BAB 5-6

1107 Words
BAB 5 “Terima kasih,” balas Dokter Ardian datar. “Kalau butuh teman atau apa, Kak Ardian bisa menghubungi aku. Aku akan selalu ada untuk Kakak,” ujar Widia seraya menatap sinis pada Citra. Citra yang ditatap seperti itu tentu saja merasa takut dan segera menundukkan kepalanya. Dokter Ardian tidak menanggapinya dan berlalu pergi. Citra pun mengikuti ke mana Dokter Ardian pergi. Widia merasa dongkol karena Dokter Ardian tidak menyambutnya dengan hangat. Sedari dulu ia sudah mengincar Dokter Ardian, tapi sayangnya Dokter Ardian lebih memilih Nadia dari pada dirinya. “Sebentar lagi aku akan mendapatkanmu Ardian Raditya!” gumam Widia dengan percaya diri dan tersenyum miring. Sementara itu Dokter Ardian masuk ke dalam sebuah kamar di lantai dua. Kamar itu sangat luas dan sudah didesain seperti kamar anak-anak. Di dalam kamar itu terdapat tempat tidur besar, box bayi, mainan, dan semua keperluan bayi ada di dalam kamar itu. Dokter Ardian dan istrinya sudah jauh-jauh hari mempersiapkan kamar itu untuk menyambut kelahiran buah hati mereka. “Ini kamarmu. Semua keperluan bayi sudah tersedia,” tutur Dokter Ardian setelah menidurkan bayinya pada box bayi. “Baik, Dok!” balas Citra patuh. “Kalau ada yang kurang, kamu bisa bilang pada saya. Dan kalau kamu butuh sesuatu atau apa saat saya tidak ada, kamu bisa minta pada Bik Yati di dapur,” lanjut Dokter Ardian lalu pergi dan menutup pintu kamar Citra. Usai Dokter Ardian menutup pintu, mata Citra pun memindai sekeliling kamar itu. Kamar itu lebih besar dari pada kamar kos Citra. Setelah itu Citra merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. “Hm … nyaman sekali,” gumam Citra seraya membelai kasurnya. *** Malam hari Semua tamu, tetangga, dan keluarga sudah pulang setelah pengajian pembacaan tahlil dan surat Yasin di rumah Dokter Ardian. Dokter Ardian masuk ke dalam kamarnya dan duduk di tepi tempat tidurnya. Kemudian ia meraih foto mendiang istrinya yang ada di atas nakas. “Kenapa kamu pergi secepat ini?” gumam Dokter Ardian seraya membelai foto mendiang istrinya yang tengah tersenyum. Kenangan saat mereka pertama kali bertemu pun melintas kembali di ingatan Dokter Ardian. Saat itu Nadia dan Widia tengah berjalan di pinggir jalan seusai jalan-jalan pagi pada hari Minggu. Tiba-tiba ada sebuah sepeda motor yang melaju dengan sangat kencang dan menyerempet mereka. Kebetulan Nadia berada di sebelah kanan. Hingga akhirnya Nadia pun terjatuh. Dokter Ardian yang melihat kejadian itu segera menghampiri mereka dan menolongnya. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Dokter Ardian seraya membantu Nadia berdiri. “Tidak apa-apa. Terima kasih,” balas Nadia seraya mendesis karena merasakan perih pada sikunya. “Siku kamu berdarah,” ucap dokter Ardian ketika melihat siku Nadia terluka. “Tidak apa-apa. Hanya lecet sedikit,” sahut Nadia dengan meringis menahan perih. Widia pun tertegun ketika memandang Dokter Ardian. Ia terpesona pada Dokter Ardian. Tidak hanya tampan, Dokter Ardian juga sangat perhatian. Sampai-sampai ia lupa untuk menolong Nadia. Dari situlah awal perkenalan mereka. Dan dari situlah tumbuh perasaan cinta di hati Widia pada Dokter Ardian. Sayangnya, Dokter Ardian lebih tertarik pada Nadia dari pada Widia. Di saat Dokter Ardian tengah mengenang awal pertemuannya dengan Nadia, tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi. Dokter Ardian pun segera menaruh kembali foto Nadia di atas nakas. Kemudian ia bergegas keluar dari kamarnya menuju kamar Citra yang berada di samping kamarnya. Dokter Ardian dan Nadia memang sengaja menyiapkan kamar calon anaknya di samping kamar mereka. *** BAB 6 Ketika sampai di depan pintu kamar Citra, Dokter Ardian segera membuka pintu kamar itu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Kebetulan Citra juga tidak mengunci pintu kamarnya. Citra pun terkejut saat mendengar suara pintu kamarnya terbuka. Ia segera menoleh pada pintu kamarnya dan tampaklah Dokter Ardian berdiri di sana. “Kenapa dia menangis?” tanya Dokter Ardian sembari berjalan mendekat ke arah Citra lalu mengambil alih bayi itu dari tangan Citra. “Mungkin dia merindukan Mamanya, Dok,” jawab Citra dengan ragu. Sedari tadi ia sudah berusaha merawat dan menjaga anak Dokter Ardian agar tidak sampai menangis kencang. “Apa kamu sudah mengganti popoknya?” tanya Dokter Ardian seraya meraba diapers yang dipakai anaknya. “Sudah, Dok. Bahkan s**u pun baru saja ia habiskan,” jawab Citra menjelaskan. Dokter Ardian pun berusaha menenangkan bayi itu dengan menimang-nimangnya. Namun, hasilnya nihil. Ia pun berpikir bagaimana caranya membuat bayi itu berhenti menangis. Tiba-tiba terbesit sebuah ide yang mungkin bisa dikatakan ide gila, tapi apa salahnya mencoba, pikir Dokter Ardian. “Coba susui dia,” ujar Dokter Ardian seraya mendekati Citra. “Apa, Dok? Susui?” ulang Citra untuk memastikan ia tidak salah dengar dengan mengerutkan keningnya. “Iya. Mungkin dia pengen nenen,” balas Dokter Ardian seraya memberikan bayinya pada Citra. “Tapi, Dok, saya kan bukan ibunya. Saya juga tidak punya ASI,” tutur Citra berusaha menolak permintaan Dokter Ardian. Bagaimana pun ia masih perawan. Tubuhnya belum pernah dijamah siapapun. Masa iya, bayi Dokter Ardian yang akan menjamah tubuhnya untuk pertama kalinya. Tentu saja ia tidak rela. Apalagi bayi itu bukan anaknya. Karena tangisan bayi itu semakin keras, Dokter Ardian pun segera meraih kancing atas piama Citra untuk segera membukanya. Ia tidak tega melihat anaknya menangis seperti itu. “Dokter!” jerit Citra seraya menepis tangan Dokter Ardian dengan kasar dari dadanya. Dokter Ardian pun melihat tangannya sendiri yang ditepis Citra. Ia menyesal telah berlaku kurang ajar pada Citra. “Maaf,” ucap Dokter Ardian dengan pasrah dan menundukkan kepalanya. Citra pun mengerti dan menyesal karena sudah berteriak pada Dokter Ardian. “Saya akan melakukannya, tapi tolong Dokter keluar dulu dari kamar ini,” tutur Citra akhirnya mengalah. Ia juga tidak tega melihat bayi itu menangis terus menerus. “Oke, baiklah. Kalau kamu butuh bantuan apapun, kamarku ada di sebelah kamar ini,” ujar Dokter Ardian lalu keluar dari kamar Citra dan menutup pintunya. Setelah Dokter Ardian keluar dari kamarnya, Citra membuka kancing atas piamanya dan mengeluarkan buah dadanya. Meskipun agak ragu, ia akan mencoba menyusui bayi itu untuk pertama kalinya. Memang tidak mengeluarkan ASI, paling tidak bayi itu bisa mengempeng tanpa kembung dan kekenyangan. Tidak lama kemudian tangisan bayi itu sudah tidak terdengar lagi. Dokter Ardian yang berdiri di depan pintu kamar Citra pun tersenyum dan merasa lega. Setelah itu ia masuk ke dalam kamarnya kembali. Sementara itu Citra di dalam kamarnya sedang menyusui bayi Dokter Ardian dengan menahan sakit karena bayi itu menyedotnya dengan sangat kuat. “Cepat tidur ya, Sayang …,” gumam Citra seraya membelai kepala bayi itu. Ia merasa kasihan pada bayi itu karena sejak lahir sudah tidak bisa melihat wajah Ibunya. *** Keesokan harinya Pagi-pagi sekali Widia sudah datang ke rumah Dokter Ardian dengan membawa banyak belanjaan di tangannya. Kemudian ia menuju dapur untuk memasak sebelum Dokter Ardian turun ke lantai bawah untuk sarapan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD