Memulai pengenalan

1476 Words
“Udah ya, kalian jangan lagi minta Bara buat balikan lagi sama Liodra, sekarang persiapan aja pernikahan Bara sama Tiranti.” Kira kira begitu kalimat yang dikatakan Bara pada Ibu Ziya dalam telpon. Ibu Ziya menghela napasnya dalam ketika telpon ditutup. Dia menoleh pada sang suami yang baru saja pulang bekerja. “Hari ini Mama mau makan diluar, sama Liodra.” “Okey, jangan aneh aneh. Bara mau nikah aja, udah bersyukur.” “Iya, tapi Mama tetep aja ngerasa gak enak aja sama Liodra. Dia udah mau sekolah, mau jadi wanita yang diinginkan oleh Bara loh, Pah.” “Itu anak emang bercandaannya keterlaluan. Makanya Mama juga jangan ditanggepin serius kalau itu anak ngomong.” Ibu Ziya pergi mengendarai mobilnya sendiri. dia pergi ke sebuah restaurant dimana sudah janjian dengan Liodra di sana. “Maaf ya terlambat.” “Gak papa, Tante.” Lidora mencium pipi sosok tersebut. Ibu Ziya sudah melihat aura Liodra yang sepertinya sudah mengetahui apa yang akan dikatakan olehnya. “Tentang Bara.” “Gak papa kok, Tante. Buat sekarang, Liodra udah lebih lega buat lepasin Mas Bara. Lagian kerja di bidang ini juga kemauan Liodra sendiri.” “Maaf tante pernah janjiin ini ke kamu. Harusnya dulu kamu gak pergi buat sekolah, akan lebih baik kamu di sini dan meped Bara terus.” “Udah terlanjur juga, semoga aja Mas Bara bisa bahagia dengan pilihannya. Orang mana, Tante?” Ibu Ziya sedikit malu mengatakannya, Tiranti itu bukan orang yang bisa dia banggakan. Tapi setidaknya dia adalah perempuan yang mau Bara nikahi. Khawatir juga, anaknya sudah berusia 32 tahun tapi belum menemukan seseorang yang tepat. Sekalinya tepat malah dengan pengasuh Eyang Dira. “Dia perempuan yang diurus Eyang Dira dari panti asuhan.” “Oh ya ampun, dibesarin sama Eyang Dira ya? kayaknya perempuan baik, Tante. Eyang Dira gak mungkin salah milih orang.” Liodra berkata seperti itu. Ibu Ziya sampai menghela napasnya dalam, padahal Liodra juga sama baiknya. Kenapa hanya focus dengan Tiranti? Padahal Liodra sudah mengejar Bara sejak mereka pertama kali bertemu dalam jalinan bisnis antara keluarga Liodra dan keluarga Bara. Untungnya keluarga Liodra bukanlah orang pemaksa yang mengharuskan Bara menikahi anak mereka. Setelah acara makan malam, Liodra langsung pulang, berpisah dengan Ibu Ziya yang pergi duluan. Sementara Liodra masih duduk di dalam mobil, memandang sebuah foto yang sudah lama dia simpan dalam dompet. “Bukan jodoh ya? padahal aku suka kamu sejak lama. Siapa sih cewek yang bikin kamu langsung berpaling? Secantik apa dia?” sambil mengepalkan tangannya marah, ingin sekali membuat kekacauan di pesta pernikahan Bara nantinya. *** Karena Bara dan Tiranti belum bicara banyak, maka inilah waktu yang tepat dimana Bara mengantarkan Tiranti pulang. masih ada ujian naasional satu hari lagi, jadi Tiranti tidak bisa menginap menemani Eyang Dira. Dalam perjalanan, Bara diam begitupun dengan Tiranti. “Mas?” panggil Tiranti lebih dulu. “Iya?” “Tentang pernikahan yang Eyang Dira bilang, saya setuju buat nikah sama Mas. Iitu juga kalau Mas mau.” “Ya mauuu lahhhh.” Teriak Bara dalam hati. “Kamu serius, Ran?” “Iya, Mas. Eyang Dira udah berjasa banget sama hidup saya, jadi gak ada alasan buat Tiranti nolak.” Tau kalau Tiranti melakukannya karena keterpaksaan, Bara hanya bisa menghela napasnya dalam. Dia tau tidak akan membuat perempuan ini jatuh cinta padanya dengan mudah, tapi setidaknya dengan ikatan pernikahan akan membuatnya lebih mudah untuk melakukan apapun pada Tiranti. “Saya tanya sekali lagi, memang kamu mau?” “Insyaallah saya akan jadi istri yang baik kok, Mas. Tapi ada satu yang saya inginkan.” “Apa?” “Boleh tidak kalau saya tetap kuliah setelah menikah nanti? Saya bisa ambil kelas karyawan jadi bakalan banyak waktu di rumah buat Mas.” “Tentu. Kamu gak masalah kan kita nikah cepet cepet? Soalnya adek saya mau tunangan, terus nikah. Jadi saya maunya nikah duluan.” Tiranti mengangguk, tidak menyangka kehidupannya akan berubah dengan cepat. “Berapa bulan lagi kita nikah, Mas?” “Dua minggu lagi ya.” Tiranti menatap tidak percaya. “Apa nggak kecepetan, Mas?” “Enggak, kita bisa saling mengenal nanti kalau udah nikah. Lagian kamu pilihan yang terbaik dari Eyang Dira.” Benar juga, Tiranti jadi berfikir kalau misalnya dirinya juga harus percaya. Dengan menikah dengan Bara, yang ditekankan di sini adalah dirinya yang harus mengabdi pada pria itu. begitu sampai di halaman depan rumah Eyang Dira, Bara ikut keluar mengantarkan Tiranti sampai ke depan pintu. “Makasih ya, Mas.” “Sama sama. Saya mau ke rumah sakit lagi, kamu belajar yang rajin ya.” Tiranti mengangguk. Dia sedikit mennunduk tatkala tangan Bara terulur dan mengusap rambutnya. “Ada daun di rambut kamu.” “Ah… iya, Mas.” Tiranti jadi sedikit canggung, dia memang tidak terbiasa dengan hal seperti ini. apalagi Bara adalah pria dewasa. “Hati hati di jalan.” Namun ketika Bara berbalik hendak masuk ke dalam mobil, dia melihat mobil lainnya memasuki pekarangan. Sampai Eyang Dira keluar dari dalam dengan wajah yang sumringah. “Eyang udah baikan. Ayok kita siapin acara pernikahan buat kalian berdua. Buat Bara, kamu kerja nyaru duit sana, Eyang mau ngajak Tiranti diskusi perihal W.O nya. Soalnya Mama kamu udah serahin semuanya sama Eyang.” Datang mendekat pada Tiranti dan membawanya masuk ke dalam. “Eyang bukannya tadi masih lemes ya?” “Iya, tapi dokternya ngasih resep baru. makannya Eyang sekarang udah sembuh. Ayok ah kita masuk, kita cari cari W.O yang bagus buat pernikahan kalian.” **** Bara tersenyum melihat bagaimana Eyang dan Tiranti begitu dekat. Sosok Tiranti yang dewasa dan keibuan membuat Bara tidak sabar memiliki anak dengan perempuan idamannya tersebut, “Kenapa belum pulang? malah di sini terus?” “Kadung di sini, Eyang, mau ikut makan malam di sini,” ucap Bara. “Emang gak boleh?” “Ya boleh, tapi stop mundar mandir di depan Eyang, kamu bikin Eyang pusing loh.” Karena sejak tadi, Bara terus berjalan melewati depan kamar Eyang Dira, dimana di sana ada Tiranti yang sedang memijatnya. “Bara ada perlu ke dapur, Eyang,” ucap Bara masih dengan nada datarnya, dia ingin memperlihatkan sisi yang sedikit dewasa, keren dan cool sampai membuat Tiranti terpesona. Sementara Eyang Dira menahan tawanya dan kembali menatap layar tabletnya. “Jadi gimana? Kamu suka yang mana?” “Eyang jangan sekarang deh, Eyang. Tiranti masih belum bisa focus milihnya.” “Cuma milih doang, Ran.” “Banyak yang cantik itu.” “Yaudah kita pakai semua bunga aja ya?” “Ih eyang jangan. Nanti Tiranti pilih deh, tapi sekarang mau masak makan malam dulu ya.” “Cepet amat.” Eyang menatap jam di dinding. “Ini masih sore loh.” “Iya, makan malamnya awal awal kasian Mas Bara takutnya kelaparan.” “Bagus itu, harus pengertian sama calon suami emang.” Eyang Dira memuji dan berhasil membuat Tiranti hanya memalu. Masih tidak menyangka dirinya akan menikah dengan Bara. Tiranti sendiri belum tau apa yang disukai oleh Bara. Tapi sekarang dia akan memasak sesuatu yang selalu menjadi andalannya. Tiranti itu penyuka pedas, dan orang orang yang sudah memakan masakannya selalu memuji enak. “Gak salah itu cabe banyak banget?” “Mau bikin menu andalan, Mbak.” “Oh, lanjutin. Mbak juga mau.” Karena warnanya, aromanya begitu menggiurkan. Hanya saja saat Bara datang ke meja makan, dia membulatkan mata melihat banyaknya makanan berwarna merah di sana. bagaimana bisa dia memakan semua ini? ketika melihat ada bagian yang berwarna normal, Bara duduk di sana. “Um, Mas Bara, itu tempat duduk Eyang,” ucap Tiranti sebelum panttat Bara mendarat di sana. “Buat Eyang?” “Iya, Mas duduk di sini, saya udah masak makanan special buat Mas. Semoga suka ya,” ucap Tiranti dengan ramah Eyang Dira datang ke meja makan, dia menahan tawanya ketika melihat apa yang dimasak oleh Tiranti. “Makan yang banyak, Bar. Calon istri kamu yang buat ini,” ucap Eyang Dira. Bara hanya tersenyum kaku dan mengangguk, tapi akhirnya dia duduk dan mulai memakannya. Rasa membakar di mulut langsung menjalar. “Enak, Mas?” “Enak, Ran,” jawab Bara. Ini memang enak, tapi pedas sekali sampai membuat mulutnya terbakar. Keringat juga mulai keluar, dan itu mengundang perhatian Tiranti. “Mas gak papa?” “Gak papa,” ucap Bara menyeka keringatnya dengan tissue. “Bentar ya, saya mau ke kamar mandi dulu.” Pria itu menahan diri untuk tidak memberikan tanda kalau dirinya kepedasan. Ingin menghindarkan Tiranti dari perasaan tidak enak. Namun sayangnya, sebelum Bara mencapai kamar mandi, kepalanya terasa pusing dan keringat semakin keluar. Perutnya juga terasa sakit. Ada apa ini? BRAK! “Ya ampun, Mas bara!” teriak Tiranti kaget dan datang untuk memeriksa. Bara tidak sadarkan diri. “Eyang, ini gimana?” “Gak papa, Ran. Itu Cuma eefek dia yang gak bisa makan pedes. Maklum, dia itu udah tua.” Eyang Dira berucap dengan santai
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD