Would You Marry Me

2406 Words
Jer, yang dipanggil Dev lewat sambungan telepon ternyata namanya Jeremy. Dia seperti seorang asisten berjenis kelamin.. Aku tidak yakin dengan jenis kelamin yang orang ini miliki. Ku rasa jiwaku dengan jiwanya sudah tertukar. Dia berbicara lemah gemulai, gerakannya lamban dan melambai. Lugas, dan luwes. Tapi dia lebih ramah dibanding dengan Dev. Dia membawaku ke sebuah tempat. Seperti spa yang sangat canggih. Aku tidak tahu pasti. Yang jelas tempat ini begitu mewah. Pilar-pilarnya seperti di sebuah kerajaan. Pintu kayu dengan desain megah, dan sentuhan emas buatan. Lantainya marmer putih mengilap sekali. Semua yang bekerja di sini mengenakan blazer hitam, dan rok diatas lutut warna hitam juga. Rambut yang disanggul rapi. Jelas, ini bukan tempat untuk orang macam aku. Jeremy menyuruhku duduk di sebuah sofa yang sangat empuk. Bahkan lebih empuk dari tempat tidurku di kosanku yang dulu. Oya, sebelum aku datang ke sini, Dev memberiku sebuah kartu. Katanya ini untuk akses masuk ke sebuah apartemen. Demi apa, dalam semalam aku sudah punya apartemen. Rezeki nomplok ini namanya. "Vi, ayok." Aku mendongak mendengar suara Jeremy yang sengau. Dia tersenyum jenaka ke arahku. Dan aku mengekor di belakangnya. Aku memasuki sebuah ruangan. Seorang pekerja wanita yang memakai seragam itu mempersilakanku untuk masuk ke dalam. Aroma wewangian seperti aroma therapi langsung menyeruak ke rongga hidungku saat aku menyembulkan kepalaku ke dalam. Ruangan ini cukup luas dengan sebuah ranjang yang dilapisi kain putih. Ada beberapa handuk yang di gulung seperti roti, ditarug di sebuah rak kayu. "Aku tunggu di luar, ya." Kata Jeremy sambil memegang pundaku. Aku mengangguk lemah. Dan Jeremy keluar bersama dengan pekerja wanita tadi. "Selamat datang." Ucap seorang wanita. "Ya." Jawabku. "Saya Emma." Dia memperkenalkan diri sambil menunjuk pada name tag yang ada di bajunya. Dia juga berseragam. Tapi persis seragam baby sitter. "Silakan, ganti bajunya." Dia menyingkap tirai besar warna merah marun, dan seketika sebuah ruangan terbuka lebar. Aku memasukinya perlahan. Ini seperti sebuah ruang ganti dengan banyak gantungan baju yang di tempel di dinding. Ada satu lemari partisi yang menjulang tinggi berwarna putih. Aku tidak yakin harus mengganti bajuku dengan apa. Yang ada di sini hanyalah handuk kecil yang digulung, serta.. Oh jadi, ini apa? Ini seperti sebuah sarung? Oh bukan. Aku tahu. Ini kemben yang biasa dipakai oleh para wanita yang ingin di pijat badannya. Di lulur dan di spa. Aku mulai membuka semua pakaianku, dan menggantinya dengan kemben yang memakai karet di atasnya. Menyelimuti tubuhkudi bagian d**a. Aku tersenyum kikuk pada pekerja tadi. Dan dia sudah siap berdiri di sebelah ranjang dengan sprei putih. "Silakan, tidur di sini." Katanya. "Saya akan memijat terlebih dahulu." Yas! Aku mulai berbaring dan pekerja tadi mulai memijat tubuhku. Rasanya semua beban yang aku punya terangkat jauh ke angkasa. Aroma terapi yang sangat wangi mampu menenangkan otakku yang penat. *** Sepertinya semua sudah selesai dan berjalan lancar. Aku berdiri di depan sebuah cermin panjang, memandang pantulanku di cermin. Rasanya bayangan ini bukan aku. Itu bukan diriku. Aku seperti sedang melihat orang lain di sana. Aku harus mencubit tanganku sendiri, untuk memastikan bahwa aku bukan sedang ada di alam mimpi. Aku tidak tahu apa persisnya yang terjadi padaku saat ini. Yang pasti, sekarang, aku mengenakan gaun warna mint di atas lutut, dengan bagian atas yang memamerkan bahuku. Rambutku yang super pendek, secara ajaib berubah menjadi panjang dan ikal di bagian bawah. Perlahan, aku mengusap rambutku yang panjang. Dan ini, benar-benar rambutku? Aku bergerak perlahan, dan seketika akan roboh karena kehilangan keseimbangan. Sepatu cantik hak tinggi yang aku pakai begitu sangat pas di kakiku. Benar-benar sebuah keajaiban. Selama dua puluh sembilan tahun aku hidup, tidak pernah aku mengenakan pakaian seperti ini. "Perfect." Aku menoleh ke sumber suara. Jeremy, bertepuk tangan sambil tersenyum sangat lebar. "Apa.. Ini.. Aku?" Tanyaku ragu. "Ya, darl. Ini kamu, Vivian. Sekarang, waktunya untuk bertemu sang pangeran." Jari-jari lentik Jeremy menuntunku pergi dari depan cermin. "Tunggu, tasku." Aku berhenti saat kami akan keluar dari spa canggih ini. "Kau tidak memerlukannya lagi." Kata Jeremy. "Dev akan mengganti semuanya." Walau masih bingung, aku terpaksa mengikuti Jeremy yang sudah menarik tanganku. Sebuah mobil sedang hitam mengilap menepi, dan otomatis aku dan Jeremy memasukinya. Mobilnya wangi dan bersih. Aku yakin, ini bukan mobil taksi online. Saat Jeremy berbicara akrab pada sang supir. "Kita mau ke mana?" Tanyaku pada Jeremy. Jeremy menyeringai misterius. "Nanti kamu juga akan tahu sendiri." Dia sama sekali tidak menjawab rasa penasaranku. Mobil ini melaju dengan lembut, dan kecepatan sedang. Menyusuri jalanan ramai kota Jakarta. Aku yakin ini masih di Jakarta. Karena baru saja kami melewati patung pancoran. Saat aku mengintip pada jendela mobil, matahari berwarna oranye sudah mulai turun ke peraduannya. Itu artinya aku ada di spa canggih itu nyaris seharian. Oh tadi di sana aku hanya makan roti dan jus saja. Perutku belum di isi nasi sejak kemarin. Aku meringis saat perutku mulai bergejolak dan menimbulkan rasa perih. Mobil ini berbelok memasuki pelataran sebuah hotel. Hotel yang megah di tengah kota Jakarta. Kemudian mobil berhenti di lobby. Dan aku mulai terserang rasa gugup. Aku menarik napas sangat dalam, saat seseorang membukakan pintu mobil. "Ayok, saatnya pertunjukan, darl." Ucap Jeremy penuh dengan kesan yang membuatku penasaran, sebelum kami keluar dari dalam mobil, dan memasuki hotel tersebut. Rasa dingin langsung menyergap bahuku yang terekspos. Buku kudukku meremang sempurna. Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh hotel ini. Bangunan yang mewah dan atap yang sangat tinggi, dengan banyak lampu-lampu hias yang menggantung di udara. Aku mengikuti ke mana Jeremy berjalan. Tepat saat kami berada di depan pintu lift, lift tersebut terbuka lebar. Dan kami memasukinya bersamaan. Ketika lift mulai bergerak naik, ada sesuatu yang baru saja aku ingat. Astaga, ini Jakarta. Ya ampun, Vi. Bagaimana bisa lo selugu ini. Lo di dandanin sebegitu berbedanya, diberi apartemen dan berada di sebuah hotel mewah bersama makhluk setengah jadi. Dan dia tidak memberitahumu apa yang akan dilakukannya. Be smart, Vi. Apalagi yang akan dilakukan orang ini dan Dev sama lo. Kecuali... Aku bergerak mundur, membuat Jeremy terkejut. "Ada apa?" Tanyanya tercengang. Badanku sudah menempel di dinding lift. Mengawasi Jeremy yang memasang ekspresi wajah kaget. "Kenapa lo bawa gue ke hotel? Dengan dandanan kaya gini?" Jeremy memiringkan kepalanya. Dia terlihat benar-benar bingung. "Sebenernya, lo sama Dev mau ngapain gue?" Jeremy masih memasang wajah bingung. Dia mulai bergerak mendekat padaku. "Gue pikir lo udah di briefing sama Dev." Katanya. Dia berdecak sebal. Kemudian membuka ponselnya, dan mulai menghubungi seseorang. Tapi sepertinya orang yang dia hubungi tidak menjawab teleponnya. Dia mengulang lagi, sampai lift ini berdenting dan terbuka. "Ayok." Jeremy melambaikan tangannya padaku. Tapi aku tetap bergeming. Jeremy yang menyadari kalau aku tidak keluar lift, membalikan tubuhnya. "Vivi, ayok." Ulang Jeremy penuh penekanan. "Gue nggak mau!" Kataku. "Lo sama Dev pasti orang-orang yang melakukan perdagangan manusia. Lo pasti mau jual gue, atau... Lo sama Dev mau bunuh gue, dan ngejual organ-organ tubuh gue." Semburku pada Jeremy. Antara takut dan galak. Jeremy memijat keningnya. Lalu menengadahkan kepalanya. Dia menahan pintu lift saat pintu lift akan tertutup. "Vi, ayolah, jangan bikin gue pusing." Jeremy berkata gusar. "Gue bukan orang jahat. Dev juga. Ya ampun, susah kalau kaya begini." Jeremy mulai mendumel. Dia menggaruk-garuk kepalanya. "Kita udah telat banget, Vi. Ayok cepet." Walau Jeremy itu makhluk setengah jadi, dan gerakannya lemah gemulai, tapi saat dia menarik tanganku tenaganya cukup besar. Aku sampai terjungkal dari dalam lift. Kemudian sepatu hak tinggiku yang tidak bisa aku kontrol, meleyot-leyot membuat aku terjerembab mencium permadani merah bermotif. "Aduh." Dengusku. Menahan rasa sakit di bagian dahi. Dan saat kepalaku mendongak, aku di suguhkan dengan sepatu pentopel hitam mengilap. Sangat mengilap sehingga silaunya menusuk mata. "Dev?" Ya Tuhan, kenapa aku begitu sial setiap kali bertemu Dev. *** Saat aku tersungkur, hidungku tepat berada di ujung sepatu pantopel milik Dev. Kepalaku mendongak, dan Dev sudah menjulang tinggi di depanku. Aku meringis kesakitan, sementara Dev berdiri mematung sambil menatapku. Emang dasar Dev si galak, bukannya membantuku berdiri, dia malah memasukan kedua tangannya ke saku celana bahannya. "Lo ngapain sujud syukur disitu?" Katanya. Aku berdecak sebal, mendelik pada Dev. Mulut apa belati, sih. Nyelekit amat. "Lo pikir gue menang judi, pake sujud syukur segala." Umpatku. "Noh, si Jeremy narik-narik tangan gue. Gara-gara dia, gue jadi nyusruk." "Salah lo juga yang tiba-tiba nggak mau ketemu Dev." Kening Dev berkerut. Memandangku dengan tatapan bertanya. "Gue.. Takut." Gumamku pelan. "Takut dijual ke luar negri, atau dibunuh sama lo, terus organ dalam gue dijual." "Kebanyakan nonton berita kriminal." Ku dengar Dev langsung mengumpat. Dan tanpa aba-aba, dia menarik tanganku sehingga kini tubuhku menempel di sisi tubuhnya. Selama lebih dari dua puluh empat jam penuh aku mengenal Dev. Aku baru menyadari kalau tinggi Dev sangat jauh di atasku. Dengan memakai sepatu hak tinggi yang kira-kira tujuh centi meter, tinggiku hanya sebatas pundak Dev. Bagaimana kalau aku nyeker. Pantas saja leherku sakit saat bangun tidur. Ternyata bukan karena tidur tak beralaskan kasur di masjid, tapi karena terlalu lama mendongak mengobrol dengan Dev. Ah, ya ampun saat ini pembahasan seperti itu bukan yang terpenting. Hal yang paling utama sekarang adalah, aku sudah berada di dalam ballroom yang super megah. Sambil menggenggam tanganku, Dev mengeluarkan sebuah kartu kemudian menempelkannya pada sebuah barcode. Begitu pun juga dengan Jeremy. Setelahnya, Dev menyusuri tengah-tengah ballroom ini. Ketika kami berjalan beriringan, aku merasa kalau semua mata yang ada di dalam gedung ini, memerhatikan ke arah kami. Ada beberapa orang yang harus sampai berdiri dari tempat dia duduk, demi memastikan apa yang sedang dia lihat. Lampu-lampu yang menyala terang benderang seolah ikut menyorotiku yang sedang berjalan bak model papan atas di panggung cat walk. Sedangkan Dev, menarik tanganku, kemudian mengaitkannya ke dalam sikunya. Dan otomatis aku semakin mendekat pada Dev. Dan wangi maskulis langsung menusuk indra penciumanku. Aku yakin, parfum yang dipakai Dev bukan parfum murahan yang dijual di pasar grosiran. Karena aromanya mampu menenangkanku, dan membuatku ingin terus mengendusnya. Astaga, Vi jangan pingsan. Ini pasti efek kelaparan. Tanpa bisa aku sadari, dan bagaimana caranya. Sekarang aku sudah ada di atas panggung, di depan orang-orang yang mengisi ballrom. Dibelakangku ada sebuah layar putih dengan latar bunga-bunga sakura indah, bernuansa pink. Astaga, unyu sekali. Beberapa saat kemudian, datang seorang pria dengan setelan tuxedo menghampiri kami sambil membawa sebuah nampan besar yang di atasnya ditaruh kotak berukuran sedang. Lalu kemudian, alunan musik biola dimainkan. Aku celingukan mengedarkan pandanganku ke sekitar, mencari di mana musik itu berasal. Tapi aku tidak menemukan satu pun pemain band. Dan saat itu juga aku paham, bahwa ini hanya rekaman yang diputar ulang. Seorang pria bertuxedo membuka kotaknya, kemudian memberikan sebuah benda berkilauan kepada Dev. Dev menerimanya dan tanpa bisa aku sadari, dia sudah berlutut di hadapanku seperti orang t***l. Aku melotot ke arahnya. Kemudian suara riuh membahana di seluruh ruangan. Jadi, ini rencananya? Aku harus apa? "Vivian Demara," suara Dev terdengar menggema. Apa dia menggunakan mic. "Would you marry me?" Apa? Bukankah rencananya hanya pacaran? Kenapa langsung menikah? *** "Karena dengan kita cepat menikah, maka perjanjian kita akan cepat selesai. Lo nggak mau, kan, berlama-lama terjebak sama gue?" Dev duduk di hadapanku sambil menyilangkan kedua tangannya di d**a. Sesekali dia membuang muka. Mencibir, dan memaki. Tapi aku tidak peduli. Terserah dengan apa yang dia lakukan padaku. Aku lebih mementingkan perutku yang sudah sangat rata karena belum di isi apa-apa sejak kemarin malam. Masih untung aku bisa bernapas hingga detik ini. Dev pasti menganggapku menjijikan, karena melihat cara makanku yang bar-bar. Seperti orang purbakala yang datang dengan mesin waktu ke masa depan. Aku melahap semua yang ada di depan mataku. Udang, cumi, ikan bakar, ayam bakar, capcay, sayur sop, semangka, melon, pepaya, dan lain sebagainya. Dan semua ini rasanya sungguh nikmat. "Ke.. Napa ha.. Wus..Guwe?" "Bisa di telen dulu, gak, makananya?" Ucap Dev seduktif. Kemudian Dev menyerahkan satu gelas air minum padaku. "Kenapa, harus gue?" Tanyaku setelah air mineral membasahi tenggorokanku. "Gue yakin kok, dengan tampang lo yang oke banget, pekerjaan yang mapan, dan kekayaan orang tua lo yang nggak abis tujuh turunan delapan tanjakan, banyak cewek-cewek yang mau nikah sama lo." Kataku. Tapi setelah beberapa suapan yang masuk ke dalam mulutku, aku tidak mendengar Dev bicara. Karena penasaran, aku melirik Dev. Dia sedang menatap tajam padaku. "Kenapa?" Tanyaku hati-hati. Dev masih diam, aku memutar bola mata karena salah tingkah. Lalu kemudian teringat sesuatu tentang Jeremy. Seketika, aku membekap mulutku. "Lo.. Lo nggak suka cewek, ya?" Mulutku menganga. "Nih, makan." Dev menyumpal mulutku dengan udang saus tiram. "Kenapa harus lo?" Katanya penuh penekanan. "Karena udah dikejar deadline. Bulan depan udah peluncuran anak perusahaan di Bandung dan Karawang. Ada beberapa hotel dan apartemen yang dibangun di sana. Kalau gue nggak nikah bulan ini, anak perusahaan itu nggak bakal jatuh ke tangan gue. Dan secara kebetulan dan ajaib, gue ketemu sama lo." "Jadi, gue sama lo itu.. Takdir?" Ucapku dengan cengiran lebar. "Jadi, gue dapet berapa persen saham dari perusahaan baru lo itu?" "Nggak sama sekali." Jawabnya cepat. "Gila, lo, ya." Umpatku. "Terus, gue dapet apa? Lo pikir gue nggak punya masa depan? Lo pikir gue mau ngelakuin semua ini secara gratis. Hey.. Bung.. Ini Jakarta. Lo parkir sambil lo dudukin motor lo, juga tetap harus bayar." "Gue ada penawaran lain." Dev melempar sebuah map biru padaku. Aku hanya meliriknya karena kedua tanganku masih kotor oleh bumbu masakan. "Setelah lo selesai makan, kita buat perjanjiannya. Apa yang harus lo lakukan, dan apa yang akan lo dapat dari semua ini." Aku menyeringai puas. Kemudian melahap habis semua makanan yang ada di atas meja, tanpa sisa. Ini baru namanya hidup. Vivian Demara, elo baru saja terlahir kembali. *** Aku membaca semua isi perjanjian yang Dev berikan padaku. Isinya tidak ada yang aneh selain kontrak kawin selama 365 hari yang diketik Dev di atas kertas putih. Dan di kalimat terakhir, aku bisa mengisi sendiri imbalan apa yang gue minta. Tapi, otakku justru kosong melompong. Aku hanya menatap pada kertas putih itu, sambil memainkan sebuah bolpoin. Melihat Dev dan kertas ini secara bergantian. "Kalau lo masih bingung, lo bisa isi kapan aja. Gue bakal kasih down p*****t terlebih dahulu, biar lo nggak nganggap gue penipu." Katanya. "Lo mau DP berapa?" Tembaknya lagi. Aku masih diam. Mungkin karena efek kekenyangan. Makanan tadi bukan hanya memenuhi perutku, tapi juga otakku. Aku tidak bisa berpikir cepat, walau banyak sekali yang aku inginkan. Sekali lagi, aku menarik napas dalam sebelum menjawab pertanyaan Dev. "Gue punya hutang yang harus gue bayar." Ucapku. "Tapi banyak. Bisa nggak, itu dijadiin DP?" "Berapa? Dua ratus ribu?" Aku menggeleng. "Bukan." "Lima ratus ribu?" "Nggak." "Berapa?" "Delapan ratus." Jawabku hati-hati. "Ooh, delapan ratus ribu." Kata Dev santai. "Delapan ratus juta, Dev." Dengan cepat aku mengoreksi. "Apa?! Delapan ratus juta?!" Suara Dev mampu menendangku dari tempat duduk sekarang.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD