Bab 2 Kehilangan sosok tercinta
**Kehilangan orang tercinta**
Suara isak tangis tangis terdengar bersahutan antara anak dan juga ayahnya. Bagaimana tidak mereka telah kehilangan sosok yang begitu berperan penting dalam keluarga.
Segalanya jauh lebih baik bila dia sudah beraksi. Makanan tersedia dengan cepat dan begitu memanjakan lidah, seluruh ruangan rumah menjadi bersih dan selalu rapi. Lantai selalu mengkilap seberapapun seluruh penghuni rumah membuatnya kacau.
Hanya dialah sosok yang selalu sabar, selalu menjadi kekuatan dan semangat untuk laki-laki yang bergelar sebagai suami tersebut.
Dan kini kepergiannya tentu akan menyisakan luka yang mendalam bagi keduanya, anak dan juga suami.
"Mama! Mama! Bangun." Cherry, anak berusia sepuluh tahun itu terus menggoyangkan tubuh sang ibu yang terbaring kaku di atas lantai.
"Glory, bangunlah. Jangan bercanda, kau tidak mungkin meninggalkan Cherry sendirian," ucap Chris. Ia menopang kepala Glory istrinya.
Sudah sebelas tahun mereka bersama, dan mereka harus terpisah oleh maut yang bahkan merenggut nyawa istrinya dengan tiba-tiba.
Glory terjatuh dari kamar mandi, ia memiliki riwayat gagal jantung. Pasien dengan penderita seperti ini biasanya sering buang air kecil, apalagi di malam hari.
Dan itu yang terjadi pada Glory, saat dia hendak keluar dari kamar mandi, lantai yang licin membuatnya terpeleset dan terkejut bukan main. Tidak ada yang mengetahui kejadian itu.
Sepulangnya Chris dan Cherry dari Paddys Market, mereka telah mendapati Glory, terkapar di lantai itu.
"Mama! Hiks– Mama! Bangun!" Berapa banyak pun Cherry memanggil sang ibu, tidak akan mengubah keadaan bahwa dia telah pergi meninggalkan mereka berdua.
Chris menangis, memeluk tubuh kaku itu dalam dekapannya. Terus menyerukan nama Glory berulang kali.
Mereka terlambat. Ya, benar, mereka terlambat untuk menolong malaikat tidak bersayap di rumah itu.
Mau tidak mau, meski berat mereka harus tetap merelakan Glory pergi untuk selamanya. Dan bersiap menghadapi rindu yang tidak akan pernah bisa terobati.
Biaya hidup di Sydney sangatlah mahal, bahkan untuk sebuah pemakaman saja memerlukan puluhan dollar.
Chris memutuskan untuk mengkremasi jenazah istrinya, karena biayanya jauh lebih miring, dan bisa di jangkau oleh Chris, sekalipun dia harus mencari pinjaman ke sana kemari untuk melakukan upacara penghormatan terakhir.
---
Sehari setelah upacara kremasi, tidak ada waktu untuk Chris dan Cherry meratapi kesedihan mereka. Sekalipun mereka menangis tujuh hari tujuh malam, tidak akan pernah membuat sang ibu hidup kembali.
Cherry mulai kembali ke sekolah, kenangan di pagi hari sebelum kepergian Glory, terlintas begitu saja di benak Cherry.
"Ayah, di mana sisirnya?! Cherry sudah terlambat!" teriak Cherry di dalam kamarnya. Ia tengah sibuk membongkar seluruh isi bufet hanya untuk mencari benda kecil bernama sisir.
"Ayah tidak tahu Cherry, coba cari baik-baik. Ayah sedang siapkan bekal makan siangmu," ucap sang Ayah, saat memasuki kamar putrinya.
"Ayah selalu saja tidak tahu! Kapan ayah menjawab pertanyaan dengan benar. Mama, di mana sisirnya!" teriak Cherry. Sejenak dia lupa bahwa sosok yang di panggil Mama' itu telah tiada.
Chris menatap Cherry dengan sedih, ia tahu bagaimana perasaan gadis kecil itu.
Chris membalikkan tubuhnya, ia menutupi matanya yang telah berkaca-kaca dengan berpura-pura mencari sisir di laci meja belajar Cherry.
"Kita cari dengan perlahan Cherry. Benda itu pasti ada di sekitar sini," sahut Chris, suaranya bergetar menahan sesak di dadanya, juga menahan air mata yang ingin jatuh.
Cherry tahu, dia telah melakukan kesalahan. Menyinggung perasaan sang Ayah. Dulu dan kini sangatlah berbeda, jika dulu sang ibu selalu ada untuknya, kini ayah yang akan berusaha untuk selalu ada bagi Cherry.
Gadis itu berlari dan memeluk tubuh Chris yang berjongkok memeriksa satu persatu laci.
"Maafkan aku ayah, tidak perlu mencarinya. Aku akan mengikat rambutku. Aku bisa, mama telah mengajari aku waktu itu," kata Cherry. Ia masih bergelayut di punggung Chris, dan melingkarkan tangannya di leher Chris.
Pria itu melepaskan penyatuan tangan Cherry dan berbalik menatap putri semata wayangnya.
"Ayah akan membantumu." Chris membalikkan badan Cherry agar memunggungi dirinya, ia meraih ikat rambut yang ada di meja sisi kirinya.
Chris merapikan rambut panjang berwarna pirang itu, menyatukannya menjadi satu dan mengikatnya.
Longgar, itulah yang dirasakan oleh Cherry, tapi gadis itu diam. Dia tidak ingin membuat ayahnya kecewa hanya dengan masalah sepele.
"Selesai, sekarang minum susumu dan berangkatlah. Sebelum gerbang sekolahmu di tutup," terang Chris pada sang anak. Menatap manik mata itu, ia kembali teringat dengan Glory.
Mata biru yang selalu bersinar saat cahaya lampu menerpanya. Mata yang selalu dia lihat saat pagi dan malam hari sepulang dia dari kiosnya.
"Let's go, ayah," seru Cherry, gadis itu tersenyum manis, memperlihatkan gigi-gigi mungilnya.
TBC ....