Papu Meninggal

1023 Words
"Baiklah, baik. Kita mulai dongeng ini. Tetapi, apa kau tega melihat aku bersedih? Karena ini adalah cerita yang begitu pilu baby," ujar Eadric. Cherry masih terdiam, membisu. Ia tidak tahu, perasaanya begitu sedih, tanpa sebab. Sekilas bayangan Papu hadir. Tangan yang meraba mencari keberadaan Cherry juga saat mengobrol dengan gadis berusia sepuluh tahun itu. Pertemuan pertama kali, tidak membuat mereka canggung. Cherry adalah anak yang mudah akrab dengan siapapun. Namun dia juga tidak bodoh jika untuk di bodohi. "Kenapa bersedih Tuan? Apa ini benar-benar cerita yang sangat sedih? Tuan kau tahu, dua hari yang lalu aku memimpikan kakek Papu," ujar Cherry sendu. Manik mata yang biru menatap Eadric dengan wajah yang menggambarkan kesedihan dan ketakutan. Eadric terperanjat bukan main, bagaimana bisa? Dia bahkan bukan siapa-siapa bagi Papu, tetapi dia bisa berjumpa dengan kakeknya bahkan sebelum Eadric mengetahuinya. "Benarkah? Mimpi apa itu?" tanya Eadric, ia menjadi penasaran ingin mendengar cerita Cherry. "Bukankah, Tuan yang sudah berjanji akan bercerita padaku? Kenapa sekarang tuan justru memancingku untuk bercerita?" kata Cherry. Oh– sungguh anak yang sangat cerdas. "Kau benar, oke– oke. Jadi–" Eadric menatap lurus kedepan, seakan membayangkan kejadian demi kejadian yang menimpa Papu. Bahwa sebenarnya Papu bisa melihat meski matanya tidak bisa melakukan hal itu. Papu memiliki seperti ikatan batin yang kuat, pada siapapun yang dekat dan memiliki empati yang tinggi. Semacam indera penglihatan yang liar biasa. Bahkan di hati pertama dia tidak bisa melihat, seakan semua baik-baik saja. Papu mengalami kebutaan saat dia masih terbilang muda, bahkan usia Eadric saat itu menginjak dua puluh tahun. Kini sang anak telah berumah tangga, dan memiliki semuanya. Kejadian itu tepat sehari setelah sang istri atau nenek Eadric meninggal. Papu sangat terpukul akan kejadian memilukan tersebut. Dia uring-uringan, membanting semua yang ada di dekatnya dan dihadapannya. Hingga lemari kaca yang besar tidak luput dari kemarahannya. Serpihan kaca tersebut, mengenai kornea matanya dan dia hanya merasakan perih seperti hanya ada debu di mata itu. Dia hanya diam, merasakan percikan yang Papu tidak menyangka bahwa itu mengubah hidupnya. Sampai mata itu membengkak, mengeluarkan darah, karena pertolongan yang terlambat, akhirnya dia kehilangan matanya. Sejak saat itu, sedih memang tapi senyum kebahagiaan kembali hadir dalam wajahnya. Eadric yang melihat itu menjadi penasaran, dia berpikir apakah ayahnya sudah gila? Terkadang berbicara sendiri, tertawa sendiri dan yang paling mengerikan dia sering seakan-akan bercengkrama dengan sang nenek Mamu. Papu sendiri bukanlah nama asli dari kakek tersebut. Nama sesungguhnya adalah Santos, karena cucu pertama Eadric tidak bisa memanggilnya dengan sebutan grandpa, akhirnya dan yang terucap justru Papu. Sejak saat itulah, Santos menamai dirinya Papu. Dia bukanlah pengemis, dia hanya sedang bermain layaknya ia memainkan musik di rumah. Namun hati itu, hati di mana Cherry melihatnya. Santos seakan memiliki dorongan untuk keluar rumah dan harus berada di sepanjang jalan itu. Ternyata takdir Tuhan mempertemukan dirinya dengan gadis yang amat baik juga manis, dan dia masih berusia sepuluh tahun. Saat itu, Cherry mengira bahwa kakek Papu, atau Santos mengamen dan dia iba pada keadaan tempat biola yang masih kosong. Sejak saat itu pula, Papu sudah tidak pernah lagi kembali ke toko usang itu, dia hanya menghabiskan waktunya di rumah. Namun di mana hari Papu terakhir menghirup udara, dia meminta supir untuk kembali ke toko usang. Papu bilang bahwa dia ingin sekali bertemu Cherry. Sang supir mengantarkan Papu, sesampainya di sana, justru hal yang tidak terduga terjadi. Penyakit jantungnya kambuh, dan merenggut nyawanya saat itu juga. Ya, Papu atau Santos meninggal di tempat di mana dia bertemu Cherry. Malam harinya, entah dari mana, Papu benar-benar menemui Cherry. Keinginan yang tertunda dan menjadi kenyataan. "Tuan, baik-baik saja?" ucap Cherry, saat melihat wajah Eadric menjadi basah karena air mata. "Tidak, siapa namamu? Apa kau Cherry? Si gadis kecil yang di cari oleh ayahku?" tanyanya, ia menatap wajah Cherry yang sangat imut. "Iya, tapi kenapa kakek Papu mencariku?" tanya Cherry bingung. Eadric merogoh saku celananya, dan mengambil sesuatu dari dalam sakunya. "Kakek menyuruh aku lewat supir kakek, untuk menyerahkan ini padamu. Kata kakek Papu, kamu yang memberikan ini untuknya, benar begitu?" Eadric memberikan uang yang pernah Cherry berikan pada Papu. Bahkan uangnya masih sama, kucel. "Kenapa kakek menyuruhmu mengembalikan? Bukankah barang atau uang yang telah di berikan tidak boleh di kembalikan atau di ambil lagi? Kakek Papu dalam mimpiku hanya berpesan yang aku tidak tahu apa itu artinya," ujar Cherry. Pipinya menggembung, seakan protes dengan tindakan Eadric. "Mimpi apa? Kau mau berbagi cerita denganku?" bujuk Eadric, sembari menangkup kedua pipi Cherry. "Maaf Tuan, tapi saya harus mencari makan dulu. Saya harus pergi, lain kali kalau kita berjumpa lagi, saya akan bercerita." Cherry beranjak pergi meninggalkan Eadric. Namun laki-laki itu mengejar gadis cilik yang sudah sedikit menjauh darinya. Langkahnya yang kecil tidak sebanding dengan langkah kaki Eadric yang besar. "Aku akan membelikan makan untukmu anak manis, asalkan kau mau bercerita dan menerima ini kembali. Bukan kami tidak butuh, tapi ini adalah amanah terakhir bukan? Kau tahu apa yang harus di lakukan oleh orang di saat-saat terakhir mereka? Terutama untuk kita penerusnya?" Eadric menghentikan Cherry, dan berjongkok menyamai tinggi tubuh gadis itu. "Benarkah? Anda mau membelikan saya makan? Saya ingin makan nasi Tuan, bisa?!" Cherry sangat senang mendengar itu. Namun tidak dengan Eadric, dia sedih hanya nasi kah yang di inginkan gadis cilik ini? Benarkah hanya itu? Apa dia tidak pernah makan nasi? Pikiran itu seketika memenuhi otaknya. Eadric, membalasnya dengan anggukan kepala, juga mengelus rambut panjang milik Cherry. Gadis itu melompat kegirangan, dan berteriak. "Yey! Aku makan hari ini, yey!" Teriakan itu semakin memilukan Eadric, di saat makanan di rumahnya selalu tersisa dan terbuang sia-sia, ternyata di belahan bumi lain ada orang bahkan seorang anak kecil yang kelaparan. Eadric membawa Cherry ke restoran yang menyediakan banyak menu makanan di sana. Cherry bebas memilih apapun yang dia inginkan. Cherry hanya memilih dua porsi. Satu untuknya dan satu lagi untuk Chris, ayahnya. Tetapi we Eadric memaksa dan memesankan banyak makanan untuk Cherry, hingga tangan mungil bocah itu penuh. Di tambah uang yang lumayan banyak dan bisa untuk hidup mereka satu Minggu kedepan. "Terima kasih Tuan." Berulang kali Cherry mengatakan itu, tidak pernah terbayangkan olehnya bisa mendapatkan makanan sebanyak ini dan seenak itu. Eadric juga mengantarkan Cherry hingga lebih dekat dengan Paddys Market.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD