“Menurut kamu bagaimana La?” tanya Dea sambil menangkupkan kepalanya ke meja, Dea dan Shakila duduk berdua di kantin.
Allura sedang ada pekerjaan yang membuatnya harus mengecek beberapa barang di gudang untuk memastikan barang tersebut memang tersedia.
Sedangkan Pelangi sibuk merekap keuangan akhir bulan seperti biasanya. Sehingga hanya ada dua wanita yang biasanya paling susah akur itu namun terpaksa menghabiskan waktu istirahat berdua karena teman lain tak bisa ikut.
“Menurut kamu apa? Tiba-tiba minta pendapat nggak pakai pembukaan dulu?” cebik Shakila.
“Oiya lupa,” kekeh Dea, ternyata baru saja dia bermonolog dengan dirinya sendiri sebelum bertanya pada Shakila, dia pikir dia sudah menyuarakan isi hatinya sebelumnya.
“Terus, minta pendapat apa?”
“Kamu tahu nggak kalau Ezra bisa bahasa tubuh?”
“Nggak,” sahut Shakila datar.
“Dia bisa bahasa tubuh, demi Damas?”
“Damas siapa?”
“Anak d*********s, yang ada di angkringan sana.”
“Lho bagus dong, berarti dia peduli,” ucap Shakila.
“Masalahnya ibunya Damas.”
“Kenapa?”
“Single parent, mungkin nggak sih Ezra belajar itu untuk deket sama ibunya? Setiap minggu pasti makan disana dia,” ujar Dea berapi-api.
“Lho terus masalahnya dimana? Kalian cuma temen kan?” pertanyaan Shakila jelas menohok Dea, memang benar status mereka hanya teman, tapi apakah Dea tak berhak mengetahui tentang kisah Ezra.
“Iya sih,” tutur Dea, akhirnya hanya kata itu yang bisa terucap dari mulutnya.
“Kalau suka bilang aja, sebelum terlambat dan menyesal.” Shakila tampak menyesap teh manis dinginnya, ya setelah periode bulanannya yang menyakitkan, akhirnya dia bisa minum es lagi, karena memang saat menstruasi dia paling pantang minum es atau minuman dingin.
“Siapa yang suka?” seloroh Dea, memanyunkan bibirnya sebal lalu meminum jus mangga miliknya.
“Kamu.”
“Nggak.”
“Kalau nggak ngapain peduli? Dia mau suka sama siapa kek, single parent atau bukan? Nggak ada masalah jika memang saling sayang, yang penting statusnya jelas. Kamu berhak marah dan atau kecewa jika dia menyukai istri orang. Baru deh tuh kamu larang,” cebik Shakila.
“Kamu sendiri bagaimana?” tanya Dea.
“Bagaimana apanya?”
“Ya sama Pak Ben, nggak ada kemajuan? Kalau dipikir-pikir, Pak Ben sudah ketemu dengan dua orang tua kamu lho,” ujar Dea memanasi sambil mengangkat kedua alisnya membuat Shakila berdecih sebal.
“Aku rasa tipikal seperti dia tuh lebih takut ketemu papa deh dibanding ngutarain perasaan,” kekeh Shakila membuat Dea tertawa cukup keras. Baru kali ini melihat Shakila tersenyum lebar saat membicarakan pria lain. Biasanya wanita itu selalu sarkastik saat membawa-bawa nama pria.
Dea tahu mungkin di dalam sana, jauh di lubuk hati Shakila. Nama Ben sudah tertanam sebagai pria bukan hanya sebagai atasannya saja.
“Nanti malam mau kemana?” tanya Dea. Shakila menggeleng.
“Mau langsung pulang aja, tidur.”
“Shabila sudah balik?”
“Sudah kemarin. Ke ruangan yuk, masih ada kerjaan nih,” ajak Shakila. Meskipun waktu istirahat telah usai namun pekerjaan yang belakangan sangat banyak membuat dirinya sibuk. Dea pun menurutinya, tak mungkin dia berdiam diri sendirian di kantin.
Dengan langkah lesu yang dia pun tak tahu mengapa tubuhnya terasa lemas, dilangkahkan kaki menuju ruang kerjanya.
Tampak Ezra sedang berbalas pesan hingga tak memperhatikan Dea yang sudah duduk di sampingnya.
“Chatan sama siapa sih? Serius banget?” ledek Dea. Ezra memperlihatkan ponselnya yang menunjukkan aplikasi Doll.
“Kenal sama cewek baru lagi?”
“Ya cari-cari aja yang cocok,” ucap Ezra. Matanya tetap menekuri ponselnya, hingga Dea mengantukkan kepalanya ke meja hingga suara yang didengar cukup keras.
“Awww!” ujar Dea sambil mengangkat kepalanya dan mengusap keningnya. Ezra menoleh dan tertawa cukup keras, menertawakan kebodohan sahabatnya itu.
“Sudah nggak sayang sama kepala? Di adu ke meja gitu?” ledek Ezra membuat Dea meringis, dia merasa tadi menjatuhkan kepalanya dengan sangat pelan, namun mengapa tiba-tiba menjadi sangat keras dan sakit seperti ini?
Ezra meletakkan ponsel di meja dan memutar kursinya menghadap ke Dea, diputar kursi Dea agar menghadapnya juga. Lalu Ezra menyibak poni yang menutupi kening Dea, melihat keningnya yang memerah lantas mengusapnya pelan-pelan.
Dea memperhatikan jakun Ezra yang naik turun di hadapannya, sangat dekat sampai dia bisa menghirup aroma parfum dari baju yang Ezra kenakan. Wajahnya mendadak merah dan dia mencoba mengerjapkan matanya agar tak bersemu.
Ezra memajukan wajahnya dan meniup kening Dea pelan, angin dingin yang keluar dari mulut Ezra tentu membuat Dea semakin tersipu. Padahal selama ini dekat dengan pria itu tak membuatnya merasakan apa-apa. Lantas mengapa sekarang jantungnya berdebar kencang? Seolah ada seseorang yang menggedor-gedor jantung itu.
“Udah, dikasih mantra biar cepet sembuh,” ujar Ezra menjauhkan tubuhnya dari Dea.
“Mantra apa?”
“Rahasia, kalau ada yang sakit bilang aja nanti aku kasih mantra lagi,” ucap Ezra, bangkit berdiri sambil mengusap kepala Dea, berniat pergi entah kemana?
“Ishh pegang-pegang!” cebik Dea membuat Ezra menggeleng dan tertawa, lantas meninggalkannya begitu saja.
Dea sampai memegangi jantungnya yang berdegup, lalu menepuk pipinya. “Sadar De, sadar!” ujar Dea berkali-kali. Dia sangat bingung dengan perubahan perasaannya yang mendadak seperti ini. Dia tak tahu sejak kapan Ezra menjadi begitu spesial? Sampai sentuhannya saja membuatnya berdebar.
Dan anehnya dia sangat menikmati interaksi dengan Ezra, dan sentuhan itu ... bolehkah dia merasakannya lagi? Mengapa begitu menyenangkan saat tangan Ezra menyentuh rambutnya dengan lembut seperti itu?
***
Sepulang kerja, Dea langsung mandi dan berganti pakaian di kamarnya. Lalu dia memutuskan makan malam bersama ayah dan ibunya di ruang makan.
Beberapa asisten rumah tangga masih tampak sibuk menyiapkan makan malam, padahal yang makan hanya bertiga. Dan Lea, sang ibu pun membantu menyiapkan makan malam tak berpangku tangan begitu saja.
Memang untuk mengurus rumah sebesar itu tak bisa dilakukan sendiri, ada sekitar sepuluh asisten dirumah itu, yang mengurus berbagai keperluan.
Dari mencuci baju, menyetrika, membersihkan rumah, kolam renang, taman, supir pribadi sang ayah dan ibu, termasuk yang membantu masak dan urusan dapur lainnya.
“Malam, Pa,” Sapa Dea sambil duduk disamping sang ayah, dan satu pelayan wanita menyiapkan piring serta sendok garpu dihadapan Dea.
“Malam, belakangan pulang on time terus?” tanya Ale, sang papa yang masih terlihat sangat muda dan tampan itu tersenyum pada putrinya.
“Teman-teman lagi sibuk, jadi jarang main sekarang,” jawab Dea dengan suara yang pelan.
“Mau nonton besok?” tanya sang ayah lagi.
“Berdua aja?” tanya Dea.
“Ya, kita kencan berdua,” bisik Ale. Sementara sang ibu yang mendengarnya hanya tersenyum melihat interaksi ayah dan anak itu.
“Mama nggak ikut? Beneran?” tanya Dea, karena dia tahu kemanapun sang ayah pergi, ibunya pasti sering mengekornya. Terlebih jika urusan diluar kantor.
“Nggak, mama besok ada urusan di butik,” jawab sang ibu sambil meletakkan lauk di meja dan duduk disamping suami.
“Kedengeran ya?” kekeh Dea membuat ibunya tertawa.
“Selamat kencan,” ucap sang ibu yang diangguki oleh suaminya yang menatapnya dengan binar cinta dan mata yang hangat.
***
Berhubung hari sabtu, yang berarti Dea libur kerja, di siang hari ini dia dan sang ayah sudah berada di mobil yang disupiri oleh supir pribadi yang telah lama mengabdi di keluarga itu.
Dea mengenakan tas wanita berwarna hitam, bermerk yang dibelikan sang ibu karena sejujurnya dia tak terlalu suka produk mewah, namun sebagai hadiah ulang tahunnya, dia pun tak bisa menolak pemberian tas mahal itu.
Blouse berwarna biru muda dengan aksen tali di sebelah kanan yang membuatnya tampak semakin ramping.
Celana jeans yang dipadu dengan sepatu heels setinggi lima centi, sang ayah memang cukup tinggi, membuatnya merasa perlu mengimbangi tingginya dengan pemakaian sepatu ber-hak, meskipun tetap saja tubuh ayahnya jauh lebih tinggi.
“Kita ke Mall yang baru buka itu ya,” ujar sang ayah saat mobil melaju membelah jalanan Jakarta.
“Aku kira mau ke Mall papa,” ucap Dea yang sedang memainkan ponsel dan meletakkan ponsel itu di tas.
“Bosen lah setiap hari kesana, lagi pula papa mau liat secara langsung mall saingan kita,” ujar Ale sambil tersenyum lebar membuat Dea mendengus, ternyata memang ada maunya sang ayah mengajaknya keluar seperti ini. Mungkin akan canggung jika dia keluar bersama para manager untuk melihat langsung. Jadi sebagai strategi diajaklah sang putri tersayangnya ikut serta dalam study banding yang dilakukan.
Mobil telah memasuki pelataran Mall, menurunkan Dea dan sang ayah di lobby mall.
Lalu mereka berdua berjalan masuk ke Mall. Karena masih periode pembukaan, Mall besar tersebut sangat ramai. Terdiri dari sepuluh lantai dengan lantai atas sebagai food court yang menyajikan view gedung-gedung di ibu kota.
“Pegangan, nanti hilang,” ucap Ale membuat Dea tertawa, lantas wanita itu menelusupkan tangannya di lengan sang ayah.
“Padahal umur anaknya udah seperapat abad,” ujar Dea membuat Ale tertawa.
“Selamanya kamu itu gadis kecilnya papa,” ucap Ale sambil menarik hidung Dea.
“Sakit, Pa!” dengus Dea sambil mengusap hidungnya. Tiba-tiba teringat Ezra, apakah jika bersama Ezra dan dia merasa kesakitan, lelaki itu akan meniup hidungnya dan membacakan mantra seperti kemarin. Dea tersenyum simpul dan mengatupkan bibirnya, khawatir sang ayah melihat dirinya yang tersenyum tak jelas seperti itu.
Beberapa pasang mata menatap dengan pandangan menilik apa yang dilakukan Dea dengan sang ayah, mengamit tangannya mesra, memasuki toko-toko baju dan barang lainnya. Bahkan dengan enaknya Dea menunjuk beberapa barang dan membelinya karena tergiur harganya yang murah, dan tak lupa membeli beberapa barang untuk sang ibu.
Dan dengan ringannya juga sang ayah mengeluarkan black card miliknya untuk membayar belanjaan itu.
Niat menonton pun diurungkan karena tidak ada film yang menarik, sehingga mereka lebih memilih berbelanja, sekaligus menilai pelayanan dan promosi yang dilakukan mall itu untuk urusan meeting sang ayah pastinya.
Di lantai atas, beberapa orang melihat Dea dan Ale yang menjadi pusat perhatian karena di tangan mereka telah banyak tas belanjaan, sementara tangan satunya masih mengamit mesra. Tertawa dan mengomentari berbagai hal.
“Pak, Sugar Daddy apa sih?” tanya Allura yang kebetulan juga berada di mall yang sama. Davin yang menggendong sang putri itu menoleh pada Allura dan mengernyitkan keningnya.
“Biasanya sih sebutan untuk pria dewasa yang mempunyai wanita simpanan dan membelanjakan, memenuhi kebutuhan simpanannya, nah sugar baby itu untuk perempuan simpanannya yang biasanya jauh lebih muda dari pria itu. Kamu kenapa nanya itu?” tanya Davin.
“Dari tadi pada ngomgong sugar baby, sugar daddy,” ucap Allura sambil melihat ke arah orang yang dilihat oleh para pengunjung yang menggunjingkan orang itu.
Davin menghentikan langkahnya dan menuju pagar pembatas untuk menemani Allura melihat ke orang yang menjadi pusat perhatian.
“Wah Sugar Daddynya ganteng kayak gitu sih, aku juga mau,” ucap seorang wanita muda berdandan cukup menor dengan rambut yang dikeriting gantung. Rok mini dan bluse berleher rendah.
“Sudah di unboxing pasti,” timpal teman satunya yang memakai baju potongan pendek yang memperlihatkan pusarnya.
“Pak, unboxing apa?” tanya Allura lagi membuat Davin tak enak hati, lantas dia mendekatkan wajahnya untuk berbisik pada Allura.
“What?” teriak Allura, menatap ke dua wanita di sampingnya yang masih asik bergunjing.
“Ra, bukannya itu teman kamu ya? Dea?” tanya Davin, menunjuk ke arah Dea dan Ale, sang ayah yang kini berdiri di depan stan photoboth untuk mengantri foto bareng.
“Ah iya, astaga jadi dari tadi yang mereka omongin itu Dea!” tiba-tiba saja Allura menjadi kesal dan mencolek bahu dua wanita yang menggunjingkan sahabatnya.
Wanita itu menoleh pada Allura dengan pandangan sebal.
“Eh Mbaknya! Yang mbak omongin itu teman saya dan dia sama ayahnya! Jangan mikir kotor terus makanya!” ujar Allura nyolot, sementara Davin hanya menahan tawa saja, bahkan dia sempat berpikir tadi jika memang benar Dea bersama om-om hidung belang, yang ternyata sang ayah. Padahal wajah mereka agak mirip namun penampilan ayahnya yang necis dan kentara sekali berasal dari keluarga konglomerat tentu membuat orang menjadi salah paham jika tak pernah bertemu sebelumnya. Apalagi mereka tampak sangat mesra seperti sepasang kekasih.
“Ih kenapa sih nih orang? Pergi yuk, nggak asik!” tukas wanita yang tadi dicolek bahunya oleh Allura meninggalkan Allura yang masih memasang tampang sebal. Kedua wanita itu hanya saling mengangkat bahu dan ikut berdecih sebal melihat Allura yang masih bertolak pinggang dengan mata membulat ke arah mereka.
“Sabar,” ujar Davin sambil menepuk bahu Allura.
“Temuin Dea yuk, aku mau ngadu!” ujar Allura sambil berjalan cepat, untuk turun ke lantai bawah, meninggalkan Davin yang tak kuasa menahan tawanya sambil menggendong Syilla yang tampak sudah mulai kelelahan.
***