Sesuatu yang tersembunyi

1604 Words
Pernikahan pun akhirnya dilaksanakan, Tiranti dihias yang membuatnya tampak seperti ratu. Belum pernah dia mendapati dirinya seperti ini. antara takut dan juga sedih, semuanya bercampur aduk. Karena setelah dimana Bara pergi ke kota, mereka tidak berjumpa lagi. Hanya menunggu sekarang saat akad dan resepsi akan dilakukan. Di sisi lain, Bara tengah menghafal. “Saya nikah terimanya Tiranti.” PLAK! Sang ayah memukul bahu Bara. “Yang bener, jangan malu-maluin Papa. masa gitu aja gak bisa.” “Orang grogi, Ayah mana tau rasanya.” Ibu Ziya yang ada di ruangan bersama Bara itu mendekat. “Papah kamu tau rasanya, soalnya dia juga pernah kayak gitu.” “Ck, Papah kan dulu gak nikah sama orang yang Papah suka. Kalian gak dijodohin.” Ibu Ziya menarik napasnya dalam. “Bara, untung hari ini kamu nikah, coba kalau enggak, Mama bakalan pukul kamu.” “Udah, jangan kayak gitu.” Graha menengahi. “Ayok, Bar, kita keluar.” Bara menatap sang Papa memberi isyarat, akhirnya Graha meminta semua orang keluar kecuali mereka berdua. Duduk berhadapan dan bertanya pada sang anak, “Kenapa?” “Bara takut gak bisa jadi suami yang baik.” “Bisa, Bara. Selama ini kamu tanggung jawab lebih dari 1000 karyawan, masa satu aja gak bisa? apalagi ini perempuan yang kamu cintai kan?” “Gak tau kenapa sekarang tiba tiba ragu, apa beneran cinta ya? atau pesona sesaat aja?” “Bar, jangan gitu. Kamu udah mantep sebelumnya. Ini tuh bagian dari ujian, kamu udah sejauh ini sama Tiranti.” Keraguan yang datang tiba tiba ketika Bara keluar dari ruangan dan akan mengucapkan ijab Kabul. Namun, keraguan itu hilang tatkala Tiranti diantar oleh Eyang dan para pelayannya berjalan ke arah Bara. Tiranti memakai gaun ada sunda, dengan siger sunda dan bunga melati yang menghiasi kepalanya. Ketika tatapan mereka bertemu, jantung Bara berdetak kencang lagi. Tidak salah pilihan. Bara tau kalau Tiranti adalah jodohnya, pelabuhan cintanya dimana dia akan menggenggam tangan itu untuk kehidupan yang baru. “Hai,” sapa Bara yang membuat Tiranti tersenyum. “Pak Bara, fokusnya ke saya dulu ya. ayok kita mulai,” ucap bapak penghulu di sana. Titik terberat Tiranti adalah yang menjadi wali nikahnya bukanlah sang ayah, tapi wali hakim, dia menunduk begitu Bara mulai mengucapkan ijab qabul dengan begitu lancar hingga terdengar, “SAH.” Tiranti memejamkan mata, dia baru saja menjadi istri dari orang lain. Berbalik menatap Bara dan mencium tangannya hingga terdengar riuh tepuk tangan di sana. Saat Tiranti berdiri untuk berfoto bersama dengan Bara, dia melihat sosok yang tidak asing. Ada Seno di sana, sedang menatapnya dengan mata yang terluka. *** “Selamat ya, Bar, duh dapetnya malah perawan muda kayak gini. Beruntung banget dah.” “Makasih, Om,” ucap Bara pada pria bernama Agung itu, ternyata dia adalah ayah dari Seno. “Ini anak Om, yang nantinya bakalan lanjutin perusahaan Om. Ke depannya, kamu kerjasama sama dia ya. ajarin, tuntun dia.” “Iya, Om.” Bara menatap sosok yang dari tadi memandang istrinya. Jadi Bara merangkul Tiranti. “Bisnismah nanti dulu, sekarangmah urusan bini.” “Hahaha, bisa aja. yaudah deh, sok senang senang kalian berdua.” Meninggalkan Bara dan juga Tiranti yang kini kembali focus pada sesi foto. Bara begitu menikmati kedekatannya dengan sang istri yang begitu cantik, tapi Bara tidak merasa Tiranti juga merasakan hal yang sama. “Coba tangan aa nya disimpen di pinggang tetehnya.” Sang photographer memberikan arahan. Mereka bertatapan, Bara tenggelam dalam indahnya mata Tiranti. “Kamu cantik banget.” “Makasih, Mas.” Tiranti tidak bisa berpaling karena arahan photographer. Bahkan Bara mulai kehilangan kewarasannya, dia perlahan mendekatkan wajah. Tiranti meremas d*da sang suami merasa khawatir. “Ekhem!” sampai Eyang Dira datang bersama dengan Diandra. Sesi foto jadi berhenti, Bara berdecak karena dia kehilangan kesempatan mencium sang istri. “Mau apa?” “Tiranti, hallo. Inget aku gak? Aku Diandra. Dulu pas ketemu, kamu masih kecil, sekarang udah gede.” Tangannya terulur mencubit pipi Tiranti yang segera ditepis oleh Bara. “Yang sopan kamu, dia itu kakak ipar kamu meskipun lebih muda.” “Orang Tiranti nya juga keberatan. Iya kan?” Diandra menatap pada Tiranti yang tampak malu malu. “Tuh, dia gak masalah. Nanti kita jalan jalan bareng ya, aku juga bakalan sering dateng ke Bandung. Okey?” “Iya, Mbak.” “Akhirnya Eyang lihat cucu Eyang di tangan orang yang tepat,” ucap Eyang Dira sambil merangkup pipi Bara. “Jaga Tiranti baik baik ya, Nak. Dia jantung hati kamu.” “Bara gak akan nyakitin Tiranti, Eyang. Bakalan Bara jaga.” “Cie,” ucap Diandra yang langsung diberikan tatapan tajam oleh sang Kakak. Beralih pada Tiranti, Eyang menggenggam tangannya. “Kamu juga…. Eyang mau berterima kasih karena mau jagain cucu kesayangan Eyang. Makasih ya, Nak.” “Enggak, Eyang. Tiranti yang mau bilang makasih karena Eyang udah mau rawat Tiranti.” Memeluk Eyang Dira dan menjatuhkan air matanya. “Tiranti sayang Eyang.” “Wehlah udah kayak teletubies ya, Mas?” “Diandra, jangan jadi perusak suasana kamu.” Dimana sang adik langsung melipat bibirnya dan mengajak Eyang turun begitu selesai bicara dengan Tiranti. Inilah kesempatan untuk Bara bisa berduaan dan melakukan skinship dengan sang istri. Namun, sepertinya keinginan itu harus ditahan karena sekarang orangtua Liodra yang datang. Lelah sekali. “Maaf ya, Bara. Liodra gak bisa dateng. Maklum lah, dia masih suka sama kamu. jadinya sakit hati kalau datang ke sini.” *** Ketika acara berlangsung, tidak banyak yang bisa dilakukan Bara pada sang istri. Tamu terus saja berdatangan hingga membuatnya ingin membubarkan mereka. Tamu didominasi oleh rekan kerja Bara. Satu orang yang dikenal oleh Tiranti hanyalah Seno, dia juga datang karena ayahnya adalah kenalan dari Graha. Begitu acara selesai, Bara langsung mengajak sang istri untuk pergi ke apartemen. “Tapi baju baju aku masih di rumah Eyang, Mas.” “Udah dipindah kok sama Mama tadi. Jadi, langsung aja ke sana ya,” ucap Bara yang dibalas anggukan sang istri. Namun, sebelumnya Tiranti harus membersihkan make-up dulu oleh penata rias, Bara yang sudah berganti pakaian itu menunggu dengan tidak sabaran. “Masih lama?” tanya Bara. “Sabar ya, Pak. Malam masih panjang kok.” Sebenarnya Bara lebih khawatir dengan keluarganya yang datang dan menggodanya. Bahkan mereka sudah menyiapkan kamar hotel untuk mereka. tapi Bara memilih pulang ke apartemen supaya lebih aman. “Sudah, Pak. Silahkan dibawa mempelai istrinya.” “Ayo.” Tangannya menggenggam pergelangan tangan Tiranti dan membawa keluar dari sana. menyetir mobil sendiri, Bara pulang terburu buru. Dan itu membuat Tiranti jadi takut, apa Bara akan meminta haknya malam ini? “Kenapa diam aja? kamu gak seneng?” “Hah? Bukan gitu, Mas. Cuma, masih kaget aja dengan status yang sekarang berubah.” “Kamu jangan khawatir, meskipun kita nikah karena keinginan Eyang, tapi aku bakal perlakukan kamu dengan baik.” Bara menghela napasnya dalam. “Nanti kita ngomong di apartemen ya.” Tiranti hanya mengikuti sang suami. Tapi ketika mereka sampai, Tiranti memasukan tangannya ke dalam jaket hingga Bara tidak bisa menggenggamnya. Tidak masalah, setidaknya mereka sudah menjadi suami istri sekarang. Bara langsung melangkah ke kamar utama diikuti Tiranti dari belakang. “Sini duduk.” Menarik tangan sang istri untuk duduk di bibir ranjang dengan berhadapan bersamanya. Tiranti duduk, tangannya langsung digenggam oleh Bara. “Kenapa? dari tadi kamu keliatan gelisah?” “Gak papa, Mas. Masih kaget aja, sekaligus capek tadi.” “Hmm. Kamu sekarang udah jadi istri aku,” ucap Bara mengingatkan Tiranti. “Aku bakalan mencoba jadi istri yang baik, Mas. Meskipun kita masih dalam proses perkenalan.” Bara tidak tahan, dengan wajahnya yang dingin, tangannya terulur merangkup salah satu pipi Tiranti. Istrinya ini tampak begitu cantik. “Tiranti…,” panggilnya. Memberanikan diri membalas tatapan. “Iya, Mas?” menahan napas ketika Bara mendekat padanya, bahkan sekarang Tiranti merasakan hembusan napas dari pria itu. Tiba tiba saja, terlintas hal yang mengerikan di kepala Tiranti yang membuatnya langsung memejamkan mata dan meneteskan air matanya. “Hiks… hiks…” Bara langsung berhenti, dia membuka matanya. Belum sempat mencium bibir sang istri, telinganya sudah mendengar isakan. “Tiranti, kenapa?” “Maaf… hiks… Mas… aku belum sanggup… kalau harus lakuin kewajibanku malam ini… hiks…,” ucap Tiranti menarik tangannya. “Aku… hiks…. Takut…” “Takut sama aku?” “Takut dengan sentuhan,” ucapnya memeluk dirinya sendiri. “Takut dinodai.” Dan saat itulah Bara sadar, kalau ada sesuatu yang belum dia ketahui tentang istrinya. “Takut dipukul… disentuh… dijamah… tolong…” bahkan kini Tiranti menjambak rambutnya sendiri dan mulai panic. “Hiks… takut….” “Tiranti tenang, aku suami kamu. hei, aku gak akan berbuat jahat.” Menarik Tiranti ke dalam pelukannya. Namun, sang istri malah jatuh pingsan. “Tiranti?” Bara menepuk pipinya. Dia segera menidurkan sang istri dan menelpon Eyang Dira. “Hallo, Eayng?” “Bara kamu dimana? Eyang mau ngomong sama kamu.” “Eyang, Tiranti punya trauma kah?” Eyang Dira menghela napas di sana. “Beberapa tahun yang lalu ada supir taksi yang mencoba memperk*sa dia, makannya dia trauma. Hampir aja Tiranti dinodai, bahkan dia udah setengah telanjj*ang waktu itu.” Bara mengusap wajahnya. “Kenapa Eyang gak bilang?” “Traumanya udah ilang, dia juga biasa lagi. Sekarang kambuh lagi?” “Dia pingsan, Eyang. Sebelumnya nangis.” “Biarin aja, besok kalau udah sadar, Bara ajak ngomong. Bara juga harus bantu Tiranti keluar dari traumanya ya.” Setelah menelpon Eyang Dira, Bara menatap kejant*nannya sendiri. “Udah bisa duel, tapi harus solo. Sabar ya, Tong.” Kemudian fokusnya pada sang istri. Kasihan sekali Tiranti. “Aku bakalan bantu kamu keluar dari trauma itu,” ucapnya mengecup kening Tiranti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD