini?” tanya Arsen dan Gaston mengangguk. Arsen menarik senyumannya yang membuatnya nampak menawan dalam sekejap. “Aku tahu apa yang perlu kita lakukan sembari membuat jalan rahasia itu,” gumam Arsen. “Kita juga perlu mencari masa lalu dari pejabat di sini untuk tahu bagaimana mereka mengawali karier dan mungkin saja akan berguna di masa depan,” usul Arsen. “Tapi dari semua itu yang paling utama adalah membuat ruang kerja untuk kita,” kata Reco dan Arsen setuju masalah ini. “Kalian tinggal di rumahku untuk sementara, ada satu basement yang tidak terpakai, kita bisa menggunakannya dan membuat jalur evakuasi juga,” saran Arsen. Ketiganya menikmati hidangan yang ada di sana sambil memikirkan cara untuk memulai semua ini. Reco teringat satu hal dan dia yang penasaran mulai bertanya. “Arsen, apa kamu tahu kabar Argus setelah puluhan tahun tak memberi kabar apapun kepada kita?” tanya Reco. Arsen memikirkan ucapan Reco, sejujurnya semua ini akan lebih cepat jika Argus terlibat dari awal tapi entah kenapa pria itu lebih memilih menyendiri dan melupakan semuanya. “Apa terjadi sesuatu kepadanya?” tanya Arsen balik. Reco hanya mengangkat bahunya, “Aku kira dia mengirim surat kepadamu selama ini karena kamu nampak tenang meskipun Argus tak ada. Aku rasa jika Argus membantu kita, semua ini akan nampak lebih mudah dan sederhana, karena sedikit atau banyak dia tahu soal masa lalu Raja Adrien,” jelas Reco. Arsen merasa ada yang aneh dengan ucapan Reco. “Kenapa kamu bisa yakin kalo Argus akan membantu kita, kan dia hanya asisten atha selama menjabat di istana sampai akhir hayatnya,” ujar Arsen. Reco menatap Arsen tak percaya, karena bosnya ini sepertinya tak tahu apapun soal Argus. “Jangan bilang kalo kamu ga tahu masa lalu Argus?” selidik Reco. Arsen menggeleng tanpa ragu karena memang dia tak mengetahuinya. “Adrien, maksudku Raja Adrien, kemungkinan anak Argus dengan kekasihnya dulu sebelum dia memutuskan untuk bekerja di istana bersama mendiang Raja Humeera.” *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD