Bunyi alarm ponsel langsung membuat Andin terbangun dari tidur cantiknya. Ia membuka matanya, terduduk sejenak di ranjang sambil meregangkan otot-otot tubuhnya yang terasa pegal karena acara kemarin. Kedua matanya mengerjap pelan, masih menyesuaikan dengan keadaan sekitarnya. Ia kemudiam menguap lebar. “Astaga capek banget!” Ia turun dari ranjang, berjalan pelan menuju kamar mandi.
Andin langsung terlonjak kaget saat pintu kamar mandi yang tiba-tiba terbuka. Ia lantas membelalakkan matanya, sangat syok melihat Alvaro yang keluar hanya menggunakan handuk untuk menutup bagian bawah tubuhnya. “AAAAA!!" Andin refleks berteriak sambil menutup kedua matanya.
Alvaro pun gelagapan, dengan cepat ia langsung berlari menuju Andin, menghimpitnya ditembok dan menutup mulut cewek itu menggunakan tangannya. "Sstt! Kenapa teriak sih?!"
Mata Andin makin melotot. Ia menggerakan kepalanya ke kanan dan ke kiri, berusaha melepaskan tangan Alvaro dari mulutnya. Namun tak berhasil. Beberapa tetes air yang jatuh dari ujung rambut Alvaro mengenai Andin, membuat cewek itu menelan semua ucapannya. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, lalu mengalihkan pandangannya kesembarang arah saat detak jantungnya kian berdetak kencang.
Baru reda keterkejutannya, pintu kamar Andin tiba-tiba terbuka, Mira muncul dengan wajah paniknya. "Andin kenapa teriak? Ada—" Wanita itu langsung menghentikan kalimatnya saat itu juga begitu melihat posisi Alvaro dan Andin. “Aduh maaf, Kakak gak sengaja!" Mira langsung menutup pintu dengan cepat.
Andin kembali melirik Alvaro, menggigit tangan cowok itu yang ada dimulutnya hingga bekapannya terlepas.
"Anjir! Wah rabies gue udah ini!"
Tanpa memperdulikan ucapan Alvaro barusan, Andin langsung melesat masuk kamar mandi, mengunci pintunya dan mengatur nafasnya. Ia menatap pantulan dirinya dicermin, lalu menutup mata saat teringat tubuh atletis milik Alvaro tadi. “Astaga!” Ia berjongkok, menutupi wajahnya yang perlahan memerah. “Mata gue ternodai!” Keluhnya.
Andin pun berdiri, membasahi wajahnya dengan air. Ia kembali menatap pantulan dirinya dicermin, bernafas lega saat wajahnya sudah tidak semerah tadi.
Setelah dirasa mendingan, Andin keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan wajahnya dengan handuk wajah. Ketika menutup pintu kamar mandi, ia melihat Alvaro duduk di sofa samping ranjang. Andin lantas melangkah mendekat, duduk di samping Alvaro untuk mengetahui apa yang dilakukan cowok itu. Dan ternyata Alvaro tengah mengobati luka di tangannya bekas gigitan Andin tadi. Sesekali cowok itu akan meringis saat cairan antiseptik mengenai lukanya itu.
Andin jadi merasa bersalah. “Al?"
"Hm?" Alvaro melirik sekilas, dan kembali mengobati lukanya.
Andin menggigit bibir bawahnya. "Sini biar gue aja yang obatin." Ia menggantikan cowok itu untuk mengobati lengannya yang terluka.
Alvaro menurut, membiarkan Andin mengobati lukanya. Sesekali ia meringis saat Andin tanpa sengaja menekan lukanya. "Pelan-pelan, Ndin!"
Andin mendesis. "Iya! Ini udah pelan banget tahu!” Ia meniup pelan luka itu agar sakitnya terasa mendingan.
"Ini kenapa jadi lo yang marah sih? Kan harusnya gue yang marah. Gara-gara lo gigit, tangan gue jadi luka." Alvaro mendumel. "Pokoknya kalo gue beneran rabies, lo harus tanggung jawab!"
Andin menekan luka Alvaro kuat, membuat cowok itu memekik sakit. "Lo pikir gue anjing apa?!"
Alvaro terkekeh geli. "Becanda kali, Ndin. Serius amat sih." Ia mengacak pelan rambut Andin, lalu menghentikannya ketika melihat cewek itu mendelik tajam. “Hehehe maaf.” Ia merapikan helaian rambut Andin.
Andin kembali fokus membalut luka Alvaro dengan kain kasa, dan merekatkannya dengan plester. Ia tersenyum puas ketika luka itu sudah selesai diobati.
"Makasih, Ndin." Ucap Alvaro tulus saat Andin sudah mengobati lukanya. Ia tersenyum tipis, memandang Andin dari samping.
Andin yang tadinya tengah merapikan kotak P3K menoleh, meninggalkan aktivitasnya barusan untuk menatap Alvaro. "Gue minta maaf udah bikin tangan lo luka."
"Iya gue maafin. Lagian kenapa tadi lo pake teriak segala sih?"
Andin diam. Tidak mungkin dia mengatakan pada Alvaro jika dia gugup berada di dekat cowok itu. Bisa-bisa Alvaro mengejeknya habis-habisan.
"Ehm...gue mau mandi dulu deh." Andin kembali membereskan kotak P3K. "Dan lo, tunggu di luar selagi gue mandi!" Tunjuknya pada Alvaro.
***
Selesai mandi, Andin dan Alvaro keluar bersama dari kamar. Wajah mereka berdua memerah malu ketika Mira menatap mereka dengan senyum geli. Untungnya Kakak ipar Andin itu tidak mengucapkan apa-apa dan sibuk menyiapkan sarapan untuk sang suami.
Tapi meski Mira tidak mengatakannya secara terang-terangan, tetap saja Andin merasa kesal karena menemukan senyum jahil diwajah Kakak iparnya itu.
Sarapan kali ini terasa beda dengan sarapan sebelumnya, karena kini bukan hanya Andin dan kedua orang tuanya saja yang ada disini. Melainkan ada kedua orang tua Alvaro dan juga Sherly—adik perempuan Alvaro yang cerewetnya minta ampun. Tapi untunglah pagi ini Sherly tidak bicara dan hanya memakan sarapannya. Tumben sekali...
“Mama,”
Baru juga dibilangin, kini Sherly akhirnya mengeluarkan suaranya sambil menatap melas pada Icha.
“Kenapa, Sher?”
“Nanti Kakak pulang ke rumah nggak?”
Icha menatap Alvaro dan Andin bergantian, lalu kembali menatap Sherly. “Mulai hari ini Kakak nggak tinggal sama kita lagi.”
“Terus Kak Al tinggal dimana?”
Kali ini icha menatap suaminya, meminta pria itu menjelaskan pada Sherly.
“Kak Al bakal tinggal di apartemen,”
“Apartemen?”
Basuki mengangguk. “Iya, apartemen itu hadiah pernikahan dari Papa sama Mama buat Kak Al,” ia menepuk pelan puncak kepala Sherly, berharap agar anak perempuannya itu mengerti.
“Kalo Kak Al tingga di apartemen, terus Sherly main sama siapa? Kak Andin juga pasti ikut Kak Al ‘kan?”
“Nanti Kk Andin bakal sering-sering main kesini kok. Nggak usah sedih ya?” Ia mencubit pelan pipi Sherly.
“Janji?” Anak itu menyodorkan jari kelingkingnya.
“Iya. Kakak janji.”
Baru setelah itu Sherly akhirnya diam dan kembali memakan sarapannya. Ditengah acara sarapan itu tiba-tiba saja Rama bertanya.
"Oh iya! Gimana malam pertamanya?"
Uhuk!
Andin langsung mencari air minum begitu mendengar pertanyaan Rama yang terkesan blak-blakan, belum lagi ekspresi lelaki itu yang terlihat ingin tahu.
"Abang! Nggak boleh nanya gitu! Nggak sopan!" Sasti memarahi anak sulungnya itu, lalu kemudian menatap Alvaro sambil tersenyum. "Semalam dapat berapa ronde?"
Sedangkan Rama hanya menganga mendengar Bundanya berbicara seperti itu. Bukankah beberapa menit yang lalu ia kena marah karena bertanya tidak sopan. Lah sekarang, Bunda malah berbicara seperti itu. Ckckck!
"Bunda!”Andin menatap malu Sasti dengan kedua pipi yang memerah. Ia kemudian melirik ke arah anggota keluarganya yang lain, dan sialnya mereka malah tengah menahan tawa. Andin kemudian melirik ke Alvaro, cowok itu masih melanjutkan acara makannya, tanpa terganggu dengan percakapan di sana.
"Udah! Kenapa jadi pada ngobrol? Sarapan dulu, baru nanti sambung ngobrolnya."
Semuanya langsung diam begitu mendengar Anwar berbicara. Tanpa berbicara sedikit pun, mereka semua melanjutkan sarapan yang sebelumnya tertunda karena obrolan tak penting tadi.
***
Usai makan, mereka semua berkumpul di ruang tamu untuk membicarakan sesuatu tentang kepindahan Andin dan Alvaro.
Kedua pengantin baru itu duduk berdampingan, sementra didepan mereka ada Anwar dan Basuki yang duduk menghadap mereka.
"Andin, Alvaro." Anwar mulai berbicara sambil menatap anak dan menantunya itu bergantian. "Jadi seperti yang kita bicarain di meja makan tadi, tentang persiapan kalian hidup berdua.” Ia meletakan sebuah kunci diatas meja, menggesernya kedepan Alvaro dan Andin. “Hari ini kalian siap-siap ya? Abis itu kita langsung berangkat.”
Andin menatap Ayahnya. "Emang harus sekarang pindahnya, Yah? Andin belum mau pisah sama Ayah dan Bunda."
Anwar tersenyum. "Harus sayang, kalian sudah berumah tangga. Sudah semestinya kalian tinggal terpisah dengan orang tua."
Andin menunduk, mencebikkan bibirnya sedih. Ia benar-benar sedih, karena mulai besok ia tidak bisa lagi mendengar ocehan Bundanya ketika ia bangun siang. Dan ia juga tidak adu debat dengan Ayahnya lagi. Hah! Ia mulai menyesal sekarang, karena selama ini ia terlalu membuang-buang waktunya ketika berada dirumah.
"Gimana Alvaro, kamu setuju?" Tanya Anwar pada Alvaro, menyadarkan Andin dari lamunannya.
Alvaro mengangguk. "Kalo itu yang terbaik, Alvaro mau aja, Yah."
"Ya udah, abis ini beres-beres gih.”
Andin dan Alvaro hanya mengangguk pasrah. Toh, jika mereka menolak, pasti kedua orang tua mereka akan tetap memaksa.