Dua Belas

1237 Words
Dea masih menarik Allura sampai ke ruangan Shakila, sementara Pelangi setengah berlari menuju ruangan Shakila. Mereka menutup pintu kaca tersebut dan bersandar di dinding. “Kenapa sih pagi-pagi udah ribut?” rutuk Shakila sambil memutar tubuhnya yang berada di atas kursi kerjanya. “Ini si Allura biasa keceplosan, hampir dia bilang kamu sudah besar kenapa diantar? Minta disantet online nih anak!” rutuk Dea. Allura memegangi mulutnya yang sedikit kebas habis dibekap oleh Dea. Pelangi terengah dan menggeleng. “Sumpah papa kamu mukanya dingin banget, sampai menggigil tadi,” ujar Pelangi, menoleh ke arah tempat terakhir mereka bertemu sang ayah. “Sudah pergi?” tanya Ben yang secara tiba-tiba menjulurkan kepala dari balik pintu ruangannya yang berada di bagian terdalam ruang HRD. Beberapa teman kerja Shakila, yang merupakan tim HRD lainnya masuk ke dalam dan Shakila mengajak ketiga sahabatnya menuju toilet. Ketiga sahabat Shakila hanya menatap Ben dengan pandangan seolah-olah mengatakan, ‘apa sih nih orang?’ seperti itulah. Lalu mereka mengangkat bahu dan mengikuti Shakila menuju toilet. Jika di dunia kerja, toilet biasanya menjadi tempat ngobrol paling asik selain cafe, entah mengapa? Berbincang dengan sahabat atau teman lainnya sepertinya lebih privat dilakukan di toilet, makanya tak jarang wanita menghabiskan waktu lebih lama di toilet terlebih saat mereka ke toilet bersama teman-temannya. Pelangi menatap kaca besar di hadapannya, sementara Dea masuk ke bilik toilet untuk buang air kecil. Pelangi mengambil lipcream dari saku kemejanya dan memulas ke bibirnya, “bagi,” tutur Allura sambil menjulurkan tangannya meminta lipcream milik Pelangi, lipstiknya hilang karena bekapan tangan Allura tadi. Shakila menyandarkan bokongnya di wastafel menghadap tembok, sementara Pelangi dan Allura justru menghadap kaca besar di belakang Shakila. “Kenapa diantar papa? Masih sakit?” tanya Pelangi. “Masih agak sakit tapi much better dari pada kemarin, nggak tau tuh papa bisa-bisanya kepikiran nganterin sampai ruangan,” rungut Shakila sambil melipat tangan di d**a. “Terus pak Ben kenapa? Kayak orang ketakutan gitu?” tanya Dea yang keluar dari bilik toilet sembari merapikan roknya. Yaa mereka hanya bisa melihat Dea memakai rok saat di kantor saja, karena bisa dipastikan ketika hang out, wanita itu lebih nyaman mengenakan celana. “Ditegur papa, disuruh antar aku pulang kalau aku sakit lagi, kacau.” Ketiga sahabat Shakila hanya tertawa menanggapinya, mereka sangat tahu ayah itu sangat mencintai putrinya dan tak mau putrinya mengalami hal yang buruk. Para ayah memang terkesan cuek, namun jauh di lubuk hati mereka, mereka sangat mengkhawatirkan segala yang berkaitan dengan sang anak, hanya terkadang ayah tak pernah mengucapkannya. Namun dialah orang yang berada di garda paling depan ketika anaknya disakiti orang lain. *** Puas berbincang di toilet, ketiga sahabat Shakila itu kembali ke ruang masing-masing. Terkecuali Allura yang masih mengekor Pelangi. “Mau ngapain ikut-ikut?” tanya Pelangi. “Bosen, belum ada kerjaan,” ucap Allura. “Belum ada kerjaan atau mau liat Pak Davin?” goda Pelangi membuat wajah Allura bersemu. “Cuma mau lihat aja, nggak godain kok,” rungut Allura membuat Pelangi tertawa, dirangkul bahu Allura menuju meja kerjanya, Allura celingukan mencari sosok Davin yang ternyata belum hadir disana. “Sedang ada urusan kali,” ucap Pelangi seolah menenangkan Allura. Allura mengangguk meski hatinya sedikit sedih, entah mengapa dia sangat ingin melihat Davin pagi ini, namun orang yang ingin ditemuinya justru tak terlihat batang hidungnya. Hingga kemudian Allura memutuskan kembali ke ruangannya sambil menunduk dan memainkan ponselnya, dia berjalan melewati koridor ruangan Pelangi, hingga hampir bertabrakan dengan pria yang entah siapa? Karena Allura tak berniat mengangkat wajahnya untuk melihat pria yang memakai sepatu kerja yang tampak mengkilap itu. Saat Allura melangkah ke kanan, pria itu melangkah ke kiri, lalu ketika Allura bergerak ke kiri, pria itu ke kanan, sehingga langkah Allura selalu terhalang, dan Allura memutuskan mendongak dan mendapati Davin yang tertawa, ternyata pria itu sedang meledeknya tadi. “Kalau jalan itu lihat ke depan,” kekeh Davin. Allura ingin marah namun senyum manis Davin mengalahkannya, dia hanya tersenyum dengan wajah memerah melihat Davin. “Kamu sakit?” tanya Davin sambil mengulurkan tangan menyentuh kening Allura, tak ayal hal itu membuat wajah Allura semakin memerah dan rasanya sekujur tubuhnya panas. “E-nggak,” ucap Allura terbata. Davin agak menunduk dan memperhatikan wajah Allura dari dekat. “Tapi kok wajahnya merah?” goda Davin, Allura yang polos hanya memegang kedua pipinya dan berniat meninggalkan Davin. “Bye pak Davin,” ucap Allura sambil membalik tubuhnya dan justru berjalan berlawanan arah dari ruangannya. “Allura! Ruangan kamu kan disana?” ujar Davin, seketika Allura menghentikan langkahnya dan berbalik badan lagi, berlari melewati Davin yang sudah tertawa sambil menggeleng. “Cute,” ucap Davin pelan sambil tersenyum lebar. Allura masih berlari sampai ruangannya, hingga bosnya melihat Allura yang tampak ketakutan. Pria berbadan tambun itu melihat ke arah lorong tempat Allura berlari. “Kenapa? Ada hantu?” “Lebih parah dari hantu pak,” ujar Allura membuat bosnya menggeleng. “Kamu cek form ke building management ya, ada beberapa barang yang ingin dikeluarkan untuk proses syuting iklan terbaru, jadi-“ “Tunggu pak, saya catat dulu, ngomongnya jangan cepat-cepat,” ucap Allura mengambil buku agenda. Bosnya hanya menggeleng lalu menarik napas panjang dan menghembuskannya sekaligus. “Pertama buat form pengeluaran barang ke building management.” “Lalu.” “Kedua, kirim form itu ke building management. Setelah di cek.” “Lalu.” “Sekarang cek dulu barang-barangnya, sudah dikirim via email ke kamu, setelah form sampai building management, kamu panggil tim promo untuk membawa form itu.” “Sudah, Pak?” tanya Allura. “Sudah, jangan sampai salah ya, dan percepat pekerjaan kamu, karena barang itu perlu dikeluarkan sore ini juga,” ucap Bosnya kentara sekali menahan emosi karena Allura yang sering lemot, namun dia cukup bersyukur karena Allura termasuk yang betah bekerja dibawah tekanannya, dan semakin lama Allura semakin mengerti pekerjaannya, berbekal dari agenda yang selalu dibawanya yang memudahkannya dalam mengingat. *** “Allura itu orangnya bagaimana?” tanya Davin pada Pelangi yang sedang berada diruangannya untuk menyerahkan rekap keuangan mingguan perusahaan. “Baik, polos, lucu dan dia tulus, hanya saja terkadang agak telat mikir. Kenapa, Pak?” tanya Pelangi ingin tahu. Davin hanya menggeleng dan tersenyum membuat Pelangi ikut tersenyum dan mulai merasakan binar cinta diantara kedua insan tersebut. “Syilla sering nanyain dia,” ucap Davin. “Bapak punya nomor ponselnya kan? Video call saja pak saat bersama Syilla, Allura itu suka sekali dengan anak-anak,” usul Pelangi. “Saya takut mengganggu dia,” ujar Davin. Pelangi menggeleng. “Saya rasa, dia justru akan senang berinteraksi dengan bapak, euhm maksud saya dengan Syilla,” ralat Pelangi. “Baiklah, nanti saya coba. Terima kasih ya,” ucap Davin. “Maaf jika saya terkesan ingin tahu atau ikut campur. Tapi apa bapak sudah kepikiran ingin mempunyai istri lagi?” ucap Pelangi sambil mengulum senyumnya. Sebagai atasan, Davin adalah tipe atasan yang terbuka dan ramah, hubungan mereka pun cukup dekat mengingat banyaknya waktu yang dihabiskan bersama selama tiga tahun belakangan ini. “Saya sedang memikirkan ibu untuk Syilla, namun saya masih ragu dengan perasaan saya sendiri. Saya takut jika apa yang saya rasa akan menyakiti hati ibu sambung Syilla nantinya.” Davin tampak sedikit sedih namun buru-buru dia menggeleng dan tersenyum, sepertinya dia sudah terperangkap untuk mencurahkan hatinya pada Pelangi, bawahannya. “Jika boleh saran, sebelum bapak memulai sesuatu hubungan, bapak harus melepaskan yang terdahulu, agar tak menyakiti semua pihak, termasuk bapak sendiri,” ucap Pelangi bijak. Davin pun menyetujui itu. “Namun jika bapak tetap ingin mendekatkan Allura dengan Syilla, saya sangat setuju, saya rasa dia merupakan ibu yang tepat untuk Syilla, ketulusan hatinya itu adalah hal yang paling menonjol darinya, dia juga penyayang. Saya yakin Syilla akan mendapatkan kasih sayang yang besar darinya,” ucap Pelangi membanggakan sang sahabat. “Saya harap, siapapun wanita itu kelak, dia bisa memberikan kasih sayang yang besar untuk anak saya tanpa membedakannya nanti.” “Aamiin, semoga dapat yang terbaik ya, Pak.” Pelangi dengan tulus mendoakan Davin, meskipun dalam hati kecilnya dia berharap semoga Allura lah yang dipilih Davin mendampinginya. ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD