Bagus seketika menelan ludahnya kasar. Mana mungkin dirinya memegang benda yang biasa digunakan untuk menutup area privasi wanita? Benda mungil tersebut nampak tertata rapi di dalam lemari pakaian miliknya dan masih terasa asing dimatanya.
"Mas Bagus! Kenapa lama sekali? Aku kedinginan tau," sahut Tiara tiba-tiba saja membuka pintu kamar mandi lalu mengeluarkan kepalanya dari celah pintu. "Kamu lagi apa, Mas? Astaga! Kenapa malah diliatin aja sih? Buruan ambilin pakaian aku!"
Bagus semakin merasa gugup. Dia menoleh sejenak ke arah kamar mandi lalu kembali menatap lemari pakaian. Otaknya seketika melayang membayangkan tubuh polos istrinya yang sebenarnya halal. Jangankan untuk di pandang, untuk di sentuh pun sebenarnya sah-sah saja dia lakukan karena mereka memang pasangan suami istri.
"Eu ... kamu mau pakai baju yang mana? Saya bingung," sahut Bagus beralasan.
"Terserah, ambilkan yang mana aja, Mas. Pakaian dalamnya jangan lupa," ujar Tiara mulai merasa kesal.
"Ini pa-pakaian da-dalamnya gimana? Bisa gak kamu ambil sendiri?" tanya Bagus terbata-bata merasa enggan untuk meraih, apa lagi menyentuh benda mungil tersebut.
"Apa kamu mau aku keluar dalam keadaan seperti ini?" Tiara balik bertanya seraya menatap sinis wajah Bagus. "Kamu yakin tak akan tergoda nantinya? Aku 'kan ikan segar yang menggiurkan?" celetuk Tiara kembali menutup pintu kamar mandi.
Bagus seketika mendengus kesal. Lagi-lagi, istrinya ini mengatakan kalimat yang pernah dia ucapakan. Laki-laki itu meraih satu stel pakaian tidur juga pakaian dalam istrinya, dengan ragu-ragu menentengnya seolah benda tersebut adalah benda yang menjijikan.
''Astaga! Apa-apaan ini,'' gerutu Bagus di dalam hatinya.
Dia pun berjalan ke arah kamar mandi lalu berdiri dengan memunggungi pintu. Laki-laki itu memejamkan kedua matanya sejenak lalu mulai mengetuk pintu tersebut.
"Tiara," sahutnya singkat.
Tiara membuka pintu kamar mandi lalu mengeluarkan telapak tangannya saja, sementara tubuh setengah polosnya tersembunyi di balik pintu.
"Mana, berikan padaku," pintanya ketus.
Bagus menyerahkan pakaian yang dia bawa tanpa menoleh. Jantung laki-laki itu semakin berdetak tidak karuan. Pikirannya pun kembali membayangkan tubuh molek istrinya.
''Ya Tuhan, lindungilah hambamu ini. Kuatkanlah iman hamba," batin Bagus dengan ke dua mata yang terpejam sempurna.
Sementara Tiara segera meraih pakaian miliknya lalu kembali menutup pintu kamar mandi kasar dan mengejutkan. Bagus seketika menarik napas panjang lalu menghembuskannya secara kasar. Dia pun mencoba untuk mengontrol detak jantungnya yang sempat berpacu kencang. Bagus Anggara membuka dasi yang melingkar sembarang di lehernya seraya berjalan ke arah ranjang lalu kembali berbaring.
Tidak lama kemudian, pintu kamar mandi pun dibuka. Tiara keluar dari dalam sana sudah berpakaian lengkap. Rambut panjangnya pun nampak basah digerai hampir memenuhi punggung.
"Lain kali kalau mandi itu bawa baju ganti," decak Bagus menatap wajah istrinya dengan perasaan kesal.
"Aku lupa, Mas. Aku pikir kamu tak pulang malam ini," sahut Tiara santai lalu duduk di kursi yang berada tepat di depan jendela. "Lagian, memangnya kenapa kalau aku berpakaian di depan kamu? Kita ini suami istri lho!"
Bagus seketika duduk di atas ranjang dengan wajah dingin seperti biasanya. "Memangnya kamu mau kita--" Bagus menahan ucapannya tatkala menatap lekat wajah Tiara, istrinya ini terlihat segar juga sedap di pandang.
"Kita apa? Kenapa gak diteruskan?" tanya Tiara sinis dan dingin.
"Akh, sudahlah! Saya lelah, saya mau langsung tidur," jawab Bagus kembali menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang lalu meringkuk dengan memunggungi tubuh istrinya.
"Kamu baru pulang, Mas. Mandi dan ganti pakaian kamu dulu. Nanti gatal-gatal lho," pinta Tiara menatap punggung suaminya.
"Saya sudah mandi di rumah Dona tadi."
Tiara memejamkan ke dua matanya sejenak. Lagi-lagi, Bagus suaminya mengatakan hal yang sangat menyakitkan. Dia tidak peduli dengan apa yang dilakukan oleh suaminya di luar sana, tapi bukankah lebih baik jika hal seperti itu tidak usah diberitahukan kepadanya?
''Dasar tak punya perasaan,'' decak Tiara seketika meringkuk di atas kursi sudut.
Tiara berusaha untuk memejamkan kedua matanya. Dia pun mencoba untuk menekan rasa sakit yang dia rasakan. Sementara Bagus, pelupuk matanya nampak sulit untuk terpejam. Dia pun seketika memutar badan lalu menatap wajah Tiara yang sepertinya sudah tertidur terlelap.
''Cepat banget tidurnya,'' batin Bagus tersenyum menyeringai.
"Gus, Tiara. Ini Ibu, apa kalian sudah tidur?" Tiba-tiba terdengar suara Laila sang ibu seraya mengetuk pintu.
Bagus terperanjat. Dia pun bangkit dan duduk tegak di atas ranjang dengan perasaan terkejut. Sementara Tiara, dia tidak bergeming sedikit pun, sepertinya wanita itu benar-benar sudah terlelap.
"I-iya, Bu. Saya belum tidur," jawab Bagus merasa gugup.
Pintu kamar seketika dibuka begitu saja. Laila masuk ke dalam kamar membuat Bagus semakin merasa terkejut tentu saja. Laki-laki itu turun dari atas ranjang lalu berdiri tegak.
Laila seketika mengerutkan keningnya tatkala mendapati menantunya tengah meringkuk di atas kursi. "Kenapa Tiara tidur di kursi, Gus? Kalian tidak tidur seranjang?"
"Hah? Eu ... anu ... tadi Tiara ketiduran di kursi, Bu," jawab Bagus seraya menggaruk kepalanya sendiri.
"Terus, kamu biarkan dia tidur di kursi, begitu?" tanya Laila menatap sinis wajah sang putra. "Dasar suami tak punya perasaan! Seharusnya kamu pindahin istri kamu ke ranjang. Gimana sih?"
"Gimana cara mindahinnya, Bu?" tanya Bagus dengan wajah bingung.
"Ya di gendong, Bagus, masa di seret. Astaga!" decak Laila memejamkan kedua matanya sejenak menahan rasa kesal.
"Di gendong? Eu ... tapi 'kan berat, Bu?" Bagus beralasan.
"Berat? Memangnya berat badan istri kamu ini berapa sih? Dasar ngaco." Laila kembali berdecak kesal. "Pokoknya, Ibu gak mau tau, kamu gendong Istri kamu ke ranjang sekarang juga. Cepat!"
"Iya-iya. Astaga! Gak perlu marah-marah segala, Bu. Kalau nanti Tiara bangun, gimana? Kasihan dia," sahut Bagus.
Dia pun berjalan ke arah kursi di mana istrinya meringkuk saat ini. Laki-laki itu menatap tubuh Tiara dari ujung kaki hingga ujung rambut dengan perasaan canggung. Dia sudah berjanji kepada Dona tidak akan menyentuh istrinya sedikit pun. Namun, dengan sangat terpaksa dia harus mengingkari janji yang dia buat sendiri.
''Maafkan saya Dona,'' ucap Bagus di dalam hatinya, sebelum dia menyentuh tubuh langsing Tiara dan menggendongnya dengan perasaan gugup.
"Hati-hati, jangan sampai istri kamu ini jatuh," sinis Laila lalu keluar dari dalam kamar dan menutup pintunya kemudian.
Sedangkan Bagus, dia berjalan menuju ranjang dengan sangat hati-hati bersama Tiara di dalam gendongannya. Kedua matanya nampak tidak beranjak sedikit pun dalam menatap wajah wanita itu. Ternyata, istrinya ini memiliki kecantikan yang luar biasa apabila di lihat dari jarak dekat seperti ini.
"Kamu cantik sekali, Tiara," gumam Bagus seolah tanpa sadar.
Dia pun hendak membaringkan tubuh Tiara di atas ranjang. Namun, wanita itu tiba-tiba saja membuka kedua matanya membuat Bagus seketika merasa terkejut.
"Kamu sedang apa, Mas?" tanya Tiara dengan kedua mata yang disipitkan menahan rasa kantuk.
Bagus yang terkejut seketika menghempaskan tubuh istrinya begitu saja membuat Tiara memekik kesal.
"Argh! Kamu apa-apaan, Mas?" teriak Tiara suaranya terdengar melengking dan memantul di udara.
Bersambung