8. RESTU RENO
Pukul 14:33.
"Tant--Mah aku mau pulang dulu, pasti Bi Sani khawatir sama aku karena gak pulang," ucap Ocha setelah mencuci tangannya yang selesai memasak bersama Nia.
"Kamu gak mau bareng kita aja pulangnya? Kan sekalian entar."
"Em ... aku pulang duluan aja Mah."
"Ya udah kalo gitu, bentar Mama panggil Raffanya dulu. A?!" ucap Nia lalu berteriak memanggil Raffa.
"Kenapa?" tanya Raffa yang baru saja muncul dari arah ruang keluarga.
"Ini loh, Ocha katanya mau pulang dulu, kamu anterin gih calon istri kamu ini," ucap Nia dan langsung diangguki oleh Raffa.
Raffa berjalan ke arah Ocha lalu merangkul pinggangnya tanpa berbicara terlebih dahulu dengan Ocha.
"Eh," kaget Ocha karena Raffa tiba-tiba merangkul pinggangnya, namun Ocha diam saja karena ia memang perlu bantuan saat berjalan.
"Takdir tuhan memang rumit. Huh, semoga saja kelak mereka bahagia," ucap Nia pelan setelah Raffa dan Ocha pergi.
********
Raffa menjalankan mobilnya menuju rumah Ocha yang beberapa hari lalu dirinya pernah mengantarkan Ocha pulang. Di sepanjang perjalanan Ocha hanya diam dan memainkan jarinya saja, begitupun dengan Raffa, ia hanya fokus mengemudi.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan, akhirnya mobil Raffa berhenti di depan gerbang rumah Ocha. Baru saja Ocha akan membuka pintu mobilnya tapi Raffa langsung mencegahnya.
"Tunggu," ucap Raffa lalu segera keluar dan berjalan ke arah pintu Ocha dan membukakannya.
Hal itu tentu saja membuat Ocha baper akan perlakuan manis Raffa. "Njir! kenapa gue baper gini?" batin Ocha.
Setelah membukakan pintu untuk Ocha, Ocha segera keluar dan berjalan masuk ke halaman rumahnya dibantu oleh Raffa. "Bapak mau mampir dulu?" tawar Ocha setelah berada di depan pintu rumahnya.
Raffa mengangguk singkat sebagai jawabannya.
"Non Ocha," ucap seseorang yang baru saja membuka pintu utama rumah Ocha.
"Non kemana aja? Bibi khawatir banget, terus ini teh siapa Non?" lanjut orang itu yang tak lain adalah Bi Sani, pelayan rumah Ocha.
Ocha menggigit bibir bawahnya bingung. Apakah ia harus cerita pada bibinya atau tidak. Tapi ia sudah menganggap bibinya seperti ibunya sendiri.
"Saya calon suaminya," ucap Raffa tiba-tiba dan langsung membuat Bi Sani melotot tak percaya.
"Apa Non?" tanya bibinya pada Ocha, ia takut telinganya salah dengar tadi.
“Em ... Bi, kita bicaranya di dalem aja ya?" ucap Ocha dan diangguki bibinya.
"Ya udah atuh, silahkan masuk dulu."
"Ayo Pak masuk," ujar Ocha lalu masuk, tapi baru tiga langkah Ocha hampir saja terjatuh jika saja tidak ada Raffa yang dengan cepat menahan tubuhnya.
"Non Ocha kenapa kakinya ada yang sakit?" panik Bi Sani.
Ocha hanya diam lalu berjalan ke sofa ruang tamu dan duduk bersama Raffa di sampingnya. Tiba-tiba saja pintu utama yang sudah ditutup oleh Bi Sani diketuk dan dengan cepat Bi Sani langsung membukanya.
"Tuan, Nyonya," kaget Bi Sani saat melihat majikannya yang tiba-tiba pulang.
Ocha yang mendengar itu langsung saja memandang ke arah pintu dimana Mama dan Papanya berada. Sungguh waktunya kurang tepat, Ocha pikir Mama dan Papanya akan pulang nanti malam.
"Ayo Tuan, Nyonya silahkan masuk," ucap Bi Sani sopan.
Kedua pasangan paruh baya itu masuk dan melihat putri semata wayangnua yang menatap mereka dengan raut wajah kaget.
"Mama, Mapah," gumam Ocha pelan.
"Hai sayang?" ucap seorang wanita paruh baya itu dan langsung berjalan menghampiri Ocha kemudian memeluknya.
"Ma-mah kok udah pulang?" tanya Ocha.
"Lho, kan kamu yang nyuruh kami pulang," balas wanita paruh baya itu, dia adalah Lena-Mama Ocha.
"Mak-maksud aku, bukannya Mama sama Papa pulangnya nanti malem ya?" jelas Ocha.
"Memangnya kenapa kalo kami pulangnya sekarang? Bukannya itu jauh leb---"
"Siapa dia?" tanya Papa Ocha saat melihat Raffa.
pertanyaan yang Nia lontarkan tadi kepada Ocha kini terulang kembali oleh Papa Ocha kepada Raffa.
"Di-dia," rasanya Ocha tak sanggup berbicara lagi.
"Papa bilang siapa dia?" tegas Papa Ocha.
"Saya Raffa, calon suami Ochalina," balas Raffa dengan tegas.
"Apa maksud kamu hah?! Berani-beraninya kamu bilang seperti itu!" ucap Reno-Papa Ocha.
"Sayang, apa maksud dia bicara seperti itu?" tanya Lena pada Ocha yang hanya diam.
"Saya ingin mempertanggungjawabkan perbuatan kotor saya terhadap anak Anda, ijinkan saya menikahi anak anda, " ucap Raffa dengan lantang.
"Ochalina?! Jawab Mama!" tegas Lena menjadi saat mendengar penuturan dari Raffa.
"Hiks, Mama," Ocha menangis dan langsung memeluk kaki Mamanya.
"Ma-maafin aku Mah, ak-aku gak bisa jaga diri aku sendiri Mah hiks, aku ud-dah---hiks." Ocha benar-benar kehilangan kata-katanya untuk saat ini, hanya air matanya yang bisa menceritakan semua kepedihannya.
Lena tiba-tiba saja terjatuh ke lantai dan memegangi kepalanya yang terasa begitu pusing. "Bilang sama Mama, kamu gak mungkin--" ucap Lena dan menatap putri semata wayangnya yang menangis tersendu-sendu di hadapannya, dan itu sudah membuktikan bahwa pikirannya benar.
Prang!
Bi Sani yang baru saja datang membawa minuman untuk majikannya dan tak sengaja mendengar itu reflek saja menjatuhkan nampan dan gelasnya hingga pecah.
Tanpa aba-aba Reno-Papa Ocha, langsung saja memukul kencang wajah tampan Raffa hingga membuatnya terjatuh ke lantai. Wajah Reno berubah menjadi merah padam karena emosinya. Dan tanpa belas kasihan Reno kembali memukuli Raffa.
"Papa hiks stop!" teriak Ocha dengan air mata yang membanjiri wajahnya, tapi Reno sama sekali tak mendengarkan teriakan anaknya itu.
"Hiks, Mama tolong dia mah hiks aku mohon!" ucap Ocha memohon-mohon pada Lena
Sedangkan Raffa ia hanya diam dan pasrah dipukuli oleh Reno tanpa melawan sedikit pun atau menghindarinya.
"Mah hiks, tolong jangan biarin Papa bunuh dia mah hiks, gimana jika bayi ini tumbuh dan tak memiliki ayah!" teriak Ocha.
"Mas, lepasin dia!" ucap Lena tiba-tiba dan berhasil menghentikan pergerakan tangan Reno.
"Kamu gak denger anak kamu?! Bagaimana jika bayi itu tumbuh dan tak memilik ayah? Apa kamu tega nanti melihat anak kamu mengurus seorang anak tanpa seorang ayah?! Ini semua bukan salah dia ataupun salah anak kita, tapi ini adalah salah kita karena tidak pernah mengawasi dan menjaga berlian kita sendiri! Kita hanya sibuk mencari uang, uang dan uang hingga kita melupakan harta berharga kita sendiri!" teriak Lena dengan air mata yang mulai menetes, sebagai ibu ia merasa sangat gagal.
Reno menurunkan kepalan tangannya lalu pergi begitu saja menuju taman belakang rumahnya.
"Hiks, makasih Mah," ucap Ocha lalu memeluk tubuh Mamanya erat.
"Sudah, sebaiknya kamu obati dia, Mama akan bicara dengan Papa kamu," balas Lena seraya tersenyum.
Ocha mengangguk lalu berjalan ke arah Raffa, membantunya bangun dan mendudukannya di sofa panjang. "Hiks Bi, tolong ambilin kotak p3k," ucap Ocha pada Bi Sani.
"Iya, Non," balas Bi Sani lalu mengelap air matanya.
Tak lama Bi Sani datang dan membawa kotak P3k yang Ocha minta dan memberikannya pada Ocha. Dengan telaten Ocha mulai membersihkan dan mengobati luka Raffa hingga selesai.
*******
Setelah selesai mengobati luka Raffa tadi, Ocha lagi-lagi dibuat tegang dan takut saat Papanya datang kembali bersama Mamanya. Ocha meremas ujung bajunya saat manik tajam mata Papanya menyorotkan kemarahan pada Raffa yang berada disampingnya.
Ocha memejamkan matanya saat kepalan tangan Papanya yang siap melayangkan pukulan pada Raffa. Begitupun dengan Raffa, ia sudah siap menerima apapun yang akan Papa Ocha lakukan padanya, karena semua ini tidak akan terjadi jika ia bisa menahan nafsunya.
Bukan pukulan yang Raffa dapatkan melainkan sebuah tepukan dibahunya. "Saya tau, kamu bukan laki-laki bejad. K arena itu saya ijinkan kamu menikahi anak saya," ucap Papa Ocha dan membuat kelopak mata Ocha seketika terbuka.
Lena--Mama Ocha hanya bisa tersenyum saat suaminya bisa menerima ini semua dan mengambil jalan terbaik untuk Ocha putrinya.
"Pa-pah gak marah?" tanya Ocha.
Reno--Papa Ocha melihat ke arah Ocha lalu tersenyum dan mengusap pucuk kepala Ocha dengan sayang. "Papa akan marah jika kamu tidak memberitaukan masalah ini sama Papa, dan Papa jauh akan lebih senang jika kalian segera mempunyai bayi yang akan ada dalam perut kamu," jelas Reno dan seketika langsung membuat pipi Ocha merona.
Lena terkekeh saat melihat suaminya menggoda anaknya dengan ingin segera memberikan cucu.
"Terim---" ucapan Raffa terpotong karena Reno kembali berbicara.
"Tapi jangan seneng dulu kamu, ini peringantan buat kamu, sekali saja kamu buat anak saya menangis, saya gorok kepala kamu sampai copot! Apa kamu mengerti?!" tegas Reno.
"Mengerti!" ucap Raffa tak kalah tegas.
"Terus kapan kamu mau menikahi putri satu-satunya saya ini?"
"Secepatnya," balas Raffa dan mendapat pukulan pelan di bahunya.
"Jangan secepatnya doang, pastinya kapan? Jangan php!"
Raffa terdiam dan berpikir sebentar. "Dua hari kedepan ini, nanti malam orang tua saya akan datang untuk membicarakan rencana pernikahannya," ucap Raffa dengan nada meyakinkan.
"Baiklah," balas Reno dan tersenyum kecil.
Reno sekarang tau bahwa Raffa memang benar-benar serius akan mempertanggung jawabkan perbuatannya.