Siska :
Segelas moccacinno panas kuletakkan di samping laptopnya. "Ada yang lain?" tawarku.
"Cukup," sahutnya datar, tanpa menoleh sedikit pun.
"Jika butuh sesuatu, aku ada di kamar mandi." Kuberi satu kecupan ringan di atas rambut hitamnya.
Dia bergeming.
Begitulah jika sudah bekerja. Fokus, tanpa memedulikan yang lain, termasuk aku.
Bak sudah terisi penuh saat aku masuk ke kamar mandi. Cukup menambahkan sabun beraroma bunga mawar, maka wanginya sanggup menenangkanku.
Segera aku masuk dan merendamkan badan ini, letih rasanya. Sejak di kampus tadi sudah membayangkan untuk memanjakan tubuh, tapi ternyata keinginanku terhalang oleh permasalan Luna. Sampai apartemen, lagi-lagi kutunda hasratku. Demi memuaskan berahinya lebih dulu.
Bisa saja aku meminta izin untuk mandi, tapi melihat keadaannya saat itu, tampaknya dia sedang kacau. Dan ini akan berdampak buruk padaku, jika aku membiarkannya sendiri.
Yah, seperti yang aku katakan. Pekerjaanku adalah mengurusi mood-nya.
Dia, dia, dia. Dia yang utama.
Semua waktuku hanya untuk dia, semua yang ada padaku hanya milik dia, tubuhku pun hanya dia yang berhak menguasai.
Siapa dia?
Dia, Reyandra Pratama Wirata.
Tak banyak yang aku tahu tentang dia. Seingatku, dia anak semata wayang dari pasangan Tuan Rahadian Wirata dan Nyonya Dela Agusti Wirata.
Tahu siapa mereka?
Keluarga Wirata adalah salah satu pengusaha sukses di Asia Tenggara. Memiliki banyak jaringan usaha, dan saham yang bertebaran di beberapa perusahaan negara tetangga. Dan bukti sebagai anak pengusaha ternama adalah, sang ayah memberinya sebuah hadiah perusahaan baru yang harus dia kelola.
Hadiah, atas keberhasilannya karena berhasil menyandang gelar S2.
Orang kaya.
Itu saja yang kutahu tentang keluarga dan perusahaannya. Selebihnya, aku hanya tahu apa merk bajunya, celananya, sepatunya. Bahkan celana dalamnya pun aku sudah tahu ukurannya.
Konyol memang.
Andra, begitu aku memanggilnya. Tampan, kaya, baik hati. Ya, menurutku. Spesialnya, dia bisa memberi semua yang aku inginkan.
Tanpa aku ketahui, ini semua akan terjadi.
Berawal dari hari itu.
Satu tahun kedatanganku di Jakarta.
Kedatangan?
Ya, aku memang hanya seorang perantau. Gadis kampung dengan sejuta mimpi. Polos dan lugu, tapi memiliki nyali besar. Sukses, itu impianku.
Umurku sembilan belas tahun waktu itu. Pernah bekerja sebagai pelayan restoran, lalu menganggur beberapa minggu karena restoran itu bangkrut. Miris.
Demi kelangsungan hidup, aku menerima tawaran pekerjaan di sebuah kafe. Kafe, yang merangkap klub malam. Menyedikan berbagai fasilitas plus-plus ; tempat karaoke, panti pijat dan perempuan yang bebas disewa sepuasnya.
Agak terkejut awalnya. Ingin menolak, tapi aku tak punya pilihan. Terpaksa kujalani dulu pekerjaan sebagai pelayan -lagi- walau hati setengah terpaksa. Meski setiap malam harus menolak mati-matian godaan para p****************g.
Di suatu sore, saat bersiap berangkat. Doni -adikku- menelepon. Memberitahukan jika keadaan keluarga di kampung sedang genting. Kedua orang tuaku sudah berminggu-minggu tidak bekerja, karena ladang yang biasa mereka garap sedang dalam sengketa. Pamanku ingin menjualnya. Maklum, harta warisan.
Walau aku sempat kesal pada bapak dan ibu yang pernah menentang kepergianku ke ibu kota. Toh, aku sebagai anak tetap saja tak tega. Pikiranku kalut seketika. Belum lagi memikirkan biaya kuliah yang baru satu semester aku jalani.
Di tengah kebimbangan, Jihan datang. Dia salah satu teman kos, lewat dia jugalah aku mendapat pekerjaan di kafe sebagai pelayan.
"Melayani para lelaki itu, Sis. Hanya itu cara termudah," ucapnya saat dia mengetahui peliknya masalah yang kuhadapi.
"Kamu?" tanyaku tak percaya.
"Iya, selama ini kamu pikir dari mana uang-uang yang kumiliki? Bahkan kini aku bisa terbebas dari celotehan ibu dan bapak di kampung, yang selalu mengeluhkan kesusahan mereka."
Aku terdiam, kebingungan. Pantas Jihan selalu pulang menjelang pagi dengan diantar motor, bahkan mobil bagus pun pernah.
"Tapi, itu haram, Jihan?" tanyaku polos.
"Jangan katakan tentang haram. Pilihannya hanya ada dua, mencari yang halal tapi susah setengah mati. Atau yang haram dengan cara mudah, tapi bisa memenuhi semuanya. Permasalahannya ada sama kamu. Diam, atau bicara?"
Aku tertegun. Begitu keraskah hidup, bagi kami orang kecil? Hingga harga diri pun menjadi taruhan.
Kupikirkan semuanya masak-masak selama beberapa hari. Hingga kuambil keputusan bodoh itu ; mendatangi Mami Lidya -pemilik kafe- dan mengatakan ingin menjadi salah satu perempuan penghibur di tempatku bekerja.
Perempuan berpenampilan glamour itu tertawa senang. "Akan kucarikan pelanggan pertamamu," ucapnya. Lalu berbisik, "jika kamu masih gadis, seratus juta akan menjadi milikmu."
Hampir aku tak percaya. Seratus juta, untuk harga kehormatan yang selama ini aku jaga.
Aku mengangguk, menyetujui ikatan kerja kami.
"Pulanglah. Nanti malam akan menjadi hari terindah di hidupmu!" perintahnya.
Aku pulang, menunggu kepastian dengan hati berdebar.
Tepat pukul enam sore, mobil itu datang. Pengawal Mami Lidya, beserta satu asistennya. Dia memberiku gaun berwarna merah marun yang menampakkan hampir seluruh bagian punggungku. Asistennya pun memakaikan make up di wajahku.
Sungguh, aku merasa seperti bukan aku saat memperhatikan diri di depan cermin.
Tepat pukul delapan, kami sampai di sebuah hotel mewah berisikan para kaum kelangan atas. Aku dibawa ke salah satu kamar berukuran besar, lengkap dengan ranjang king dan kulkas di dalamnya.
"Tunggu di sini, nanti dia datang." Pesan salah satu pengawal berpakaian serba hitam.
Aku cukup mengangguk, karena sesungguhnya entah apa yang harus aku lakukan.
Aku bahagia? Tidak ternyata. Yang terjadi adalah aku mulai tak nyaman, ketakutan mulai mendera. Membayangkan, aku akan menjadi perempuan ....
Ah, rasanya menyesal karena mengikuti ajakan Jihan.
Beberapa menit kemudian, pintu terbuka. Seorang lelaki paruh baya masuk, dengan tampilan khas pengusaha. Memakai jas dan celana, juga sebuah tas di tangannya.
Astaga! Bahkan sepertinya dia lebih tua dari ayahku!
Dia masuk, tersenyum saat melihatku yang duduk di tepian ranjang.
"Cantik sekali. Berapa umurmu?" tanyanya sambil mengusap pipiku.
Aku menggelengkan kepala pelan, merasa risi dengan sikapnya. "Sembilan belas, Tuan."
"Lebih muda dari anak bungsuku," ucapnya sambil membuka jas, lalu kemejanya.
Aku memejamkan mata, saat melihat perut buncitnya itu. Mendadak merasa mual.
"Pijit tubuhku!" perintahnya setelah menelungkupkan badan di atas kasur.
"Ta-tapi, aku tidak bisa memijit, Tuan."
"Apa? Tidak bisa memijit? Aku sudah membayarmu dengan harga tinggi, harusnya kamu sanggup melayaniku!" teriaknya. Lalu bangun, dan duduk di hadapanku. Tangan kanannya mencengkram daguku. "Ayolah, Sayang. Jangan buat aku kecewa."
Tubuhku gemetar. Detak jantung bertalu kencang. Oh, Tuhan. Beri aku keajaiban. Jika memang ini jalan hidupku, tolong jangan lelaki seperti ini.
"Ba-baiklah. Ta-tapi, bolehkah saya izin ke kamar mandi sebentar?"
"Oh, kamu masih gugup rupanya. Oke, aku memaklumi. Silakan ke kamar mandi," sahutnya. Lalu mendekatkan wajahnya ke telingaku. "Tapi jangan lama-lama, aku sudah tidak sabar menikmati tubuhmu."
Aku menghindar saat dia akan mencium pipiku. Segera berjalan ke arah kamar mandi.
Akhirnya, sepuluh menit aku berdiri tak jelas di kamar mandi. Berjalan mondar-mandir ke sana ke mari. Aku takut. Benar-benar takut. Nyatanya, tak semudah yang aku bayangkan pada awalnya.
Aku terenyak, saat terdengar suara pintu digedor.
"Hei, apa yang kamu lakukan? Cepat keluar!" Suaranya begitu lantang.
"Se-sebentar, Tuan." Aku menjawab takut, berusaha mencari cara agar aku bisa terbebas.
Kulepas sepatu. Hells-nya cukup tinggi dan berujung kecil. Perlahan aku membuka pintu. Benar saja, dia langsung menyergap tubuhku. Nyaris aku tertangkap jika sedikit saja telat menghindar.
Aku tertegun melihatnya. Dia sudah melepas pakaiannya, hanya memakai celana pendek dan kaos singlet. Matanya tajam menatapku, seolah merasa marah karena dipermainkan. Kembali dia menyerang, dan aku berhasil menghindar lagi.
Ketiga kalinya, aku sedikit bersabar. Dan saat dia mendekati.
Duk!
Darah mengucur dari keningnya. Ternyata sepatu yang sempat membuat kakiku kesakitan ini sangat bermanfaat.
"Hah, dasar jalang kurang ajar! Beraninya kamu ... ahh!" Dia terjatuh, tepat setelah aku menendang selangkangannya.
Aku berlari ke arah pintu. Beruntung kuncinya masih menempel. Dengan mudah aku membuka dan keluar dari kamar.
"Woi, mau ke mana?"
Aku menoleh. Sial! Ternyata anak buah Mami Lidya menunggu di ujung lorong.
Aku berlari ke arah berlawanan. Ketakutan mulai menyelimuti. Bagaimana jika mereka berhasil menangkapku?
Saat melewati sebuah lorong, ada tangan yang menarik. Punggungku dipaksa merapat pada dinding dan dia berdiri tepat di depanku.
"Lep-lepas ... tolong, jang--" Aku mengatupkan bibir, menyadari siapa yang berdiri di hadapan.
"Diam atau mereka akan menemukanmu," desisnya dengan tatapan tajam ke arahku, bahkan aroma mint dari bibirnya menyerobok hidung. Wajah kami benar-benar hampir tak berjarak.
Aku mengerjapkan mata, mengangguk lemah.
Lelaki itu melepas salah satu cekalan tangannya, lalu menarikku ke arah lorong gelap.
"Ke mana ini?" tanyaku takut.
"Ikut saja," sahutnya singkat.
Kami menyusuri lorong yang berbelok. Hingga akhirnya sampai di sebuah pintu. Rupanya tangga darurat.
Menuruni ratusan anak tangga, bersama pria asing yang baru ketemui. Sungguh, ketakutanku naik dua kali lipat. Setelah bermenit-menit, kami sampai di sebuah pintu besar.
"Tunggu di sini, aku ambil mobil dulu."
Aku mengangguk lemah, menuruti perintah untuk menunggunya yang sedang berjalan ke area parkir.
Agak lama. Gelisah mulai menyergap, takut jika ....
"Itu dia!" Terdengar teriakan dari salah satu sudut tempat parkir.
Benar saja.
Aku terkejut. Akibatnya aku berlari tanpa tujuan jelas, berputar-putar di area parkir. Kaki sudah merasa pegal, tubuh pun gemetar luar biasa. Dan ternyata, dua orang itu masih mengejarku.
Di tengah rasa takut, lagi-lagi ada tangan yang menarik lenganku. Menuntun paksa agar aku mengikutinya.
"Sudah kubilang, tunggu aku!" cercanya.
Tak sempat menjawab. Aku terlalu sibuk meredakan napas yang terasa berat. Hingga terasa dia mendorong pelan tubuhku ke dalam mobil. Aku pun masuk dan duduk, meski hati masih diliputi tanda tanya.
Mobil melaju, meninggalkan hotel berbintang itu. Sepanjang jalan kepalaku terasa berdenyut, dengan mata berkunang-kunang. Namun, sebisa mungkin aku berusaha menahannya.
"Di mana rumahmu?"
"Saya tinggal di kosan, Jalan Muara," jawabku setelah menurunkan tangan yang memijat pelipis.
"Kenapa?"
"Kenapa apanya?" tanyaku tak mengerti.
"Kenapa harus kabur dari kamar itu?" Dia bertanya masih dengan tatapan lurus ke depan.
"Sa-say ... saya ...." Aku tergagap, tak mampu menjawab.
"Calling woman?" tanyanya ketus. Kali ini dia sempatkan menoleh ke arahku.
"I-iya, tapi ini pertama kalinya." Nada suaraku melemah.
"Oh. Pantas," ujarnya diakhiri suara tawa kecil, atau mungkin mengejek.
Aku menatap wajahnya dari samping. Raut wajah datar dan sorot mata lembut itu.
Siapa dia?
*****