Rena masih ingat dengan jelas saat dimana dirinya mengenal seorang Januari Giovano Atmaja untuk yang pertama kalinya. Karena bagi Rena, bertemu dengan Gio adalah sesuatu yang sangat berkesan dan tidak akan pernah bisa ia lupakan seumur hidup.
Sebenarnya, pertemuan Rena dan Gio biasa-biasa saja, tidak spesial maupun luar biasa. Karena suatu momen tidak harus spesial atau luar biasa untuk selalu terkenang. Terkadang, yang dibutuhkan momen itu untuk selalu melekat dalam benak hanyalah orang yang tepat.
Dan bagi Rena, Gio adalah orangnya.
Mereka bertemu bertahun-tahun yang lalu, di saat keduanya masih merupakan bocah kelas empat SD yang mengenakan seragam putih merah dan masih bertampang polos nan lugu.
Gio merupakan seorang murid pindahan dari luar kota yang kebetulan ditempatkan pada kelas yang sama dengan Rena. Saat itu, Gio bertubuh kurus dan pendek—Rena bahkan lebih tinggi darinya, giginya ada yang ompong, serta rambutnya selalu berpotongan cepak dan tak pernah dibiarkan panjang. Penampilan Gio memang biasa saja, tidak seperti anak seusianya yang memang sudah tampan bahkan sebelum menginjak masa pubertas. Meski begitu, Gio merupakan seseorang yang supel dan mudah bergaul, sehingga tak sulit untuknya beradaptasi sebagai siswa baru.
Sementara Rena, dia merupakan ratu di kelasnya. Perempuan yang bisa dikatakan paling cantik dan mencolok dengan sifatnya yang ceria, serta gayanya yang menggemaskan. Setiap hari, Rena pergi ke sekolah dengan beragam model kuncir rambut yang berbeda-beda—hasil karya bundanya tersayang. Rena juga punya barang-barang lucu yang merupakan hadiah atau oleh-oleh dari ayahnya tiap kali selesai bepergian. Karena itu, tak jarang teman-teman Rena banyak yang menirunya sehingga Rena menjadi panutan dan ia pun punya kelompok pertemanannya sendiri yang bisa dikatakan populer di kalangan anak-anak SD pada jaman itu.
Semasa SD, hubungan Rena dan Gio tidak bisa dikatakan baik. Keduanya sering ribut karena berbagai macam hal. Mulai dari saling mengejek hingga saling menjahili. Dan biasanya, Gio lah yang memulai keributan hingga membuat Rena kesal. Hal yang paling sering dilakukan oleh Gio adalah merusak kunciran rambut Rena. Tetapi, berbeda dengan teman-temannya yang seringkali menangis setiap kali dijahili, Rena sama sekali tidak pernah menangis dan justru selalu melawan dengan galak. Untuk itu, Gio kecil dibuatnya penasaran.
Di masa SMP, Rena dan Gio kembali dipertemukan dalam satu sekolah. Hanya saja, setelah tiga tahun sebelumnya berada di kelas yang sama, kali ini mereka tidak berada dalam satu kelas. Gio justru sekelas dengan Ben dan Rean.
Siapa sangka, berawal dari menjadi teman sekelas, Gio yang saat SD dulu hanya mengenal Rean sebagai kembarannya Rena dan mengenal Ben sebagai teman sekelasnya Rean pun pada akhirnya terikat dalam suatu pertemanan dekat—bisa dikatakan bersahabat—dengan dua orang itu.
Dan semenjak mereka bertiga berteman akrab, hubungan Gio dan Rena ikut membaik. Mereka tidak lagi ribut karena saling mengejek atau saling menjahili. Mungkin karena mereka beranjak remaja dan merasa sudah bukan saatnya lagi melakukan sesuatu yang kekanak-kanakkan begitu.
Lalu, karena Rena kerap kali ikut bergabung di saat Gio dan Ben datang ke rumahnya untuk bermain bersama Rean, pertemanan Rena dan Gio jadi lebih dekat daripada sebelumnya. Dan lambat laun, di saat masa pubertas mulai terjadi pada mereka semua, Rena sadar bahwa Gio telah berubah dari Gio di masa SD dulu.
Gio sudah tidak lagi pendek dan ia sudah sedikit lebih tinggi dari Rena. Badannya pun sudah mulai berisi dan tidak terlalu kurus lagi. Gigi-gigi Gio yang dulunya ompong pun sudah tumbuh dengan sempurna dan membentuk deretan gigi-gigi yang rapi. Rambutnya yang dulu selalu berpotongan cepak juga sudah mulai berani dibiarkan sedikit panjang—hasil bergaul dengan Ben. Akibat perubahan-perubahan tersebut, Gio yang awalnya biasa-biasa saja pun jadi tidak lagi terlihat biasa-biasa saja.
Selain penampilan, dari segi sikap pun Gio banyak berubah. Walau tingkah konyol dan jahilnya masih sering muncul, tetapi Gio sudah tidak semenyebalkan dulu. Gio sudah bukan anak-anak lagi, melainkan seorang remaja yang bisa bersikap selayaknya seorang gentleman.
Dan untuk itu, Rena juga merasa dirinya berubah. Jika melihat Gio, Rena pasti akan merasa senang. Jika Gio menatap matanya terlalu lama atau tanpa sengaja menyentuh tangannya, pipi Rena akan bersemu. Dan jika mendapat pesan atau telepon dari Gio, jantung Rena pasti akan berdebar-debar kencang.
Di semester kedua kelas delapan, Rena sadar kalau ia mulai melihat Gio sebagai laki-laki. Rena diam-diam mengakui kalau ia menyukai Gio. Tidak tahu apakah Gio cinta pertamanya atau bukan, yang jelas Gio adalah cinta monyetnya Rena.
Setelah sadar dengan perasaannya, Rena pun berusaha untuk selalu dekat dengan Gio dan menjaga agar komunikasi mereka tetap baik. Rena memang tidak berharap untuk bisa menjadi pacar Gio karena ia juga beranggapan bahwa saat itu mereka masih terlalu muda untuk memikirkan hal-hal semacam pacaran. Dan bagi Rena, tidak perlu jadi pacarnya, asal bisa selalu dekat dengan Gio pun sudah cukup.
Lalu, pada awal-awal tahun terakhir SMP mereka, muncul Ben yang secara tiba-tiba datang menyatakan perasaan sukanya kepada Rena, serta meminta Rena untuk jadi pacarnya. Tentu saja, pengakuan dan permintaan Ben itu Rena tolak. Alasannya, tentu karena Rena menyukai Gio, bukannya Ben. Dan juga, Rena tidak terlalu suka dengan kebandelan Ben yang menurutnya keterlaluan.
Kejutan lain datang pada keesokan harinya. Sama seperti hari kemarin, datang lagi seseorang yang mengungkapkan perasaan suka kepada Rena dan meminta Rena untuk menjadi pacarnya. Dan orang ini adalah Gio.
Pada saat itu, Rena benar-benar bahagia. Walau tidak pernah berharap untuk menjadi pacar Gio, tetap saja rasanya menyenangkan mengetahui bahwa laki-laki itu memiliki perasaan yang sama kepadanya.
Tanpa ragu, Rena menerima Gio, dan sejak saat itu, mereka berpacaran. Gio adalah pacar pertama Rena, begitupun sebaliknya, Rena adalah pacar pertama Gio.
Pada awalnya, Rena tidak berekspetasi apa-apa terhadap hubungannya dengan Gio. Ia tidak ingin terlalu serius dan menganggap bahwa hubungan mereka hanya sekadar cinta monyet biasa yang pada akhirnya akan kandas juga tanpa perlu waktu yang lama.
Nyatanya, Rena salah. Setelah melewati banyak suka dan duka, hubungan yang pada awalnya hanya sebatas cinta monyet antara dua remaja tanggung itu ternyata sanggup dipertahankan hingga lebih dari lima tahun lamanya, memberi banyak warna-warni dalam kehidupan Rena, serta membuat banyak momen-momen yang tak terlupakan dengan kehadiran Gio di dalamnya.
Kini, mereka bukan lagi dua orang yang masih mengenakan seragam putih biru dan menyandang status pelajar SMP. Rena dan Gio sudah dewasa, usia mereka sudah menginjak kepala dua. Dan menjadi orang dewasa berarti semakin banyak masalah yang akan dihadapi, termasuk masalah tentang hati.
Lebih dari lima tahun berlalu dan sekarang Rena sadar bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini akan mencapai titik kadaluwarsanya, apapun itu. Mulai dari makanan dalam kemasan, mobil mewah yang bisa melesat dengan kecepatan tinggi, hidup seseorang, hingga alam semesta ini pun punya titik kadaluwarsanya.
Maka, jika alam semesta sebesar ini saja punya titik kadaluwarsa, masa dimana semuanya akan mati, apalagi rasa cinta yang usianya bahkan tidak sampai setitik jika dibandingkan dengan usia alam semesta.
Dan firasat Rena sekarang mengatakan bahwa sebentar lagi giliran hubungannya dan Gio yang akan mencapai titik kadaluwarsanya.
“Kamu bohongin aku.” Rena baru bisa berbicara setelah dirinya benar-benar merasa muak karena terjebak dalam keheningan yang baginya menyesakkan. Kedua tangan Rena terkepal erat di sisi tubuhnya, sementara kepalanya tertunduk menatap sepatu yang ia pakai. Rena menolak untuk menatap Gio yang ada di sampingnya.
Setelah beberapa hari tidak saling menghubungi karena permasalahan kemarin, hari ini mereka sepakat untuk bertemu di taman komplek perumahan Rena untuk menyelesaikan apapun itu masalah yang harus mereka selesaikan.
“Kamu waktu itu nggak sakit. Aku liat sendiri waktu kamu keluar dari rumah Ben.” Rena melanjutkan perkataannya saat Gio masih belum memberikan jawaban. Laki-laki itu hanya duduk diam sambil menatap lurus ke depan dengan tatapan kosong.
Ini adalah kali pertamanya bagi mereka duduk berdampingan dan begitu dekat, namun di saat yang sama merasa begitu canggung. Dan entah mengapa, Rena merasa bahwa kecanggungan ini sulit untuk dimatikan.
“Iya, aku emang bohong.” Tidak lama kemudian, Gio memberikan jawaban yang merupakan sebuah pembenaran.
Rena ingin tersenyum pada diri sendiri karena Gio tidak menyangkal tuduhan terhadapnya.
“Aku nggak akan tanya kenapa kamu bohong, Gi,” Rena berujar pelan. “Soalnya aku ngerti kalau kamu bohong pasti karena kamu ngilang sehari sebelumnya.”
Gio kembali membenarkan dengan sebuah gumaman dan anggukan kepala samar.
“Aku cuma mau tau, alasan kamu menghilang di hari itu? Kamu kemana, Gi?”
Di samping Rena, Gio menghela napas tertehan. Barulah ia menolehkan kepala pada Rena dan menggenggam tangan perempuan itu yang tergeletak di atas bangku taman yang mereka duduki.
“Aku nggak bisa jelasin ke kamu, Natta. Setidaknya nggak sekarang.”
“Kenapa?”
“Aku nggak bisa.”
“Kenapa nggak bisa?”
Gio terdiam sejenak sebelum menjawab, “Maafin aku.”
Rena menarik tangannya dari genggaman Gio. “Aku butuh penjelasan, Gi, bukan permintaan maaf.”
“Tapi aku nggak bisa jelasin sekarang.”
“Berarti ada sesuatu yang kamu nggak pingin aku tau.”
“Bukan kayak gitu Natta, aku cuma-“
Rena memotong perkataan Gio, bersamaan dengan bayang-bayang wajah Kalea di dalam pikirannya yang muncul. “Jangan-jangan ini ada hubungannya sama cewek yang namanya Kalea itu?”
Gio sendiri nampak terkejut mendengar nama Kalea disebutkan. “Kenapa kamu malah bawa-bawa Kalea sih? Dia nggak ada hubungannya sama ini semua.”
Padahal sudah sewajarnya jika Rena membawa nama Kalea ikut dalam masalah mereka. Rena memergoki Gio jalan berdua dengan perempuan itu. Dan walaupun alasannya adalah untuk mengerjakan tugas, hanya Tuhan yang tahu jika ada sesuatu yang terjadi di antara mereka atau tidak.
“Kalau aku bilang aku nggak percaya, kamu mau jawab apa, Gi?” Rena menatap Gio lurus tepat di manik mata, berharap semoga dengan begitu ia mampu menyalurkan semua perasaan yang beberapa hari ini ia rasakan.
“Atas dasar apa kamu nggak percaya?”
“Karena jelas kan, kamu bohongin aku di hari yang sama dengan kamu yang berduaan sama dia. Nggak salah dong kalau aku curiga?”
“Kamu pikir aku selingkuh sama Kalea?” Gio balas bertanya, raut wajahnya sedikit berubah. Gio terlihat terluka akibat tuduhan Rena itu.
“Kenapa enggak? Dia kan manis dan kayaknya juga baik. Terus, dia ketemu kamu jauh lebih sering daripada aku.”
“Sedangkal itu ya pikiran kamu tentang aku?” Gio balas bertanya, raut wajahnya sedikit berubah. Gio terlihat terluka akibat tuduhan dari Rena itu.
Tapi, seharusnya Gio tahu kalau Rena lebih terluka. “Kamu juga nggak berusaha untuk ngehubungin aku dan meluruskan semuanya, jadi wajar dong kalau aku berprasangka buruk?” “Sejak kita beda kampus, susah payah aku nahan diri supaya nggak egois dan mencoba mengerti keadaan kita. Aku selalu berpikir positif tentang kamu dan kesibukan kamu. Tapi, ngeliat bukti kamu berdua sama cewek lain, rasanya kepala aku mau meledak karena emosi yang selama ini aku tahan terlanjur tumpah. Kemarin-kemarin aku bisa sabar, tapi kayaknya sekarang nggak lagi.”
Gio diam sejenak. Ia sudah mengalihkan pandangannya dari Rena dan kembali memandang lurus ke depan pada hamparan rumput yang melapisi taman tempat mereka berada. Rena juga menyadari bahwa tangan Gio terkepal. Dan biasanya, Gio mengepalkan tangan di saat sedang menahan sesuatu.
Hingga pada akhirnya, Gio bergumam, “Yaudah kalau gitu.”
“Yaudah?”
“Kita putus aja.”
Apa yang dikatakan oleh Gio itu bak sebuah petir yang menyambar langsung ke hati Rena. Gadis itu tercekat di tempatnya. “Putus?”
“Iya, putus,” ujar Gio datar.
Rena ingin tertawa. Jadi, firasatnya berkemungkinan benar. “Semudah itu kamu bilang putus, Gi?”
“Bukannya kamu ngomongin ini semua untuk minta putus?” Gio menghela napas. “Lagipula, hubungan ini udah nggak sehat, Natta. Kamu udah nggak percaya lagi sama aku, sementara penunjang utama dalam suatu hubungan adalah kepercayaan. Kalau satu di antara kita udah nggak saling percaya lagi, hubungan ini pastinya nggak akan sama kayak sebelumnya. Aku yakin, kalau hari ini kita baikan, di hari berikutnya nggak ada yang bisa jamin kita bakalan baik-baik aja.”
“Aku cuma minta kamu untuk ngasih tau alasan kamu menghilang di hari itu dan aku juga cuma menyampaikan apa yang aku rasain. Aku nggak minta kayak gini.”
“Kalau kamu aja nggak percaya sama aku, gimana aku bisa cerita yang sebenarnya?”
Rena kehabisan pembendaharaan kata, merasa tertohok dengan pertanyaan retoris dari Gio. Rena yang awalnya merasa emosi, kini justru merasa bersalah. Ditundukkannya kepala, “Kita udah pacaran lebih dari lima tahun, Gi, dan semudah itu kamu minta putus tanpa ada niat mempertahankan sedikitpun?”
“Hubungan yang lebih dari sepuluh tahun aja bisa kandas, apalagi kita,” ujar Gio seraya bangkit berdiri. “I’m sure, you will find someone better than me.”
“Gio,”
“Mungkin emang sekarang lebih baik kita udahan aja, Natta,” Gio melanjutkan. Lalu, diusapnya pelan puncak kepala Rena. “Supaya kita nggak saling menyakiti.”
Setelahnya, Gio melangkah menjauh, meninggalkan Rena. Tanpa mengucap sepatah kata lagi, tidak juga berbalik sedikit pun.
Rena masih membeku di tempatnya duduk. Walau sudah berfirasat tentang hal ini yang akan terjadi, tetap saja Rena tidak bisa mengantisipasi rasa sakit yang hadir sesudahnya. Rena jadi teringat akan pesan Ben padanya beberapa hari yang lalu.
Don’t lose hope on him. Don’t let him go.
“Tapi gue nggak bisa nahan kalau dia sendiri yang mau pergi.” Rena bergumam sambil menatap langit yang ternyata berwarna muram karena mendung. Mungkin sebentar lagi langit akan menumpahkan airnya, menggantikan Rena yang tidak ingin menangis walau hatinya pedih.
Langit mendung itu juga merupakan saksi bahwa tepat hari ini, hubungan Rena dan Gio telah mencapai titik kadaluwarsanya.
Mencapai akhir.
Selesai.