Bagian Empat

1210 Words
"Ya ampun! So sweet banget." Gumam Andin pelan. Setelah kelas usai, cewek itu pun keluar kelas sambil menonton drama korea lewat ponsel. Ia bahkan tak menghiraukan teman-temannya yang menatapnya geli. Fokusnya kini hanya pada drama yang di tontonnya, yaitu drama yang berjudul let's fight ghost. Dimana di situ menceritakan tentang seorang cewek bernama Kim Hyun Ji yang menjadi arwah penasaran selama lima tahun terakhir, ia merupakan korban pembunuhan yang sama sekali tak mengingat mengenai identitasnya. Kim Hyun Ji gentayangan dari satu SMA ke SMA lain untuk mencari tahu apakah ia bersekolah di sana atau tidak. Hingga kemudian ia bertemu dengan Park Bong-Pal, seorang mahasiswa Fakultas Ekonomi yang terobsesi untuk mengumpulkan uang sejumlah 100 juta won. Salah satu cara yang ia lakukan adalah dengan memanfaatkan kemampuannya dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan makhlus halus untuk bekerja sebagai pemburu hantu. Dan dari sanalah semua kisah mereka di mulai. Jika boleh jujur, Andin memang sangat menyukai drama korea. Ia bahkan rela begadang demi menghabiskan satu drama korea. Dan ujung-ujungnya ia akan bangun kesiangan. Pernah sekali ia mencoba untuk menghentikkan drama di episode lima, tapi yang ada dia malah jadi tambah penasaran dan karena penasaran, ia pun melanjutkan menonton hingga drama itu tamat. "Astaga! Taecyeon badannya bagus banget," Gumam Andin pelan. Mungkin karena saking fokus pada ponselnya, Andin tak menyadari jika ada orang yang berjalan cepat di belakangnya hingga akhirnya menabrak bahu Andin. Membuat ponsel yang ada di tangannya terlempar jatuh. "Eh, sorry. Gue nggak sengaja." Ucap orang yang menabraknya itu. Ia pun mengambil ponsel Andin yang ternyata kacanya sudah sedikit retak di pinggirnya. "Layar hp lo pecah, gue ganti gimana?" Andin menghela nafas panjang. Tangannya bergerak cepat mengambil ponselnya dari tangan orang itu. "Nggak usah. Salah gue juga yang nonton sambil jalan." Ia melempar senyum tipisnya. “Ya udah, gue duluan deh.” Lalu berjalan melewati orang itu. "Gue bener-bener minta maaf, gue nggak sengaja tadi." Rupanya orang itu masih mengikuti Andin. Dan karena risih, Andin menghentikkan langkahnya untuk menatap orang itu. "Nggak usah minta maaf, kan gue juga salah tadi.” "Gimana kalo gue ganti hp lo?" "Ganti iphone X ya?” Gurau Andin sambil kembali melangkah. Cowok di depannya itu terkekeh geli. “Boleh aja, tapi harus nunggu 2 tahun dulu baru gue ganti hp lo.” “Ya udah. Mending nggak usah diganti.” Cowok itu tersenyum. “Nama lo siapa?" Lalu mengulurkan tangannya pada Andin. "Gue Bima." Andin menatap wajah dan tangan Bima bergantian, lalu membalas uluran tangan Bima tanpa ragu. “Andin," “Jurusan apa?” “Sastra Inggris. Lo sendiri?” “Ekonomi dan bisnis.” “Eh! Sama kayak Alvaro dong.” Kening Bima mengernyit. “Alvaro?” “Temen gue. Dia juga jurusan ekonomi dan bisnis. Tapi orangnya nyebelin parah sih.” “Nyebelin kenapa?” “Abis tiap hari dia selalu ngusilin gue. Bikin kesel aja,” Bima terkekeh. “Dia suka sama lo kali, makanya selalu gangguin lo.” Andin mendengus. “Mana mungkin dia suka sama gue. Ceweknya aja dimana-mana tuh orang!” “Gue jadi pengen tahu yang mana orangnya.” “Mending jangan deh. Yang ada ntar lo ikutan gila,” ia masih ingat bagaimana tingkah Alvaro dan kedua keong racun ketika berkumpul, hebohnya ngalahin cewek-cewek yang hobi ghibah. “Bim, kalo gitu gue duluan ya?” "Iya, salam kenal, Andin." Setelah berbasa-basi sebentar, Andin melanjutkan langkahnya pergi dari sana. Sementara Bima menatap punggung Andin sembari tersenyum geli. "Andin, ya?" *** Dengan santai, Andin melangkah menuju parkiran, tempat dimana Alvaro sudah menunggunya dari tadi. Bahkan cowok itu terus menerornya untuk segera menuju parkiran. Ngeselin 'kan? Tiba di persimpangan koridor, Andin berniat berbelok. Tapi tiba-tiba... "DOR!!" "Kodok loncat!" Andin terlonjak kaget saat seseorang mengejutkannya. Dia mendesis kesal saat menemukan Alvaro tertawa terbahak-bahak di depannya. "Anjir, muka lo. Hahahaha," Ucap Alvaro di sertai tawa. "Muka lo kayak Mpok Atik kalo lagi kaget." Lalu kembali tertawa. Andin mencibir. Dengan dongkol ia langsung menjepit leher Alvaro menggunakan tangannya. Yang tentu saja membuat Alvaro tak bisa bernafas. "Woy-woy! Gila lo?! Gue gak bisa nafas." Alvaro meronta, namun Andin masih tak melepaskan jepitannya. "Mati lo sana! Matiii!!!" Teriaknya kesal. Beberapa orang yang lewat tertawa melihatnya. Sudah terlalu biasa melihat pertengkaran antara anjing dan kucing itu. Alvaro anjingnya, dan Andin kucingnya. Hehehe... Alvaro terbatuk-batuk. Ia menarik pelan rambut Andin hingga membuat cewek itu melepaskan jepitannya pada leher Alvaro. "Wah! Gila! Tenaga lo kayak kuli," Andin mengangkat kepalan tangannya, berniat memukul Alvaro. Namun ia urungkan. "Ish! Sehari aja nggak ganggu gue bisa gak sih?!" "Nggak bisa." Jawab Alvaro enteng. Andin menatap Alvaro sengit. Mungkin jika di kartun, telinga Andin akan mengeluarkan asap saat ini lantaran terlalu kesal. "Lo!" Andin menunjuk wajah Alvaro. "Apa? Gue tau kok kalo gue ganteng." Alvaro menyisir rambutnya ke bekakang. "Hah!" Andin mendengus kesal. Dengan cepat, ia menendang tulang kering Alvaro dan berlari menjauh. Alvaro mengumpat kasar, merasakan kakinya berdenyut nyeri. "Heh! Jangan lari lo!" Andin berbalik, menjulurkan lidahnya pada Alvaro. "Rasain lo!" Ucapnya puas. Ia berlari riang menjauh dari Alvaro. "Gue mau beli minum bentar, lo duluan aja. Bye!" Teriak Andin sebelum menghilang di tikungan. *** "Kenapa lo?" Ariq bertanya saat melihat Alvaro melangkah tertatih-tatih menuju parkiran, sementara Satya yang duduk di salah satu motor hanya melirik sekilas. Alvaro mendengus kesal, ia mendudukan dirinya di salah satu motor, kemudian menjawab. "Ditendang gajah!" Ucapnya asal. Ariq tergelak."Wah! Gue baru tau kalo di kampus kita ada tempat pelatihan gajah." Satya yang mendengar ucapan Ariq pun terkekeh kecil. "Emang gajahnya yang mana sih?" Tanya Satya penasaran. Alvaro menoleh sejenak, kemudian memutar pandangannya kepada sosok cewek yang saat ini berjalan ke arahnya. "Tuh!" Ia menunjuk Andin. "Gajah Sumatra yang galaknya ngalahin Mak gue." Ariq menggelengkan kepalanya. "Dan tuh gajah yang bakalan jadi bini lo ntar." Ejeknya. "Haduh!" Alvaro menepuk dahinya. "Kalo gue nikah sama dia, gimana kabar gue nantinya?" Keluhnya. "Bisa jadi remahan kerupuk gue." Kedua teman Alvaro tertawa. "Lo sih nyari masalah terus sama dia!" Alvaro menggaruk pelipisnya. Ya...memang sih, dia yang selalu menjahili Andin. Tapi mau gimana lagi, itu sudah menjadi hobinya. Sudah tidak bisa dihilangkan, sudah jadi kebiasaan. "Eh! Ngomongin nikah. Emang berapa hari lagi pernikahan lo di mulai?" Alvaro berpikir, menghitung berapa hari lagi ia akan menikah. "Enam hari lagi." Ariq tersenyum misterius. "Sini deh!" Ia menyuruh Alvaro dan Satya mendekat. Keduanya menurut. "Kenapa?" Tanya Satya. "Sebentar lagikan Varo bakal nikah nih," Keduanya mengangguk. "Terus kenapa?" Tanya Alvaro. Ariq berdehem. "Kalo udah nikah, berarti ada...malam pertamanya kan? Jadi—” Ucapan Ariq terputus saat tiba-tiba Alvaro memundurkan wajahnya. "Lo ngomong apaan sih?!!" "Ngomongin malam—” Alvaro langsung menutup cepat mulut Ariq ketika Andin sudah dekat. “Kalian ngobrolin apaan?" Tanya Andin menatap heran ketiga orang didepannya ini. Benar-benar absurd. "Cuma ngomongin tentang futsal," Alvaro menatap Ariq dan Satya bergantian. "Iya 'kan?" "Terus kenapa mulut Ariq lo tutup gitu?" Alvaro menjauhkan tangannya. "Oh ini, tadi ada lalat mau masuk ke mulutnya Ariq, makanya gue tutup. Biar nggak masuk lalatnya," "Bohong, Ndin! Kita lagi nggak ngomongin futsal tadi." "Riq!" Alvaro melotot pada Ariq, menyuruh sahabatnya itu untuk tak berbicara yang aneh-aneh di depan Andin. Ariq tergelak. "Iya deh gue diem," "Udah 'kan, Ndin? Kita pulang, yuk?" Andin mengangguk. "Ya udah," Alvaro langsung mendorong bahu Andin agar segera menjauh dari sana. Tapi sebelum itu ia sempat menunjukkan kepalan tangannya pada Ariq. Yang tentu saja dibalas Ariq dengan tawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD