BAB 3

982 Words
Arum mengerutkan dahi, ia sungguh tidak mengerti apa yang Sarah dan Emir bicarakan. Seperti berbahasa Lebanon, Turki, Spanyol entahlah ia sama sekali tidak mengerti. Emir ya itu adalah keponakan Sarah, calon majikannya. Laki-laki itu tampan, ya memang tampan, ia seperti pangeran Arab. Mereka mungkin imigran yang sudah puluhan tahun menetap di London. Setelah beberapa menit berlangsung, Emir membawa Arum bersamanya. Arum duduk dibelakang, karena tidak etis rasanya ikut majikan duduk didepan bersamanya. Arum menolak ketika tadi Emir menyuruhnya duduk didepan bersamanya. "Kamu, tidak ada masalahkan dengan ke Imigrasian kamu?". "Tidak, kamu bisa mengecek semuanya, visa inggris dan paspor saya". "Bagus kalau begitu. Berapa lama perjalan kamu dari Indonesia ke London?" "13 jam lebih perjalanan" ucap Arum sekenanya. "Lama juga ya ternyata". "Iya". Suasana menjadi hening kembali, Emir melirik Arum dari kaca dasbor. Wajah itu setengah menunduk, mungkin ia sudah lelah akibat perjalan jauhnya. Arum menatap bangunan rumah bercat putih itu. Rumah itu berpagar tinggi, halaman yang tidak terlalu besar. Rumah yang didesain minimalis modren. Emir mematikan mesin mobil itu, dan disusul Arum. Arum membawa koper miliknya, mengikuti langkah Emir masuk ke dalam rumah itu. Emir membuka rumah itu,dan dipersilahkan Arum masuk. Arum masuk kedalam rumah itu. Rumah ini begitu nyaman dan modren. Arum tidak menyangka bahwa rumah minimalis ini memiliki kolam renang di taman belakang. Arum kembali menatap Emir, Emir melangkahkan kakinya mendekati Arum. "Ini rumah saya" ucap Emir. "Iya". "Setiap hari kamu hanya perlu mengepel, menyapu, dan membuatkan makanan untuk saya. Saya tidak memilih makanan, apa saja akan saya makan. Kerjakanlah seharusnya kamu kerjakan, saya tidak menuntut kamu. Saya tidak ingin menjadi majikan yang keji, seperti apa yang kamu lihat di TV. Saya hanya ingin rumah saya dalam keadaan bersih, itu saja" Emir mencoba menjelaskan kepada Arum. "Iya, saya mengerti". "Dan disini kamar kamu" Emir lalu membuka pintunya kamar. Kamar itu letaknya di belakang dekat dapur. Arum mengikuti langkah Emir, dan Emir menyerahkan kunci kamar itu untuknya. Arum menerima kunci itu, kembali menatap Emir. Arum menatap ruangan kamar miliknya, kamar sederhana yang simple. Hanya terdapat tempat tidur, meja, dan lemari. "Terima kasih" ucap Arum. "Sama-sama, istirahatlah. Mungkin kamu lelah atas perjalanan jauh kamu". "Iya". "Semoga kamu betah" ucap Emir, lalu melangkah meninggalkan Arum. Arum lalu masuk kedalam kamarnya, ia tidak lupa menutup pintu itu kembali. Arum lalu meletakkan koper miliknya di dekat lemari, dan dibukanya koper itu. Arum menyusun pakaiannya yang ia bawa itu kedalam lemari. Setelah itu, Arum membuka jaket kulit yang dikenakannya. Arum menggantungnya disisi lemari. Arum menatap kasur empuk dihadapannya. Jujur selama di pesawat ia tidak bisa tidur nyenyak, karena Arum sudah terbiasa dengan tidur di tempat yang datar seperti kasur seperti ini, bukan kursi pesawat yang sempit itu. Arum mencoba memejamkan matanya sejenak, istirahat lebih baik. ******** Malam harinya Arum mulai melakukan aktivitasnya sebagai asisten rumah tangga. Arum membuka chiler, menatap satu persatu bahan makanan didalamnya. Tidak ada satu pun bahan makanan yang bisa dimasak disana. Arum masih menunggu Emir, Emir menyuruhnya masak, tapi lihat saja, tidak ada satupun bahan makanan yang bisa dimasak. Arum duduk disalah satu sofa, Arum melirik jam yang didinding. Jam itu menunjukkan pukul 19.12 menit. Semenit kemudian mendengar suara pintu terbuka, Arum menoleh 45 derajat. Ia lalu berdiri, karena itu adalah majikannya Emir. Emir menatap Arum, pakaiannya sederhana. Hanya mengenakan kaos putih dan rok selutut berwarna nude, yang telah pudar warnanya. Ia cukup sopan mengenakan pakaian itu, ia terlihat fashionable untuk ukuran asisten rumah tangga. Asistennya yang dulu sama sekali jauh dari kata cantik, dan tidak terawat. Jauh sekali perbandingannya dengan Arum. "Saya, bingung untuk memasak apa. Sementara di chiler tidak ada satupun bahan makanan disana" ucap Arum. Emir mengerutkan dahi, ia lalu meletakkan tas dan jas itu disisi sofa. Ia lalu berjalan mendekati chiler, dan betul apa yang dikatakan Arum. Tidak ada sedikitpun bahan makanan disana. Emir begitu sibuk, hingga ia lupa untuk mengisi bahan makanan disana. "Ya, saya lupa untuk berbelanja. Sudah sebulan ini saya makan diluar terus, karena asisten rumah tangga saya yang dulu pulang ke Filipina. Yasudah, ayo ikut saya, kita berbelanja keperluan dapur". "Sekarang?". "Iya, karena saya belum makan". "Iya". Arum mengikuti langkah Emir. Ia sedikit tidak enak, kepada Emir. Masalahny laki-laki itu baru saja tiba dirumah dan sudah keluar lagi untuk berbelanja bersamanya. Sangat tidak sopan menurutnya. Beberapa menit kemudiani ia sudah tiba di supermarket lengkap, letaknya tidak begitu jauh dari rumah Emir, sekitar dua kilo meter. Emir membawa troli dan Arum memilih bahan makanan. "Saya boleh tanya sesuatu?" Tanya Arum. "Mau tanya apa?". "Kamu suka makanan seperti apa? Agar saya lebih mudah memasak apa yang kamu suka" Arum memasukan daging sapi, yang sudah di prepack didalam streofoam, Arum memilihnya secara cermat, dan lalu ia masukkan kedalam troli. "Apa saja, saya tidak pernah memilih makanan. Itu yang tersaji, saya akan memakannya". "Kamu bisa memasak dari negara kamu, mungkin". "Kamu mau mencoba makanan dari Indonesia?" Arum memasukan udang itu. "Tentu saja" ucap Emir. "Kamu pernah ke Indonesia?" Tanya Arum penasaran. Arum memilih beberapa buah apel dan jeruk lalu dimasukan kembali kedalam troli. "Tidak pernah, nanti mungkin suatu saat saya akan kesana" ucap Emir. Emir menghentikan langkahnya, ia menatap Arum, berbincang-bincang seperti ini. Emir merasa ia bukan seperti antara majikan dan asisten. Ia terlihat seperti seorang teman. "Ada yang ingin saya tanyakan kepada kamu". "Tanya apa?". "Pendidikan terakhir kamu?". "Hanya sekolah menengah atas". Emir bertanya kembali, "Bukankah, Indonesia bukan jajahan Inggris? Kenapa bahasa inggris kamu fasih sekali". Arum tertawa, ia lalu memasukan beberapa saos tomat dan penyedap masakan. "Ya, memang bukan jajahan inggris, tapi saya pernah kursus beberapa bulan, sebelum memutuskan kesini". "Begitu ternyata, umur kamu berapa?". Arum kembali memasukan mentega, tepung, dan gula. Ia akan mencoba membuat kue sewaktu-waktu "25 tahun". "Kalau boleh tahu, orang tua kamu? Apakah beliau tidak tahu kamu kerja disini. Bersama saya?" Tanya Emir semakin penasaran. "Saya tidak memiliki orang tua, dan saya dibersarkan di panti asuhan" ucap Arum dan tersenyum. "Maaf, saya tidak tahu". "Sudah seharusnya kamu tahu. Kamu majikan saya". ********
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD