Chapter 1

3744 Words
Hari itu hari yang panas, setidaknya memang selalu begitu. Biasanya sering terjadi di bulan Agustus daripada hari-hari musim gugur di bulan Oktober yang sebentar lagi akan datang. Pradikta Wisnu Adiwijaya, atau pria yang biasanya akrab dipanggil Dikta itu berjalan menuruni tangga dengan langkah kaki elegan. Setelan kemeja putihnya yang digulung sampai siku. Tangannya mengamit surat kabar yang biasa ia baca di pagi hari bersama secangkir kopi hitam. Seandainya ada kontes pemilihan pria-pria paling beruntung, mungkin panitia akan langsung memilihnya sebagai juaranya. Dikta adalah seorang pria yang dikenal baik oleh masyarakat, pewaris dari keluarga taipan pemilik hotel berbintang, perusahaan Startup dan Real Estate yang memiliki banyak cabang baik di dalam maupun di luar negeri. Usianya baru dua puluh tujuh tahun. Sangat sehat, tampan, memiliki banyak uang, dan ia juga menikahi seorang istri yang cantik. Hidupnya sempurna tanpa cacat. Dikta berjalan menegapkan bahunya, melihat sang istri tengah meringkuk di sofa sambil meneguk jus jeruk. Namanya Rainy Melissa, berusia dua puluh tiga tahun. Ia sangat cantik, juga memiliki tubuh yang ramping. Kulitnya terlihat halus dan bagus. Perempuan itu hanya butuh sedikit waktu saja untuk memoles wajahnya. "Halo Cantik, sarapan apa kita hari ini?" tanya Dikta yang ikut duduk di sebelah sang istri. "Fish and chips, Yorkshire pudding, Lancashire hotpot," jawab Rainy dengan muka kusut. "Sayang, aku itu sebenernya udah bosen sama makanan orang Inggris." "Terus kamu mau makan apa?" "Apa lagi emangnya yang ada di sini selain kentang tumbuk? Di London mana ada abang tukang bakso lewat." kata Rainy ketus. Yah, keduanya sudah tinggal di Inggris selama hampir dua tahun lamanya karena Dikta harus mengurus perusahaan cabang milik sang ayah yang ada di sana. Rencananya mereka akan pulang ke Indonesia awal November karena Tante Tribuana Tunggadewi, kakak ipar dari ayah Dikta mengadakan pesta ulang tahunnya yang ke lima puluh lima tahun. "Sayang, aku nggak suka deh sama dekorasi ruang tamu kita. Terlalu monoton. Apalagi ada banyak warna-warna norak di sini." Rainy menunjuk ke arah tirai transparan di jendela depan. Warna lilac yang lembut dengan gradasi warna lavender. Dikta yang mendengar keluhan istrinya sempat terdiam sebentar. Rainy diam-diam menatap tak suka ke arah sang suami begitu melihat perubahan ekspresi di wajahnya. "Boleh nggak kalau aku ganti? Soalnya aku nggak suka sama warnanya, norak." "Terserah kamu deh, Cantik." jawab Dikta sekenanya. Lalu lanjut membaca koran pagi berbahasa Inggris. "Oh iya, temen kamu yang orang Italia si Antonio sama istrinya Beatrice mau ngajakin kita naik kapal pesiar keliling laut Mediterania. Sialan banget kita nggak bisa ikutan." "Bahasa kamu ya, tolong dijaga. Kamu itu perempuan berpendidikan dari keluarga terpandang." tegur Dikta. Rainy hanya berdecak sebal. "Harus banget ya kita ke rumah tante kamu itu?" "Kita udah bahas ini berkali-kali, Rainy. Aku capek ngulangin tiap hari kalo kita beneran harus balik ke Indonesia secepatnya." "Kamu bener. Kalau kita nggak pulang, mungkin jatah warisan kamu bakal berkurang. Bagaimana pun caranya, kita harus dapetin aset keluarga kamu sebanyak mungkin. Keenakan Mas Mirza semisal dia yang dapet banyak bagian." Dikta langsung melempar korannya ke atas meja, menatap sang istri marah. "Tante Dewi emang nggak punya anak, tapi aku nggak pernah punya hak atas harta warisannya, Rainy. Keponakan Tante Dewi nggak cuma aku aja." "Iya, aku tahu kok. Lagian aku tadi cuma bercanda. Aku juga tahu kalau tante kamu itu cuma pura-pura nerima aku sebagai istri kamu." kata Rainy sinis. "Kamu sadar nggak sih? Tante kamu tuh nggak pernah suka sama aku. Dia bahkan nggak pernah sudi untuk sekedar menatap muka aku pas lagi ngomong." "Itu cuma perasaan kamu aja kayaknya. Tante Dewi emang gitu orangnya, agak judes. Dari aku kecil malahan. Kamu mungkin belum terbiasa." "Kamu nggak tahu aja gimana rasanya jadi aku. Seolah-olah aku ini nggak pantes ada di sana. Nggak pantes jadi istri kamu." "Kamunya aja yang terlalu sensitif kali." sanggah Dikta. "Lain kali kalau ketemu Tante Dewi, mendingan kamu yang jaga jarak sama dia. Masalah selesai." "Jelas aja tante kamu nggak suka sama aku! Dia itu cuma sayang sama Vajra!" Rainy mulai meninggikan suaranya kali ini. "Vajra yang cantik lah, Vajra yang kalem, Vajra yang penurut. Tante kamu itu masih belum ikhlas kalau sekarang ini aku yang udah gantiin tempatnya Vajra." Dikta tidak menoleh sedikit pun, hanya berjalan santai menuju ke meja makan. "Wajar aja sih, Tante Dewi udah masuk usia kepala lima. Emosinya labil. Katanya, kalau usia makin tua biasanya sifat mereka balik lagi jadi kekanakan. Tante Dewi dari dulu emang sayang banget sama―Vajra." Suara Dikta terdengar sedikit berubah sewaktu menyebutkan nama itu. "Mereka semua masih nganggep kamu yang udah jahatin dia." "Itu emang bener," bisik Dikta pelan, tapi sang istri masih bisa mendengarnya. "Sayang, kamu itu nggak salah apa-apa!" kata Rainy. "Kalau aja Vajra nggak kegatelan godain mantan pacarnya, semua kekacuan waktu itu nggak akan pernah terjadi." Dikta langsung menatap Rainy dengan tajam, "Kamu kalau nggak tahu apa-apa mending diem aja deh. Vajra nggak pernah ngelakuin hal itu." "Entah kenapa aku ngerasa Vajra sengaja manfaatin kebaikan keluarga kamu. Sok-sok pucet, pura-pura sakit. Duh, pengen banget aku jambak rambutnya," kata Rainy sambil meremas koran di tangannya. "Kalian berdua sangat bertolak belakang. Kamu sehat, selalu segar bugar, dan rajin ke gym. Aku kalau ngelihat Vajra bawaannya kesel mulu. Pucet, nggak pernah olahraga, loyo terus udah kayak kain lap." "Rainy, kamu bisa diem nggak sih? Kamu lagi PMS? Dari pagi sensian terus bawaannya. Kamu cemburu sama dia?" "Aku nggak cemburu sama Vajra! Aku cuma nggak suka sama dia. Vajra itu aneh. Aku punya firasat kalau dia itu perempuan licik. Kamu nggak tahu siapa dia sebenarnya, Mas Dikta!" kata Rainy sembari menggigit cookies kacang. "Kamu bercanda? Aku nikahin dia waktu aku umur dua puluh satu tahun. Aku udah tinggal seatap sama Vajra selama empat tahun. Aku jauh lebih mengenal dia luar dalam daripada kamu." "Pokoknya Vajra itu aneh, rasanya aku selalu waswas kalau ada dia." kata Rainy sekali lagi. *** Tribuana Tunggadewi Jayawisnu Wardhani, seorang wanita paruh baya yang kecantikannya tak luntur oleh usia senja. Wanita itu adalah kakak ipar dari Sutan Adiwijaya. Tribuana adalah pemilik hampir separuh aset keluarga Adiwijaya karena ia telah mewarisi seluruh harta milik almarhum suaminya. Suaminya Yohan Adiwijaya telah meninggal sekitar sepuluh tahun silam, dan Tribuana tidak memiliki anak dari perkawinannya. Semua anggota keluarganya terbiasa memanggilnya dengan nama Dewi. Alasannya karena namanya terlalu panjang sehingga seluruh anggota keluarganya memilih untuk memanggilnya dengan nama yang mudah diucapkan. "Gila!" cecar Dewi. "Gagasan sinting macam apa ini? Dikta mau mulai perang dunia ketiga apa gimana?" Dewi memiliki profil muka yang bagus. Wajah oval, dagu lancip, hidung mancung, dan matanya yang kecil. Wanita itu terlihat tegas, namun sangat mengesankan. Ia nampak seperti seorang ratu yang duduk di singgasananya. Dewi saat ini sedang bersama Wendy Rosaline, keponakan almarhum suaminya yang tinggal di Kanada yang jauh-jauh hari sudah sampai duluan di Indonesia demi menerima undangan dari sang tante. Wendy duduk di sana, di kamar Dewi yang bergaya Victoria dengan tangan terlipat di d**a. Menatap sang tante dengan pandangan penuh simpati. "Tante nggak percaya, Wen!" kata Dewi sambil memijit pelipisnya. "Semua ini idenya datang dari Dikta sendiri." "Hah? Idenya Dikta? Aku kira ini idenya Tante Dewi. Soalnya Tante mau ngundang semua keponakan Tante di acara ulang tahun Tante nanti." kata Wendy, ekspresinya cukup terkejut. Dewi menggeleng. "Nggak. Tante paham, baik kamu atau Dikta pasti sibuk dengan pekerjaan kalian. Tante nggak nyangka Dikta yang nyaranin buat ngundang semua sepupu-sepupunya. Dan juga ngundang―" kalimat Dewi menggantung begitu saja. "Wendy nggak bisa bayangin sih, Tan. Istri baru sama istri lama berkumpul di satu atap. Bukannya gimana-gimana, Wendy juga kaget pas tahu Dikta bisa punya ide gila kayak gini. Wendy takut bakal ada kejadian yang nggak diinginkan." "Tante udah pusing banget mikirnya. Mau batalin juga undangan udah terlanjur disebar." keluh Dewi. Wendy nampak memilin ujung roknya. "Tapi perempuan itu sekarang udah jadi istrinya Dikta, Tan." "Iya betul, dia udah jadi pilihannya Dikta. Kalau Tante terang-terangan nolak istri barunya, takutnya malah bikin Dikta tersinggung. Tapi jujur aja, Tante kurang suka sama dia. Perempuan itu nggak cocok jadi pendamping hidupnya Dikta." "Wendy juga nggak sreg sih sama dia. Cuma mau gimana lagi." "Tante udah terlanjur sayang banget sama Vajra. Dia ngabisin masa remajanya sebagai bagian dari keluarga kita. Bisa-bisanya mereka pisah cuma gara-gara perempuan itu." "Terus kita harus gimana, Tante?" tanya Wendy. "Entahlah, Wen, kepala Tante pusing. Vajra bilangnya sih mau datang. Tapi Tante tuh nggak tega sebenarnya. Tante merasa bersalah." "Aduh, kenapa jadi rumit gini ya? Pasti nanti bakalan canggung banget, Tan." "Jaman makin edan. Wanita-wanita seperti Rainy yang mencuri suami orang dianggap wajar. Coba jaman Tante muda dulu, udah tinggal nama kali itu perempuan." Wendy kemudian mencoba mengalihkan topik pergunjingan mereka karena dia tahu kalau sang tante sangat sensitif dengan kisah rumit rumah tangga Dikta. "Bentar lagi Vajra kayaknya udah nyampe. Jadwal penerbangan dia jam tiga sore tadi. Wendy mau ngecek dulu ke depan." Dewi hanya mengangguk. Dan ternyata benar, begitu Wendy berjalan ke depan pintu masuk, sudah ada mobil jemputan yang terparkir di halaman depan. Vajra Valeria berjalan anggun sambil tersenyum ramah ke arah Wendy. Di belakangnya ada salah satu asisten rumah tangganya Dewi yang membawakan tas-tas milik Vajra. "Mbak Wendy apa kabar?" sapa Vajra dengan suaranya yang terdengar riang. "Kabar Mbak Wendy baik. Kamu sendiri gimana?" Wendy bertanya balik. Vajra tersenyum singkat. "Baik juga. Aku sehat, Mbak." Vajra adalah seorang perempuan muda, usianya dua puluh lima tahun. Tidak terlalu tinggi, tangan dan kakinya sangat kecil. Kedua bola matanya bulat dan berukuran cukup besar, berwarna cokelat gelap namun sangat jernih. Kalau dibilang cantik, dia mungkin tidak secantik atau memiliki kulit seputih Wendy. Tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang membuat semua orang ingin memandang wajahnya lagi dan terus memandangnya lagi. Jika itu adalah sihir, sepertinya perempuan bertubuh mungil itu memang memilikinya. Mungkin karena pesona sihir itu juga, Wendy sering menjulukinya sebagai peri kecil. Perempuan mungil itu juga memiliki suara yang indah. Lembut, bening seperti suara lonceng perak kecil yang bergema menyenangkan di telinga. Dewi berjalan cepat mendekati Vajra, langsung memeluknya dengan erat. Mendekapnya penuh haru dan kerinduan. Dewi sudah mengganggap Vajra seperti anak perempuannya sendiri. Bagaimana Dewi tidak sesayang itu? Vajra telah mengorbankan masa remajanya. Dia menikah dengan Dikta ketika usianya baru sembilan belas tahun karena perjodohan. Miris memang jika teringat kembali. Gadis itu sudah memiliki seorang kekasih waktu itu, namun ia bisa dengan lapang d**a menikah dengan laki-laki pilihan orangtuanya. "Cantikku udah datang. Kamu langsung istirahat ya abis ini. Tante sebenernya pengen ngobrol banyak sama kamu, tapi Tante tau kamu pasti masih capek." Sedikit warna merah membayangi pipinya Vajra. Rona merah yang lembut. "Kamu yakin nggak keberatan ketemu lagi sama Dikta dan perempuan itu?" bisik Dewi. "Tante, Vajra udah nggak ada hubungan apa-apa lagi sama Kak Dikta. Kenapa harus ada masalah? Lagian kami udah punya kehidupan masing-masing." jawab Vajra bijak, sembari tersenyum tipis. "Anakku," kata Dewi, suaranya dalam dan prihatin. "Kamu yakin kalau semua ini nggak akan menyakiti hati kamu? Tante nggak mau mengorek luka lama kamu." Vajra menggenggam tangan Dewi dengan erat. Wajahnya menampakkan keyakinan kuat di sana. "Tante, semuanya udah berlalu. Hidup harus terus berjalan ke depan. Kita nggak boleh terpaku sama masa lalu." "Kamu emang selalu bijaksana. Selalu bisa berpikiran dewasa." kata Dewi penuh haru. "Tante anterin kamu ke kamar, abis ini kamu mandi terus ganti baju. Kita makan malam dulu bareng-bareng biar kamu nggak sakit." Vajra mengangguk sopan. Dewi menuntun Vajra menuju ke kamarnya. Dewi sendiri telah menyiapkan kamar khusus untuk Vajra. Bahkan Dewi telah meminta asistennya untuk mendekor ulang interior kamar itu dengan cat dinding dan perabotan berwarna lilac. Vajra sangat menyukai warna lilac. Lilac benar-benar mencerminkan karakternya. Tenang, polos, lembut, dan murni. Begitu sampai, ternyata kamarnya memang sangat cantik. Ada lilin bersusun di atas lampu gantung dan lilin-lilin beraroma lavender yang menyala. Di sebelah kiri ranjangnya terdapat jendela dan sebuah pintu dengan pemandangan langsung ke arah laut. Rumah peristirahatan Dewi memang sangat cantik. Selain besar dan mewah, rumah itu berada di tepi pantai. Tempat yang sangat cocok untuk refreshing. Melepaskan diri dari penatnya rutinitas sehari-hari. Cocok juga bagi pasangan muda untuk berbulan madu. Benar-benar rumah peristirahatan yang sempurna. Sekitar dua puluh menit kemudian Vajra sudah mandi dan berganti pakaian. Perempuan itu memakai gaun lengan panjang selutut berwarna lilac. Ia tak memakai riasan apapun, hanya membubuhkan liptint glossy berwarna soft pink untuk memberikan kesan hidup di wajahnya. Vajra duduk di sebelah kanan Dewi yang telah menunggunya di meja makan. Meja marmer itu berbentuk melingkar dan terdapat sekitar sepuluh kursi di sana. Dewi duduk di tengah-tengah seperti biasa, seolah menunjukkan kalau wanita itu yang akan selalu menjadi ratunya. Vajra duduk anggun di sisi kanan Dewi. Wendy juga nampak cantik dalam balutan gaun hitam yang kontras dengan kulit putih pucatnya duduk tepat di sebelah kanan Vajra, melemparkan senyuman ramah. Dewi mempersilahkan Vajra dan Wendy untuk mencicipi teh yang telah disediakan. Vajra lebih memilih teh chamomile daripada earl grey karena ia tak terlalu suka pada varian teh kesukaan orang Inggris itu. Tak perlu menunggu waktu lama, seseorang yang sejak tadi ditunggu Dewi sudah ikut bergabung. Rainy berjalan angkuh sembari memamerkan kuku-kuku panjangnya yang cantik dan terawat. Tadi sore memang wanita itu pergi ke salon untuk melakukan manicure. "Maafin kita ya, Tante. Soalnya tadi Mas Dikta nyariin kemejanya nggak ketemu-ketemu, ternyata nyelip di koper." kata Rainy sambil memasang wajah tak enak. Dewi hanya mengangguk. "Nggak apa-apa. Kalian langsung duduk aja sambil nungguin makan malamnya datang." Rainy berjalan sambil mengamit lengan Dikta yang terlihat gagah dengan setelan kemeja hitam miliknya. Rainy tersenyum menyapa Dewi dan Wendy. Tatapannya lalu beralih pada Vajra yang juga balas menatapnya dengan ramah, akan tapi Rainy segera membuang mukanya. Vajra sendiri tidak begitu memperdulikan pasangan suami istri di hadapannya itu, ia memilih fokus pada majalah di tangannya. Tempat duduk Dikta berhadapan langsung dengan Vajra. Pria itu menatap Vajra tanpa berkedip untuk beberapa saat. Sedangkan Vajra hanya sempat menatapnya sekilas saja tadi. Tak ada ekspresi yang berarti di wajah mantan istrinya itu. Dikta masih memperhatikan bagaimana Vajra membolak-balikkan halaman majalah dengan tangan kecilnya. Sesekali perempuan itu menyesap teh dari cangkir keramik yang ia genggam di antara jari-jari tangan kirinya. Vajra memang selalu tahu cara membuat orang-orang terperosok begitu dalam kepadanya karena dilanda rasa penasaran. "Ehem, hari ini Tante mengundang kalian makan malam karena ingin menjalin kembali tali silaturahmi yang sempat putus. Bagi Tante, kita semua masih tetaplah keluarga." Dewi berdehem untuk menghindari situasi canggung. Semua yang ada di sana mengangguk sopan kepada Dewi. Lalu tanpa perlu menunggu waktu lama lagi, para pelayan datang membawakan hidangan utama yang lezat. Sepanjang makan malam itu, Rainy menahan diri untuk tidak menyiramkan teh panas ke wajah Vajra. Wanita itu kesal karena sepanjang makan malam, suaminya terus saja menatap mantan istrinya penuh damba tepat di depan mata kepalanya sendiri. Sementara yang ditatap sejak tadi hanya tersenyum tipis seolah tak pernah terjadi apa-apa. *** "Ya ampun, kamu baru datang dari Amerika kok nggak bilang-bilang sama Tante?" Dewi menyambut salah satu keponakannya yang baru sampai di kediamannya. Mirza tersenyum lalu menjabat tangan Dewi, menciumnya sebagai tanda baktinya kepada wanita yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri itu. "Maaf ya, Tan. Mirza mau kasih kejutan buat Tante Dewi yang cantik ini." goda Mirza. Adrian Mirza, dua puluh delapan tahun. Lulusan S2 di UCLA dan salah satu keponakan Dewi yang sukses di usia muda. Dia adalah seorang pemuda yang baik, sopan, serta memiliki wajah yang tampan. Ralat, sangat tampan karena Mirza memiliki kadar ketampanan yang tidak wajar. Auranya selalu terlihat begitu tenang dengan senyumannya yang meneduhkan. Di usianya yang masih tergolong muda ini, ia sudah mengurus banyak perusahaan milik ayahnya yang bergerak di bidang pertambangan. Sayang sekali meski hampir menginjak usia kepala tiga, Mirza masih belum tertarik untuk menikah atau mencari pendamping hidup. Mirza terlalu sibuk bekerja sehingga tak ada waktu untuk sekedar mengencani seorang wanita. "Kamu datangnya kurang pas timingnya. Karena di rumah ini sepertinya akan ada banyak drama." keluh Dewi sambil mengajak Mirza duduk di ruang keluarga. "Drama gimana, Tante?" tanya Mirza bingung. Dewi menghela napas panjang. "Yah, situasinya agak sulit. Vajra ada di sini." Dewi berhenti sejenak menanti responnya, dan Mirza ternyata sudah mengangguk mengerti. "Dikta juga ada di sini sama istri barunya." lanjut Dewi. Mirza menaikkan alisnya ke atas, beberapa saat kemudian ia bertanya. "Apa nanti nggak bakalan canggung banget, Tan?" Mirza tidak begitu dekat dengan Dikta karena sejak kecil ia tinggal di luar negeri dan mereka hanya bertemu di acara reuni keluarga. Mirza pernah sekali bertemu dengan Vajra, mantan istri Dikta. Itu pun sudah bertahun-tahun silam saat gadis itu berumur sembilan belas tahun. Gadis muda yang menangis tersedu-sedu di kamarnya karena ia harus terpaksa menikahi pria pilihan ayahnya. "Kamu nggak akan percaya kalo semua ini idenya Dikta buat ngundang Vajra. Tapi istri barunya nggak tahu sama sekali. Tante juga bodoh karena waktu itu langsung setuju sama gagasannya." "Dikta maunya apa sih, Tan? Bukannya dia cerain Vajra gara-gara perempuan itu? Kenapa sekarang dia usulin ide ini?" Dewi memijit pelipisnya. "Tante juga bingung sama sepupu kamu itu." kata Dewi pasrah. "Ngomong-ngomong, kamu udah ketemu sama dua-duanya? Mantan istri sama istri barunya?" "Belum, Tan. Mirza belum sempat nyapa Dikta juga." "Rainy memang cantik. Sayangnya, Tante nggak gitu suka sama dia. Tapi mau gimana lagi, Dikta udah kepalang cinta buta sama perempuan itu." Mirza terdiam sejenak. Setahunya, paras Vajra tidak sejelek itu sampai Dikta meninggalkannya demi perempuan lain. Mirza sudah tak terlalu ingat lagi dengan wajah mantan istrinya Dikta. Lagipula, tak seharusnya ia ikut campur urusan rumah tangga sepupunya. *** Mirza merenggangkan otot-ototnya. Ia berjalan melalui ruang tamu menuju jendela yang membuka ke teras rumah. Ia berdiri sebentar, memperhatikan pemandangan alam di sekelilingnya. Ada dua wanita di teras. Yang satu sedang duduk di ujung birai memandangi air laut, sedangkan wanita yang satunya sedang mengawasinya. Wanita yang pertama tadi adalah Vajra Valeria. Dan wanita satunya lagi tentu saja Rainy Melissa, istri baru Dikta. Vajra sepertinya tidak sadar jika sejak tadi ada orang lain yang mengawasinya. Mirza mungkin tipikal pria cuek yang tak suka ikut campur urusan orang lain, tapi ia bisa dengan mudah melihat jika Rainy sangat membenci Vajra. Vajra masih tak bergeming, matanya menatap jauh ke seberang lautan dan nampaknya masih tak peduli dengan wanita yang satunya. Sudah enam tahun Mirza tak pernah lagi bertemu dengan perempuan itu. Kini ia mulai mengamatinya dengan seksama. Barangkali sudah berubahkah gadis sembilan belas tahun yang cengeng itu? Yah, ada perubahan. Pikirnya dalam hati. Gadis itu terlihat lebih pucat dan redup. Tapi secara keseluruhan ada kelembutan yang terpancar dari matanya. Sesuatu yang tak bisa disebutkan dengan pasti. Mirza tidak akan heran jika saja ia melihat gurat-gurat kesedihan atau penderitaan di wajah perempuan itu―namun ini lain. Vajra tampak seperti anak kecil yang menangkupkan kedua tangannya erat-erat, sedang menggenggam harapannya. Ia seakan mengundang semua orang untuk selalu melindungi dirinya yang rapuh. Lalu mata Mirza tertuju pada wanita yang satunya―Rainy. Tapi pertanyaannya, mengapa Rainy harus membenci mantan istri suaminya itu? Padahal semuanya sudah berlalu. Vajra sudah tidak memiliki tempat atau bagian lagi di kehidupan mereka sekarang. Langkah-langkah kaki terdengar ketika Dikta datang dari arah samping dengan surat kabar di tangannya. "Aku baca koran pagi, tadi katanya ada kecelakaan di daerah sekitar sini." kata Dikta. Lalu dua hal terjadi pada waktu bersamaan. Vajra tanpa menggerakkan kepalanya secara reflek mengulurkan tangannya dalam keadaan setengah melamun. "Siniin korannya aku mau baca!" kata Rainy dengan cepat. Dikta menghentikan setengah jalannya di antara kedua wanita itu. Raut bingung tersirat di wajahnya. Sebelum ia sempat berbicara, Rainy berkata dengan suaranya yang meninggi dan nada yang menunjukkan ketegangan syaraf. "Mas aku mau baca korannya! Siniin cepet kasih ke aku!" kata Rainy. Vajra nampak terkejut. Ia menggerakkan kepalanya. Menarik kembali tangannya yang tadi sempat terulur. Vajra terdengar menggumam dengan suara yang menunjukkan kebingungannya. "Oh, ma-maaf. Tadi aku kira Kak Dikta ngomong sama Vajra." kata Vajra sambil menunduk malu. Mirza hampir berjalan menghampiri mereka, akan tetapi langkahnya terhenti ketika Dikta sudah terlebih dahulu maju tiga langkah untuk memberikan koran paginya pada Vajra. Vajra menatap Dikta bingung, tangan kecilnya mengambil koran itu dengan ragu-ragu. "Loh, ta-tapi kan ini..." "Nggak apa-apa, buat kamu aja. Kamu pasti bosen dari tadi bengong di sini nggak ada bahan bacaan." kata Dikta lembut. Rainy menendang kursi di belakangnya dengan kasar. Wanita itu berbalik arah dan berjalan masuk ke dalam rumah. Matanya penuh dengan air mata yang mengambang―air mata kemarahan, pikir Mirza. "Kak Dikta mendingan kejar Rainy. Aku nggak butuh korannya kok." Vajra menggeleng lemah, menyerahkan kembali koran itu ke tangan Dikta dan berlari meninggalkan mantan suaminya yang masih terpaku menatap punggung ringkihnya. Dikta berjalan ke arah Mirza ketika ia memutuskan berbalik arah untuk menyusul Rainy. Keduanya saling bertatapan cukup lama. Tak ada yang saling sapa karena situasinya sangat canggung. Lalu akhirnya Dikta melewati Mirza begitu saja. Di lantai atas, Dikta menemukan sang istri telah berada di kamar tidurnya. Rainy melemparkan dirinya di atas tempat tidur dengan wajah penuh air mata, ia juga berteriak marah. "Mas Dikta ngapain nyusul aku ke sini?!" teriak Rainy emosi. "Rainy, kamu ini kenapa? Nggak enak didenger sama Tante Dewi kalau kita ribut pagi-pagi begini!" Dikta berbicara pelan, tapi kentara sekali wajahnya menunjukkan kemarahan yang ditahan. "Kenapa kamu nggak ngasih korannya ke aku? Kenapa Mas Dikta malah kasih ke perempuan itu?!" Dikta mengusap rambutnya frustasi. "Ya ampun Rainy, kamu ini bener-bener kayak anak kecil ya? Kita ribut begini cuma karena masalah koran?" "Itu karena Mas ngasih korannya ke Vajra, bukan ke aku!" ulang Rainy dengan keras kepala. "Terus masalahnya ada di mana, Rainy? Emangnya sepenting itukah?" "Ini penting buat aku, Mas." "Aku nggak ngerti sama kelakuan kamu. Jangan kayak anak kecil gini, kita lagi tinggal di rumah orang. Tolong kamu jaga tata krama." "Kenapa Mas ngasih korannya ke Vajra?" "Karena Vajra tadi minta korannya." "Aku juga minta korannya. Aku ini istri kamu!" "Rainy, sejak kapan kamu suka baca koran pagi? Nggak pernah, kan? Makanya aku ngasih korannya ke Vajra." "Iya, dan sekarang Vajra menang dari aku. Kamu masih cinta kan sama dia?!" "Astaga, Rainy! Kamu tuh childish banget tau nggak sih? Tolong kamu jaga sikap, kita lagi di rumah orang." "Harus punya tata krama yang bagus kayak Vajra?" kata Rainy sarkastik. Dikta berkata terdengar dingin. "Bener, Vajra emang selalu punya attitude yang bagus. Dia juga tahu gimana hormatin orangtua." Rainy tertawa sinis. "Bisa-bisanya kamu ngebandingin aku sama cewek lemah penyakitan itu!" kata Rainy kesal, ia melipat tangannya di d**a. "Inget ya Mas, kamu jangan coba-coba buat ngejar Vajra lagi! Lagipula sejauh yang aku lihat, dia benci banget sama kamu, dia belum bisa maafin kamu. Dia nggak akan pernah sudi meskipun kamu ngemis-ngemis sujud di kakinya buat minta rujuk. Dan tentu aja, aku nggak akan pernah biarin hal itu terjadi." Dikta hanya menghela napas sejenak. Kemarahan istrinya telah sedikit mereda, tapi anehnya Dikta nampak tersenyum tipis seolah sedang meremehkan ucapan Rainy barusan.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD