Hari ini, secara mengejutkan seorang Januari Giovano Atmajaya terlihat murung. Laki-laki yang terkenal sebagai sosok paling ceria di antara teman-temannya itu tidak tersenyum sama sekali dan tidak pula berbagi leluconnya seperti biasa. Gio bahkan tidak banyak bicara dan hanya berkata seperlunya saja kepada orang-orang yang mengajaknya bicara.
Saat di kelas, Gio sepenuhnya memfokuskan diri pada penjelasan dosen. Gio yang biasanya paling malas mencatat dan lebih memilih untuk membaca hand out yang diberikan oleh dosennya pun hari ini secara tidak biasa memenuhi catatannya dengan sangat tekun.
Teman-teman kuliah Gio yang melihat tingkahnya tersebut tentunya merasa aneh. Beberapa dari mereka bahkan secara terang-terangan mengatakan bahwa Gio sedang dilanda tamu bulanan. Sementara sebagian lagi beranggapan bahwa Gio sedang ada masalah dengan sang kekasih.
Dan ya, bagi mereka yang berspekulasi seperti itu, patut diberikan nilai A.
Sekarang jam makan siang dan Gio berada di kantin Fakultas Teknik. Sama seperti hari-hari biasanya, pada jam-jam makan siang seperti ini suasana kantin cukup ramai. Gio duduk bersama teman-temannya. Mereka baru saja menghabiskan makanan masing-masing. Di saat teman-temannya asyik mengobrol, Gio lebih memilih bungkam di antara rombongan.
Gio hanya duduk manis di antara teman-temannya, bertopang dagu di atas meja panjang kantin sembari menatap nelangsa ponselnya yang ia letakkan di atas meja. Layar ponsel itu hitam, tidak bergerak, dan melihatnya menimbulkan sebuah dilema untuk Gio.
Hubungi. Enggak. Hubungi. Enggak.
Kurang lebih seperti itulah isi pikiran yang sedang berkecamuk dalam kepala Gio.
“Lagi nungguin hapenya ngedip ya, Yo?”
Gio hampir mendengus begitu ada yang mengajaknya berbicara. Setengah ogah, Gio menghadap ke kanan, mendapati seorang perempuan manis dengan rambut diikat ekor kuda tengah menatapnya dengan pandangan bertanya dan senyum kecil terkulum.
“Hm, kurang lebih begitu.” Gio menjawab setengah mendengus.
Perempuan itu, Kalea, tertawa kecil mendapati reaksi yang diberikan oleh Gio. Melihatnya tertawa, Gio jadi sedikit sebal. Seolah Kalea sedang tertawa di atas penderitaannya. Tapi itu tidak mungkin. Gio tahu, Kalea adalah perempuan yang kemungkinan memiliki paling baik dan paling lemah lembut di jurusan dan angkatannya.
“Kenapa? Kamu lagi berantem ya sama pacar kamu?”
Saking lemah lembutnya, Kalea selalu berbicara menggunakan ‘aku-kamu’ kepada semua orang, ketimbang ‘lo-gue’. Kalea juga tidak pernah berkata kasar dan selalu bertutur sopan. Diam-diam Gio suka berpikir kalau jangan-jangan Kalea ini adalah anggota keluarga keraton alias berdarah bangsawan.
Gio menggaruk kepala yang tidak gatal, ia kesampingkan pikiran sepintas tadi. “Emang keliatan banget ya?” Entah mengapa jawaban itu yang malah keluar, padahal sebetulnya Gio ingin menjawab tidak saja.
“Banget,” angguk Kalea. “Abis nggak biasanya kamu diam kayak gini, murung lagi.”
Gio tertawa garing. “Emang biasanya gue bawel banget ya?”
“Menurut aku sih iya.”
Menurut Rena juga gue bawel banget. Tanpa sadar Gio membatinkan.
Begitu sadar, ia langsung menggelengkan kepala. Ternyata, sudah serindu itu ia pada Rena sampai-sampai semua kegiatan yang ia lalui hari ini selalu membawanya ke pikiran tentang Rena, lagi dan lagi.
Gio kembali dilanda keinginan untuk menghubungi Rena, namun sebagian dari dirinya yang masih jengkel menolak keinginan itu. Egonya yang jarang muncul kini sedang ingin menguasai jalan pikirannya.
“Jadi, kamu betulan lagi berantem sama pacar kamu?” Kalea kembali bertanya.
Sebelum menjawab, Gio terlebih dahulu melirik ke sekeliling, memastikan bahwa teman-temannya yang berada di meja yang sama dengannya dan Kalea sedang tidak memerhatikan. Bisa heboh mereka kalau sampai tahu dan Gio bisa jadi bahan ledekannya. Beruntung, mereka semua sedang sibuk dengan urusan masing-masing. Ada yang sedang mengobrol, fokus pada laptop, bahkan ada yang sedang membaca buku laporan.
“Kurang lebih begitu, Kal.”
“Ohhh, gara-gara apa?”
“Ada masalah kecil biasa lah.”
“Dari kapan berantemnya?”
“Masalahnya sih dari dua hari yang lalu, tapi ributnya baru semalem.”
“Terus, kenapa belum baikan?”
Gio hanya mengangkat bahu, bingung juga harus menjawab bagaimana. “Gue nggak tau.”
“Loh, kenapa nggak tau?” Tanya Kalea. Kening perempuan itu berkerut dan sepasang mata bulatnya memancarkan sorot kebingungan.
“Abisnya gue masih kesel,” jawab Gio akhirnya.
“Tapi di sisi lain kamu juga galau kan ribut sama dia?” Balas Kalea cepat dan telak. Pas sasaran. “Soalnya keliatan banget dari muka kamu, Yo.”
Gio hanya bisa meringis.
“Mending baikan gih, nggak baik loh berantem lama-lama, entar nyesel,” ujar Kalea lagi.
“Serem bener dibilangin entar nyesel gitu.”
Kalea lantas tertawa. Manis. Hingga tawanya itu mampu menarik perhatian beberapa orang di sekitar mereka, Gio sadar itu.
“Aku kan cuma bilang aja,” kata Kalea. “Mending baikan aja biar kamu nggak galau lagi. Kamu minta maaf sana sama pacar kamu, yakin deh pasti dimaafin.”
“Tapi masalahnya bukan gue yang salah,” tukas Gio.
“Loh, terus pacar kamu yang salah?”
“Iya.”
“Dia udah minta maaf?”
“Udah.”
“Tapi belum kamu maafin?”
“Eh.” Gio terdiam.
Kalea tersenyum. “Dosa tau kalau nggak mau maafin orang,” ujar Kalea lembut. “Lagian emang kamu nggak mikir gimana perasaan pacar kamu begitu maafnya nggak diterima? Pasti dia sedih deh. Terus kalau dia nangis, kamu juga jadi dosa.”
Gio menelan ludah. Semalam dirinya terlalu terbawa kekesalan hingga tidak memikirkan hal itu. Yang dipikirkan Gio hanyalah satu kesalahan Rena yang menurutnys fatal hingga maaf pun rasanya tidak cukup. Sekarang, tiba-tiba saja Gio merasa bersalah. Terlebih kala ia teringat bahwa semalam, dirinya juga menyebut Rena egois dan tidak pengertian. Padahal selama ini Gio tahu seberapa keras Rena telah menekan egonya dan mencoba sepengertian mungkin terhadap kesibukan Gio dan semuanya.
Perkataan Kalea tadi seolah menjadi tamparan bagi Gio untuk menyadari kesalahannya. Kalau benar Rena sampai menangis gara-gara dia, Gio tidak akan memaafkan diri sendiri. Soalnya, Gio sangat benci melihat Rena menangis. Rasanya selalu sesak setiap melihat airmata orang yang dicintainya itu jatuh.
Tapi..
… “Pacar gue orangnya tangguh, Kal. Dia susah banget dibuat nangis. Lebih sering marah-marah.”
“Perempuan itu rumit, Gio. Sulit dimengerti perasaannya karena mereka suka menyembunyikan.” Kalea bertopang dagu, memandang Gio sambil sedikit memiringkan kepalanya. “Setangguh-tangguhnya seorang perempuan, itu hanya sekadar topeng. Sebentuk kamuflase untuk menyamarkan perasaan mereka yang mungkin aja terluka.”
Lagi, kata-kata Kalea seolah menamparnya. Kalau tadi di pipi kiri, sekarang di pipi kanan.
Gio tidak terlalu sering mengobrol dengan topik seperti ini pada Kalea. Biasanya mereka hanya mengobrol jika sedang membahas masalah materi kuliah atau karena Kalea yang menimpali lelucon-lelucon Gio yang sering disampaikan laki-laki itu di dalam kelas.
Banyak teman-teman Gio yang lain bilang kalau Kalea itu seperti malaikat. Sudah baik, lemah lembut, cerdas, dan juga perhatian. Setiap ada teman-temannya yang terlihat sedang memiliki masalah, Kalea selalu datang menghampiri dan mengajak mereka berbicara. Meskipun sebetulnya mereka tidak terlalu dekat.
Dan hari ini, Gio menjadi sasaran kebaikan hati Kalea itu. Kata-kata Kalea berhasil mendorong Gio untuk mengesampingkan egonya.
“Gue harus minta maaf sama Rena kalau gitu,” gumam Gio pada diri sendiri.
“Meski kamu nggak salah, minta maaf duluan itu nggak akan rugi kok, Yo.”
“Lo benar, Kal.” Gio mengangguk setuju, lantas ia menyimpan ponsel ke dalam saku celana dan menyandang ransel hitamnya di bahu. “Terima kasih atas pencerahannya. Hati gue terasa terang sekarang.”
Kalea tersenyum lagi. “Aku nggak merasa habis melakukan sesuatu. But, you’re welcome.”
Gio balas tersenyum. Senyuman pertamanya hari ini. “Kita nggak ada mata kuliah lagi kan habis ini?”
Kalea menggeleng. “Nggak ada. Kamu bisa samperin pacar kamu sekarang.”
Senyum Gio semakin merekah lebar. “Gue pergi dulu kalau gitu, Kal. Makasih.”
Setelah itu, Gio berpamitan kepada teman-temannya yang lain. Lalu, ia berjalan keluar dari kantin dengan perasaan yang lebih ringan dan hati yang lebih senang.
Tujuan Gio sekarang, tentunya untuk menemui Rena dan meminta maaf guna memperbaiki hubungannya.
Dalam-dalam langkahnya menuju tempat parkir, sekilas terbersit dalam pikiran Gio tentang Kalea yang ternyata memang ajaib. Pantas saja, banyak teman-temannya yang menyukai Kalea dan mengincar gadis itu sebagai gebetan
Siapapun nanti yang berhasil mendapatkan Kalea, Gio yakin pasti akan sangat beruntung.
Sementara bagi Kalea, dirinya akan merasa sangat beruntung jika bisa mendapatkan Gio.
Karena Kalea diam-diam menaruh hati pada Gio.
Dan ntuk masalah yang satu itu, Gio tidak tahu.
***
Selama di perjalanan pulang, suasana hati Rena benar-benar buruk. Dia yang biasanya selalu mengajak Pak Madun selaku supirnya untuk mengobrol, hari ini memilih untuk diam seribu bahasa dengan pandangan yang tertuju ke luar jendela mobil.
Pak Madun sampai keheranan dengan tingkah majikan yang telah ia antar jemput sejak sepuluh tahun belakangan ini. Rena yang ceria, hari ini nampak murung dan sangat tidak bersemangat.
Yah, seandainya Pak Madun tahu kalau suasana hati Rena yang buruk itu dikarenakan hubungan Rena yang tak kunjung membaik dengan Gio, serta cek-cok dengan Ben sebelumnya. Siapa sangka, hal yang terakhir cukup membuat pikiran Rena terdistraksi hingga jadi seperti ini.
“Mbak, kita udah sampe.”
Benar-benar terdistraksi sampai Rena pun tidak sadar bahwa mobil yang ditumpanginya bersama Pak Madun telah berhenti di garasi rumahnya sejak lima menit yang lalu. Bahkan, Rena tidak sadar jika Pak Madun sudah memanggilnya berkali-kali.
“Mbak Rena.” Pak Madun menjentikkan jari di depan wajah Rena. Barulah Rena tersadar dan menoleh kepada pria paruh baya di sampingnya itu dengan ling-lung. “Eh, kenapa, Pak?”
Pak Madun tersenyum, menampakkan giginya yang sudah tanggal satu. “Mbak Rena daritadi ngelamun sih, jadi nggak sadar ya kalau kita udah sampe?”
“Oh.” Rena menatap lagi dan baru menyadari bahwa mobil kini sudah terparkir rapi di dalam garasi. “Maaf Pak, aku nggak sadar.”
“Nggak apa-apa, Mbak. Tapi, jangan keseringan melamun aja, Mbak, nanti kesambet loh,” canda Pak Madun.
Rena hanya tersenyum singkat membalas candaan tersebut. Lantas, ia membuka pintu mobil. “Aku masuk dulu ya, Pak.”
“Iya, Mbak.”
Rena melompat turun dari mobil dan menutup pintunya pelan. Rasanya sisa tenaga Rena sudah tersedot entah kemana sehingga tubuhnya sekarang terasa lunglai dan benar-benar tanpa semangat. Mungkin saking tidak semangatnya, jika ada angin kencang, dengan mudah tubuh Rena akan terbawa terbang melayang.
Rena berjalan menuju pintu belakang yang tersambung dengan garasi. Namun, begitu ia memutar kenop pintu tersebut, ternyata pintu itu terkunci. Rena berdecak, merasa jengkel tiba-tiba. Hampir saja ia ingin menggedor-gedor pintu itu dengan keras sampai ada yang membukakan. Namun, niat buruk itu ia batalkan seiring dengan akal sehatnya yang masih berjalan.
Dengan langkah yang sangat berat, Rena memutar arah langkahnya. Ia berjalan menuju pintu keluar garasi dan terpaksa harus masuk ke rumah lewat pintu depan. Dalam perjalanan singkatnya itu, wajah Rena kian tertekuk masam. Kalau bunda melihat wajahnya sekarang, pasti bunda akan berkomentar jika Rena benar-benar terlihat jelek dengan wajah seperti itu.
Tapi, biarlah. Rena tidak terlalu peduli. Yang diinginkannya sekarang hanyalah masuk ke dalam kamar dan tidur guna melupakan masalahnya sejenak. Melupakan Gio. Melupakan pertengkaran mereka. Melupakan ketakutannya sendiri.
“Natta!”
Kepala Rena menggeleng cepat. Bagus sekali, pikirnya. Baru saja ia berniat untuk melupakan, kini dirinya malah berhalusinasi mendengar suara Gio.
“Natta!” Suara itu kembali memanggil. Kali ini terasa kian mendekat.
Rena refleks menutup kedua telinganya dengan tangan dan mempercepat langkah menuju pintu rumah. Tetapi, baru saja Rena akan menaiki tangga menuju teras, langkahnya terhenti kala lengannya ditarik lembut dari belakang.
Tubuh Rena otomatis memutar. Dan didapatinya Gio yang sedang berdiri di hadapannya. Tersenyum sembari menatapnya lembut. Rena nyaris ternganga. Diam-diam ia mencubit diri sendiri guna memastikan apakah sekarang dia sedang bermimpi, berhalusinasi, atau memang sedang menghadapi kenyataan.
“Kenapa bengong sih, Yang?” Gio bertanya dengan nada manja khasnya sambil sedikit mencebikkan bibir. Sekarang Rena yakin kalau Gio di depannya memang nyata, bukan sosok sureal yang tercipta karena otak Rena mulai gila.
“Kamu ngapain di sini?” Rena menanyakan itu nyaris mencicit seperti tikus kejepit.
Senyum Gio kian melebar. Ditambah, laki-laki itu mengusap kepala Rena lembut. “Aku tau, ini memang bukan malam Minggu, tapi malam Selasa. Sekarang juga belum malam, masih peralihan siang ke sore. Tapi, nggak salah kan kalau aku mau ngapel?”
“Hah?”
“Lucu ih kamu bengong kayak gitu, bikin tambah sayang. Jadi pengen aku bawa lari ke KUA kamunya.”
Mata Rena mengerjap, sementara Gio cengengesan. Seperti biasa. Seperti tidak terjadi apa-apa.
“Natta kok diem aja sih?”
Rena menggeleng pelan dan bergumam, “Kamu nggak marah lagi?”
“Emang kamu maunya aku marah terus?”
“Ya…enggak. Maksud aku bukan gitu..aku-“
“Aku nggak marah lagi,” potong Gio. “Aku juga nyesel udah marah-marah sama kamu semalem, bilang kamu egois dan segala macem. Maafin aku, ya?”
Kaki Rena rasanya langsung lemas mendengar itu. Pertama, karena Gio sudah tidak marah lagi dan itu merupakan sesuatu yag cukup membahagiakan. Dan yang kedua, Gio yang menatapnya seperti sekarang ini benar-benar membuat Rena meleleh. Padahal tatapan seperti itu sudah sering sekali ia lihat dalam kurun waktu lima tahun ini. Tapi tetap saja Rena selalu luluh tiap kali melihatnya.
Bahkan, Rena hampir menangis.
Baru hampir. Dikarenakan Rena bukan tipe orang yang mudah menangis dan ia pun tidak suka pula menangis di depan orang lain, terutama di depan orang-orang yang ia sayangi.
“Harusnya kan aku yang minta maaf, aku yang salah kok,” kata Rena.
“Nggak sepenuhnya kamu yang salah. Kita sama-sama salah, Natta.”
“Tapi kan-“
“Ssst.” Gio menaruh jari telunjuknya di depan bibir Rena. “Jangan dibahas lagi. Nanti kamu capek.”
“Apaan sih,” gerutu Rena sambil menepis lembut telunjuk Gio.
Apa yang dilakukannya itu pun lantas mengundang tawa dari sang kekasih. Gio tahu, Rena pasti tidak suka dengan adegan menaruh telunjuk di depan bibir. Karena setiap kali mereka menonton film yang ada adegan seperti itu, Rena pasti langsung berkomentar bahwa adegan itu sangatlah alay dan sinetron abis.
Meski begitu, Gio masih bisa melihat semburat merah muda yang menghiasi kedua pipi Rena. Ah, gadisnya itu tersipu. Lucu sekali. Manis. Bikin Gio jadi gemas dan tidak bisa menahan diri untuk membawa Rena ke dalam pelukannya.
Berbeda dengan pelukan di malam Minggu sebelumnya, pelukan kali ini terasa jauh lebih hangat dan lebih membahagiakan. Di dalam pelukan Gio, Rena tersenyum senang. Gio pun juga begitu. Senang karena mereka telah berbaikan semudah itu.
“Aku nggak pernah bisa lama-lama marah sama kamu, Natta.” Gio berujar sembari mengusap-usap kepala Rena. “Soalnya kalau kelamaan marah, entar aku malah dibawa ke UGD. Soalnya aku sakit karena terlalu kangen.”
***
“Heran deh, Yang, Rion kok mirip banget ya sama Rean kalau lagi tidur kayak gini?”
Rena yang sedang sibuk membereskan mainan-mainan milik Rion, adiknya, yang berserakan di lantai, mau tidak mau menoleh pada Gio atas apa yang barusan dikatakan oleh laki-laki itu. Ada senyum kecil yang terbit di bibir Rena begitu melihat Gio yang tengah memerhatikan Rion yang sedang tidur dengan saksama.
“Rean kan kakaknya, wajar dong kalau mirip?” Balas Rena, sebelum kembali memungut potongan-potongan lego ke dalam kotak mainan Rion.
“Iya sih,” gumam Gio yang masih belum melepaskan pandangannya dari wajah tertidur Rion. Sedikit takjub juga karena menyadari kemiripan yang cukup besar antara bocah tiga tahun itu dengan kakak sulungnya. “Tapi, semoga aja Rion gedenya nggak nyebelin kayak Rean.”
Rena tertawa. “Iya, semoga yang mirip cuma mukanya aja.”
Gio mengangguk setuju. Lantas, ia menolehkan kepala untuk melihat Rena yang masih membereskan mainan-mainan adiknya. “Mau aku bantuin nggak, Yang?”
“Oh, dengan senang hati.”
Gio pun bangkit dari tempat duduknya di tepi tempat tidur Rion dan berjalan mendekati Rena, kemudian berjongkok dan mulai melakukan apa yang dilakukan oleh Rena, memunguti mainan-mainan Rion.
Sekarang, mereka berdua memang sedang berada di dalam kamar Rion. Setelah berbaikan tadi, Gio pun memilih untuk menghabiskan waktu bersama Rena di rumahnya. Kebetulan, di rumah juga ada Rion. Dan begitu melihat sosok Gio datang, Rion langsung kegirangan dan mengajak Gio bermain.
Hubungan Gio dan Rion memang bisa dibilang dekat. Gio sudah menganggap Rion sebagai adiknya sendiri, begitupun dengan Rion yang menganggap Gio sebagai kakaknya. Bahkan, kedekatan Gio dan Rion kerap kali membuat Rean iri karena menganggap Rion lebih dekat dengan Gio daripada dengannya yang merupakan kakak kandung Rion sendiri.
Tapi mau bagaimana lagi, Gio juga sudah mengenal Rion sejak bocah itu masih bayi sehingga keakraban di antara mereka berdua pun sangatlah erat. Selain sudah mendapat lampu hijau dari kedua orangtua Rena, Gio juga sudah mendapat lampu hijau dari si kecil Rion. Kalau lampu hijau dari Rean sih tidak usah ditanya lagi.
“Aduh, kamu sama Rion tuh emang pinter ya bikin ruangan berantakan,” keluh Rena setelah selesai membereskan kamar Rion yang tadinya amburadul. Ia terduduk di tengah karpet bermotif hewan di kamar itu.
Gio hanya tersenyum sumringah. “Namanya juga anak cowok,” katanya setelah menutup kotak tempat mainan Rion.
“Anak cowok emang ajaib, mainannya aneh-aneh,” ujar Rena yang mengingat permainan antara Gio dan Rion sebelumnya. Yaitu sebuah pertarungan antara Iron Man dan Monster Ingus. Dimana keduanya sama-sama memakai topeng kemudian saling mengejar di sekitar ruangan sambil mengeluarkan jurus masing-masing dan menodongkan senjata yang mereka bentuk dari lego. Bisa ditebak, Gio adalah sosok Monster Ingus itu. Rena sampai heran kenapa Gio menamai dirinya seperti itu, padahal topeng yang ia kenakan tadi adalah topeng Hulk. Rion sih tidak masalah akan hal itu, yang ada dia malah senang. Berlagak seperti Iron Man betulan, Rion mengejar-ngejar Gio dan berkata ingin membasmi sang Monster Ingus supaya berhenti membuat orang-orang di seluruh dunia ingusan.
Kalau bunda tahu bahwa Gio telah m*****i pikiran Rion tentang hal-hal jorok semacam ingus begitu, Gio pasti bakalan kena omel. Untungnya bunda dan ayah belum pulang, masih sibuk mengurusi pekerjaan masing-masing. Rean juga belum pulang. Di rumah hanya ada Rena, Gio, Rion, Pak Madun, dan Mbak Nadia.
Setelah tuntas membereskan kotak-kotak mainan milik Rion, Gio pun ikut duduk di samping Rena di atas karpet. Sesaat mereka sama-sama berdiam diri tanpa berbicara, hanya menikmati momen yang ada sembari mendengarkan dengkuran halus Rion yang tertidur setelah asyik bermain.
Rena menyandarkan kepalanya bahu Gio dan dengan senang hati laki-laki itu membiarkannya. Sebagai ganti, Gio merangkul Rena. Erat. Berharap rangkulan itu akan mampu menyalurkan rasa rindunya yang masih saja menggebu.
“Rasanya udah lama banget ya kamu nggak main ke rumah, nggak main bareng sama Rion kayak tadi,” ujar Rena.
“Hmm, iya,” angguk Gio. “Udah lama juga nggak ketemu ayah sama bunda. Pasti mereka kangen deh sama aku.”
Rena mencibir. “Kepedean banget kamu.”
“Oh jelas aku harus pede dong, Natta. Kan biar dapet restu dari calon mertua. Hehe.”
Rena menyikut perut Gio pelan. Tak bisa dipungkiri bahwa perkataannya tadi sukses membuat Rena tersipu. “Kamu mikirnya kejauhan.”
“Loh.” Gio menunduk menatap Rena. “Aku ngomong gitu kan karena aku serius sama kamu. Aku pacaran sama kamu bukan buat main-main lagi loh. Mikirnya udah ke masa depan.”
Rena kian tersipu. Wajahnya pasti sudah berubah warna. “Apaan sih.” Rena berkilah karena keseriusan Gio kala mengatakannya sukses membuat salah tingkah.
Gio jadi gemas. Dicubitnya pipi Rena. “Lucu banget sih kalau mukanya lagi merah kayak gitu. Malu ya kamu?”
“Enggak kok.”
“Hu, dasar pembohong yang payah,” ledek Gio.
“Bagus dong. Daripada jadi pembohong yang handal entar malah banyak dosa.”
“Betul juga ya, hehe.”
Melihat Gio yang kembali cengengesan, Rena jadi ikut tersenyum. Inilah yang Rena suka dari Gio, laki-laki ini pintar menularkan aura positif pada orang di sekitarnya. Dan juga, Gio selalu bisa memperbaiki hari-hari Rena, bahkan yang terburuk sekalipun.
Kalau saja mereka bisa seperti ini setiap hari pasti akan sangat menyenangkan.
“Oh, iya, Gi.” Rena kembali menegakkan tubuh dan kini duduk menghadap Gio. “Kamu besok ada kelas?” Tanya Rena.
“Ada, tapi cuma satu mata kuliah,” jawab Gio. “Emangnya kenapa?”
Rena baru saja melemparkan kode, sebenarnya. Sama seperti Rean, Rena juga punya rasa gengsi yang cukup tinggi sehingga lebih suka bermain kode daripada mengutarakan apa yang ia inginkan secara langsung. “Nggak apa-apa sih, nanya aja.”
Gio yang tentunya sudah paham langsung tersenyum jahil. “Beneran?”
“Ya, bener.”
“Oh, yaudah kalau gitu.”
“Aku besok nggak ada kelas loh,” ujar Rena lagi. “Tapi aku ada pemotretan buat clothing line temen aku.”
“Dari pagi?”
“Enggak dari pagi juga sih, mungkin mulainya sekitar jam sepuluh atau jam se-“
Apa yang ingin dikatakan Rena selanjutnya terpotong oleh dering ponsel Gio yang nyaring. Gio cepat-cepat langsung menarik ponselnya dari saku celana. “Mama telepon,” ujar Gio setelah melihat nama pemanggil di layar ponsel, bahkan ia menunjukkan layarnya pada Rena.
“Aku angkat telepon dulu ya,” kata Gio cepat, lantas ia segera bergegas keluar dari dalam Rion, takut-takut kalau dering nyaring ponselnya tadi malah akan membangunkan calon adik iparnya itu.
Rion memang sempak bergerak kecil dan merengek sebentar akibat keributan sesaat. Rena segera menepuk-nepuk cepat paha adiknya sampai kembali tenang dan tidur dengan pulas lagi.
Tak sampai semenit kemudian, Gio kembali masuk ke dalam kamar Rion. Ada kerutan di dahi laki-laki itu begitu masuk dan Gio terlihat berpikir sambil memegang dan memandangi ponsel selagi ia berjalan.
Melihatnya membuat Rena mencetuskan pertanyaan, “Kenapa, Gi.”
“Mama nyuruh aku pulang sekarang, ada yang mau diomongin katanya.”
“Mau ngomongin apa emang?”
“Nah itu dia, aku nggak tau, Natta,” kata Gio. “Lagian tumben-tumbenan juga aku jam segini udah disuruh pulang.”
Rena sedikit kecewa mendengarnya. Mereka baru sebentar menghabiskan waktu berdua. Tadi pun Gio dimonopoli oleh Rion sepenuhnya dan sekarang Gio malah diharuskan untuk pulang. Rena menghela napas pasrah. “Yaudah, kamu pulang gih. Siapa tau yang mau diomongin sama mama kamu itu penting banget.”
Gio juga terlihat berat hati meninggalkan Rena. Bagaimanapun juga, Gio pun merasakan hal yang sama dengan Rena. Mereka baru sebentar menghabiskan waktu bersama. “Tapi aku belum mau pulang,” rengek Gio seperti Rion yang merengek jika hendak meminta es krim. “Masih mau sama kamu.”
Rena bangkit berdiri dan menarik Gio pelan untuk keluar dari kamar Rion. “Nggak boleh gitu, tau. Kamu harus pulang dulu, temuin mama kamu.”
“Tapi, kan-“
“Gio jangan bandel,” ujar Rena dengan tatapan memperingatkan yang selalu bisa membuat Gio menurut.
Meski dengan berat hati dan bibir yang mencebik manja, Gio pun mengiyakannya.
Rena berjalan mengantar Gio hingga keluar rumah. Untung saja keadaan rumah sepi, jadi tidak ada yang melihat dan akan meledek jika tahu Rena dan Gio bergandengan tangan dalam perjalanan dari kamar Rion menuju pintu depan.
Apalagi kalau ada ayah, pasti mereka akan diledek habis-habisan.
“Yaudah, aku pulang dulu ya,” ujar Gio setelah mengenakan sepatunya di teras rumah.
Rena mengangguk. “Hati-hati, ya. Jangan sok jadi pembalab.”
“Iya, Natta.”
“Yaudah.”
Gio masih berdiam di tempatnya berdiri, menatap Rena lekat seolah tak mau pisah.
Sebelah alis Rena terangkat. “Kenapa lagi?”
Gio maju mendekati Rena, lalu mengecup puncak kepala Rena. “Besok kamu pulang pemotretan aku jemput. Besok kita harus nge-date.”
Rena tak sempat merespon perkataan Gio karena laki-laki itu sudah terlebih dahulu melarikan diri menuju mobilnya. Meninggalkan Rena dengan jantung yang berdebar dan rasa hangat yang menjalari wajah.