“Tidak boleh pacaran, apalagi di tempat umum seperti ini. Nggak malu kamu! Ayo ikut Ustaz.” Pria itu mencekal pergelangan tangan Nizam.
“Ini kakak kandung saya, Ustaz. Kami tidak pacaran.”
Pria itu terlihat melotot dan gugup. Sepertinya dia terkejut. “A-apa? Kakak?”
“Iya.”
“Dia ustaz baru, ya, Zam? Kok, Mbak baru lihat?” bisikku pada remaja yang memakai baju koko warna navy ini. Nizam mengangguk.
“Maaf, Ustaz. Apa ada peraturan yang kami langgar? Apa peraturan lama sudah berubah? Bahwa adik kakak dilarang berduaan? Seperti itu?” tanyaku. Dia tampak gelagapan. Ah, lucu sekali melihat dia salah tingkah.
Wajahku dan Nizam memang tidak ada kemiripan. Tinggi Nizam pun melebihi tinggi badanku. Jadi, tidak sekali dua kali orang menganggap kami pasangan kekasih padahal kami ini mahram.
“Ya sudah, saya minta maaf karena sudah salah sangka. Lain kali, Zam. Jangan bersikap berlebihan. Jika memang kalian ini saudara, tapi kedekatan dan keakraban kalian tadi bisa menimbulkan salah paham.”
“Baik, Ustaz.”
“Saya permisi. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.” Aku dan Nizam menjawab bersama.
Ustaz yang entah siapa namanya itu lantas pergi.
“Dia ustaz ngajar pelajaran formal apa kitab, Zam?” tanyaku kepada Nizam.
Aku meletakkan makan, sudah tidak berselera lagi. Hanya kumakan kerupuknya.
“Formal, Mbak. Denger-denger udah PNS. Beliau ngajar bahasa Arab, menggantikan Bu Mila yang udah pensiun. Tapi kalau hari libur atau malam, sering ikut ngajar ngaji atau kadang nginap di sini. Idola baru para santriwati dia.”
“Oh.”
"Kenapa tanya-tanya?"
"Ya, Mbak baru lihat. Wajar, dong, tanya."
“Mbak, emang tadi kita kayak pacaran, ya?” tanya Nizam sambil tertawa.
“Mungkin. Kita suap-suapan, bikin yang lihat salah paham bagi yang baru tahu. Dikira pacaran. Padahal kita sering, kan, kayak gini?”
Remaja yang usianya tujuh tahun di bawahku itu justru menatapku. “Aku pengen punya pacar yang kayak Mbak Niha.”
Uhuk!
Aku tersedak.
Nizam memberikanku air mineral dan aku pun meminumnya.
“Dijaga ucapannya. Nggak boleh mikir kayak gitu. Mbak jadi takut kamu menyimpang, suka sama mbaknya sendiri.”
“Heh, enggaklah. Maksudnya, yang cantik dan baik kayak Mbak.”
“Sekolah dulu yang bener, jangan mikirin hal lain. Ingat, Zam. Di hati dan pikiranmu itu ada Al-Qur’an yang harus kamu jaga. Jangan mengotori dengan hal lain. Nanti nggak berkah. Suka sama seseorang itu wajar, tapi harus tahu porsinya, harus punya rem kuat buat nahan hawa nafsu. Harus tahu waktunya.”
Nizam mengangguk, masih melanjutkan makan.
“Jangan pacaran. Kalau suka sama cewek, cukup simpan dalam hati. Kalau jodoh, nanti juga bakal bersatu. Kalau nggak jodoh, sakitnya biar nggak sakit-sakit amat. Emang kamu lagi demen sama seseorang?”
Nizam menggeleng. “Enggak. Lalu apa Mbak pernah suka sama seseorang?”
“Mana sempat Mbak suka sama seseorang, Zam. Di pikiran Mbak, hanya ada kerja dan bagaimana cara mendapatkan uang.” Aku tersenyum masam.
Masa mudaku berbeda dengan wanita kebanyakan. Utang yang ditinggalkan orang tua membuatku tidak pernah berkenalan dengan apa itu cinta. Cukup pernah sekadar mengagumi seseorang, tidak lebih.
Pria yang menyatakan suka banyak, tetapi aku tolak karena aku tidak ingin terikat apalagi dalam hubungan dosa seperti pacaran.
“Tipe Mbak Niha itu sebenernya kayak apa? Aku yakin bukan Mas Aqsal orangnya.”
Aku terdiam. Nizam benar. Bukan pria seperti Mas Aqsal yang aku impikan sebagai suami.
“Tipe Mbak itu cukup pria yang soleh. Itu aja udah. Karena dengan kesholihan seseorang, tanggung jawab, cinta, dan kesetiaan akan otomatis mengikuti. Pria sholih itu takut dengan Allah dan secara tidak langsung, takut menyakiti hati wanitanya. Dia akan memuliakan wanitanya.” Mataku menerawang jauh.
“Wih, filosofi yang keren.” Nizam bertepuk tangan.
"Tapi pria solih itu kadang suka poligami? Hayo, gimana, Mbak?"
Aku tertawa, tidak bisa menjawab karena mungkin aku pun akan dipoligami. “Udah, lanjut makan dulu. Jangan bicara sambil ngobrol.”
Jodoh, kita hanya bisa meminta dan Allah yang berhak memberi. Dia memberiku Mas Aqsal yang jauh dari kata pria saleh. Pria itu mengaku muslim, tetapi jarang salat.
Jodoh, katanya cerminan diri. Aku mungkin belum sebaik yang kukira hingga akhirnya aku harus berjodoh dengan Mas Aqsal.
Aku kembali menatap Nizam. Foto dialah yang kemarin dikirim Mas Aqsal untuk mengancamku. Ancaman yang tidak main-main. Nizam pernah beberapa kali celaka dan itu karena ulah Mas Aqsal.
Aku bertahan dengan Mas Aqsal juga karena ingin melindungi Nizam.
“Mbak, kemarin aku ke minimarket. Ada dua pria yang mengikuti sampe balik ke pondok.”
Tuh, kan?
“Lain kali kamu harus lebih berhati-hati. Jangan sering keluar pesantren. Kalau butuh sesuatu, titip teman saja. Jaga dirimu baik-baik, Zam. Karena kalau kamu terluka, bukan hanya kamu yang merasakan sakit. Mbak lebih tersiksa.”
“Iya-iya, Mbak.”
Kami pun lantas mengobrolkan banyak hal.
Di pesantren ini, aku merasakan kedamaian dan ketenteraman. Suasananya; dingin, tak sepanas Jakarta dan pemandangannya; santri berkopiah dan bersarung membawa kitab sesekali tertawa bersama temannya; suara santri murajaah, membuat hatiku sejuk.
“BTW, Mbak. Aku nemu tipe pria idaman Mbak Niha.”
“Apa maksudmu?”
“Ustazku tadi.” Nizam terpingkal-pingkal.
“Ngomong gitu lagi, Mbak stop uang jajanmu, Mbak nggak akan ngunjungi kamu lagi. Mau?”
“Ampuun!”
**
Setelah puas bercengkerama dengan Nizam, kekuatan dan semangatku terisi penuh. Sore harinya, aku pulang dengan langkah ringan. Jika disakiti Mas Aqsal pun, aku siap.
Tepat saat berjalan di halaman, sebuah mobil masuk gerbang. Mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi ke arahku.
Aku tidak menepi, berlari, atau mencari tempat lebih aman karena aku sudah berjalan di zona yang tepat. Aku hanya bisa pasrah, memejam. Kalaupun pengemudi itu menabrakku, posisiku sebagai korban, dia yang menanggung hukuman dan dosa. Setidaknya aku tak perlu susah-susah bunuh diri karena menanggung beban hidup yang sekejam ini.
Bunyi rem berdecit terdengar memekakkan, setelah itu hening. Aku pun membuka mata saat tidak ada yang menabrakku. Pintu mobil dibuka. Terlihat Mas Aqsal turun, lalu pintu itu ditutup sangat keras. Pria itu berjalan ke arahku.
Plak!
Satu tamparan dihadiahkan sebagai salam penyambutan.
Pipiku terasa panas. Mataku berkaca-kaca. Aku terpejam sambil memegangi pipi.
Jangan menangis, Niha. Jangan menangis.
“Wanita j*l*ng! Ke mana saja kamu dari semalam baru pulang?Menju4l diri? Hah!” bentaknya.
“Ponsel tidak bisa dihubungi. Apa maksudnya? Biar kesenanganmu melayani pelanggan di luar sana tidak terganggu? Masih berani menunjukkan muka di sini? Cih, tak tahu malu.”
“Ak-aku, pon-ponselku–“ Mulutku gagap, tubuh bergetar hebat. Ah, aku ingin berkata jujur dengan penuh ketegasan, tetapi lidahku tidak bisa diajak berkompromi.
“Mas, a-aku dari–“
“Tidak pernah kusentuh sampai kamu berani menjual diri pada lelaki lain, iya!”
“Jaga ucapanmu, Mas.”
“Lalu ke mana, hah! Seharian aku mencarimu. Ponsel juga masih mati. Dasar durhaka. Mulai saat ini ....”
“Permisi.” Suara besar terdengar, menjeda kemarahan Mas Aqsal.
“Tolong jangan marahi Niha seperti itu. Ini ponselnya, ketinggalan di mobil saya,” lanjut suara itu. Ya Allah, kehadirannya yang tidak tepat akan membuat masalah ini makin rumit.